Wanita karir yang ditinggal mati oleh suaminya menyisakan problem dilematik. Satu sisi memiliki kewajiban untuk bekerja, sisi yang lain hukum agama melarangnya. Masa Iddah mewajibkan seorang wanita untuk tidak beraktivitas di luar rumah kecuali ada hajat yang dibolehkan oleh syariat. Selama masa iddah, ia harus tetap di rumah.
Iddah seperti ditulis oleh Syaikh Abu Bakar bin Muhammad al Husaini dalam karya tulisnya Kifayatul Akhyar adalah masa tunggu bagi seorang wanita setelah dicerai oleh suaminya, baik karena meninggal atau di thalak, guna mengetahui kekosongan rahimnya. Masa kosongnya rahim bisa diketahui dengan melahirkan, hitungan bulan atau quru’ (masa suci). (Kifayatul Akhyar: juz 1, hlm. 433).
Ada dua kondisi iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Pertama, wanita yang ditinggal mati dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai melahirkan. Kedua ditinggal mati tidak dalam keadaan hamil masa iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Pada masa iddah ini wanita dilarang beraktivitas di luar rumah. Problem iddah ini menjadi dilematis ketika dialami wanita karir. Tuntutan kerja mengharuskan ia beraktivitas di luar rumah, sementara aturan agama mewajibkan di rumah saja.
Para ulama sepakat, kecuali Imam Hasan Bashri, wanita yang sedang menjalani masa iddah wajib menjalankan ihdad (tidak boleh bersolek atau berhias yang bisa menarik perhatian laki-laki).
Dari Zainab binti Ummi Salmah, ia berkata, “Rasulullah pernah bersabda”, Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat berkabung melebihi tiga hari kecuali atas meninggalnya suami. Maka masa berkabung karena suami meninggal adalah selama empat bulan sepuluh hari”. (Bukhari dan Muslim).
Hadis ini yang menjadi sandaran ijma’ ulama tentang lama masa berkabung wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
Kewajiban pada masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya atau karena dicerai adalah tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh menikah pada masa tersebut. Disamping itu, ia juga wajib ihdad, tidak bersolek atau berhias yang dapat menyita perhatian laki-laki.
Disinilah problem dilematis bila terjadi pada wanita karir. Apakah harus mengikuti pendapat ijma’ ulama yang beresiko hilangnya pekerjaan atau melanggar rambu agama demi pekerjaan untuk bertahan hidup?
Ada dua kondisi yang membolehkan wanita pada masa iddah keluar rumah. Pertama, bila keadaan darurat, seperti untuk menyelamatkan keluarga, harta atau menghindari bahaya. Kondisi ini membolehkan wanita pada masa iddah untuk keluar rumah. (Hasyiyah Bujairimi: 11, hlm. 285).
Kedua, karena adanya kebutuhan (hajat). Seperti untuk belajar ilmu fardhu ain, menghindari gunjingan, hidup di lingkungan orang-orang jahat, dan bekerja untuk menopang kehidupannya dan keluarganya. (Syarh al Yaqutu al Nafis: 1, hlm 652-653).
Dengan demikian, wanita karir boleh tetap bekerja sebagai upaya menopang ekonomi dirinya dan keluarganya dengan catatan harus mematuhi kewajiban iddah yang lain seperti tidak mengenakan pakaian yang bagus, tidak memakai parfum, tidak bercelak kecuali bila sakit mata boleh memakainya di malam hari dan model berhias yang lain di luar kebutuhannya untuk bekerja.
Catatan kedua, bolehnya keluar rumah untuk bekerja tesebut adalah di siang hari. Bukan di malam hari. Kecuali memang ada aturan perusahaan yang memberlakukan shif malam yang wajib dipatuhinya. (Fathul Qarib: 1, hlm. 255-256).
Kesimpulannya, karena bekerja merupakan bagian dari kebutuhan (hajat), wanita karir boleh tetap bekerja pada masa iddah. Bahkan menurut Imam Ahmad wanita yang ditinggal mati oleh suaminya boleh keluar rumah pada masa iddah secara mutlak. Baik ada hajat atau tidak. Hanya makruh bila keluar rumah tanpa adanya hajat. (Syarh Zad al Mustaqni’: 25, hlm. 30).