Transaksi hutang piutang bisa wajib atas seseorang jika ia mempunyai kelebihan harta untuk meminjamkannya pada orang yang sangat membutuhkan. Maksud dari membutuhkan adalah seseorang yang apabila tidak diberi pinjaman akan menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama seperti mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya atau ia akan mengalami kebinasaan. Kondisi inilah yang menyebabkan hutang piutang menjadi wajib dan harus dikerjakan walaupun oleh satu orang saja.
Hukum hutang piutang dapat berubah menjadi haram apabila diketahui bahwa dengan berhutang seseorang bermaksud menganiaya orang yang memberikan hutang atau orang yang berhutang tersebut akan memanfaatkan orang yang diberikan hutang itu untuk berbuat maksiat. Dalam kondisi demikian, maka hutang piutang berorientasi pada perbuatan tolong menolong dalam kemaksiatan dan haram hukumnya. Maka dari itu, berdasarkan pada kondisi yang saat bervariasi, hukum hutang piutangpun amat bervariasi pula seperti wajib, haram, makruh dan mubah.
Dewasa ini hutang bagaikan sebuah pisau bermata dua. Disatu sisi hutang dapat menolong seseorang atau badan usaha lepas dari kesulitan namun di sisi yang lain hutang juga dapat menjerat dan menyusahkan seseorang ataupun membangkrutkan sebuah badan usaha karena lilitan hutang. Pengelolaan hutang yang baik sangat dibutuhkan agar seseorang atau sebuah badan usaha dapat terbebas dari hutang bahkan mencapai tumbuh dan berkembang.
Hutang Dalam Islam
Ajaran agama Islam membolehkan hutang karena hutang adalah bagian dari tolong menolong sesama manusia (hablun minan naas) sebagaimana dalam beberapa surat dan ayat dalam alquran berikut ini: “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam melakukan kejahatan dan kerusakan.” (QS. Al-Maidah (5):2), dalam ayat lainnya Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka, dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid (57):18).
Dari banyaknya ayat yang menyinggung tentang pinjaman (hutang) diatas hal itu menunjukkan bahwa hutang (baik yang sifatnya hablun minannaas maupun hablun minallah) mempunyai kedudukan yang penting sehingga perlu diatur dengan baik tata cara dan perlakuannya dalam Islam.
Sikap Nabi Muhammad SAW terhadap Hutang
Nabi kita Muhammad SAW selain diutus menjadi seorang nabi dan rasul terakhir bagi ummatnya, ternyata juga diberikan bakat karunia sebagai seorang pedagang, seorang entrepreneur yang sukses dan dikagumi baik sesama kabilah pedagang dalam sukunya maupun kabilah pedagang yang berasal dari suku lain bahkan dari jazirah/negara lain. Sehingga dengan demikian Nabi Muhammad SAW tidaklah asing dengan transaksi perdagangan yang sifatnya tunai maupun non tunai (hutang).
Diawal pembelajarannya sebagai seorang pedagang, Nabi Muhammad SAW memulai perdagangannya dengan berhutang kepada saudagar kaya yang kemudian menjadi istrinya, Khadijah al Kubro. Beliau membawa barang dagangan milik Khadijah bersama pamannya Abu Thalib untuk diperdagangkan di kota Thaif dan kota-kota lainnya. Proses membawa barang dagangan ini sudah tentu dicatat baik oleh Nabi Muhammad SAW selaku pembawa barang dagangan maupun oleh Khadijah selaku pemilik barang dagangan.
Berbekal pengetahuan dan pengalamannya, Nabi Muhammad SAW sangat tegas dalam menyikapi hutang piutang, beliau pernah bersabda: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang mengambil harta seseorang (berhutang) yang bermaksud untuk membayarnya maka Allah akan melaksanakan pembayaran itu. Dan barangsiapa yang mengambilnya (berhutang) dengan maksud untuk merusak (tidak mau membayar dengan sengaja) maka Allah akan merusak orang itu.” (HR Bukhari).
Dilain hadits sebagaimana di riwayatkan Muslim, Nabi Muhammad berkata, “Diampuni semua dosa bagi orang yang mati syahid, kecuali jika ia mempunyai hutang.” Hadits ini menandakan pentingnya kedudukan hutang dimata Nabi Muhammad SAW sampai memberikan early warning bagi umatnya yang akan berjihad untuk melunasi hutangnya (bila ada) sebelum berangkat ke medan perang membela ajaran agama islam.
Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “Barang siapa yang melepaskan kesengsaraan saudaranya, maka Allah akan melepaskan berbagai kesengsaraan yang dihadapinya.” (HR Muslim). Dengan memberikan hutang kepada saudara kita yang membutuhkan, hal itu juga berarti kita membantu saudara kita tersebut lepas dari kesengsaraan.
Bahaya Kebiasaan Berhutang
Nabi Muhammad SAW memang memperkenankan hutang sebagaimana dalam ajaran yang dibawanya, namun Rasulullah juga mengajarkan kepada umatnya untuk menghindari berhutang karena menurutnya hutang dapat membawa mudharat lain bagi seseorang, sebagaimana dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Bukhari: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.”
Hutang menurut Rasulullah cenderung membuat seseorang (yang berhutang) banyak bicara (mencari alasanalasan untuk menunda pembayaran) sehingga berpotensi untuk melakukan kedustaan, banyak memberikan janji mengenai tanggal dan hari pelunasan yang juga berpotensi untuk di ingkari. Rasulullah juga pernah diriwayatkan menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasinya.
Hutang atau mempunyai kebiasaan berhutang akan mendatangkan kerisauan dan kehinaan, hal ini ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi: “Berhati-hatilah kamu dalam berhutang, sesungguhnya hutang itu mendatangkan kerisauan di malam hari dan menyebabkan kehinaan di siang hari.”. Hadits ini secara nyata dan tegas menganjurkan kepada kita agar menjauhi hutang, jika diberikan kemampuan membeli secara tunai hendaklah jauhi berhutang (membayar dengan tempo).
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah