Pernikahan beda agama
Pernikahan beda agama

Jangan Sepelekan, Inilah Dampak Psikologis Pernikahan Beda Agama bagi Anak

Membaca berita di laman Islam Kaffah pada 31 Juli 2024 membuat penulis sedih sekaligus tergerak untuk membuat artikel. Berita tersebut dikutip Islam Kaffah via laman republika.co.id membahas tentang pernikahan beda agama yang kini tampaknya sudah menjadi tren, yakni dengan menjadi mualaf temporer.

Membaca informasi tersebut, sontak langsung terbesit dalam benak penulis tentang bagaimana dampak pernikahan beda agama bagi psikologis anak. Pertanyaan tersebut muncul karena pernikahan beda agama merupakan fenomena yang kerap menimbulkan tantangan psikologis, terutama bagi anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan keyakinan yang berbeda.

Hal itu bisa dijelaskan melalui dua pendekatan, yakni pendekatan atas teori-teori psikologi dan pedoman dalam al-Qur’an. Misalnya, Henri Tajfel, melalui teori yang dikembangkan, yakni Identitas sosial, menjelaskan bahwa individu cenderung mengidentifikasi dirinya dengan kelompok-kelompok sosial tertentu, seperti agama. Dalam konteks pernikahan beda agama, anak-anak berpotensi menghadapi tantangan dalam menentukan identitas keagamaannya. Hal ini disebabkan mereka menghadapi dua sistem nilai dan keyakinan yang berbeda. Kesulitan dalam mengintegrasikan identitas keagamaan ini dapat memicu konflik internal yang mengganggu keseimbangan psikologis anak.

Kemudian Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg, melalui teori perkembangan moral, ia menekankan bahwa anak-anak akan memahami konsep moralitas melalui interaksi sosial. Dalam keluarga beda agama, perbedaan dalam ajaran moral yang diajarkan oleh kedua orang tua dapat berdampak fatal; yakni membingungkan anak-anak dalam memahami apa yang benar dan salah, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perkembangan moral mereka.

Dampak Psikologis Pernikahan Beda Agama terhadap Anak

Pertama, Konflik Internal dan Kebingungan Identitas

Anak-anak dari pernikahan beda agama sering kali menghadapi konflik internal karena harus memilih atau menyeimbangkan dua keyakinan yang berbeda. Ini dapat menyebabkan kebingungan identitas, di mana anak merasa tidak sepenuhnya terikat pada satu kelompok agama atau merasa terasing dari keduanya. Konflik identitas ini bisa memicu stres, kecemasan, dan perasaan tidak aman.

Kedua, Tekanan untuk Memihak atau Memilih

Anak-anak mungkin merasa ditekan untuk memilih satu agama di atas yang lain, baik oleh orang tua, anggota keluarga besar, atau masyarakat. Tekanan ini dapat menyebabkan perasaan bersalah atau ketidaknyamanan emosional, terutama jika mereka merasa bahwa pilihan mereka akan mengecewakan salah satu orang tua.

Perspektif Islam tentang Pernikahan Beda Agama dan Pembinaan Anak

Terkait fenomena praktik pernikahan beda agama dengan jadi mualaf temporer, Al-Qur’an memberikan panduan yang jelas bahwa kesatuan dalam keyakinan dalam sebuah keluarga merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah (2:221):

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam mendorong pernikahan dalam kesatuan iman untuk menjaga harmoni keluarga dan mencegah terjadinya konflik keyakinan yang dapat mempengaruhi kesejahteraan anak.

Sejalan dengan itu, Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya memilih pasangan yang dapat memberikan pengaruh positif bagi kehidupan spiritual dan moral keluarga. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda:

Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah yang beragama, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menegaskan pentingnya agama sebagai dasar dalam membangun keluarga, yang berdampak langsung pada pembinaan dan perkembangan anak-anak. Pernikahan beda agama dapat menimbulkan tantangan psikologis yang signifikan bagi anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut.

Dari perspektif teori psikologi, anak-anak menghadapi kebingungan identitas, konflik internal, dan risiko diskriminasi sosial. Perspektif Islam, sebagaimana diuraikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, menekankan pentingnya kesatuan iman dalam pernikahan untuk menjaga kesejahteraan psikologis dan spiritual anak-anak. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Bagikan Artikel ini:

About Muhammad Najib, S.Th.I., M.Ag

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta, mahasiswa Program Magister Universitas PTIQ dan Mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Check Also

money politic

Benarkah Money Politik Bagian dari Jihad? Bisa Iya, Bisa Tidak!

Menarik apa yang disampaikan oleh Fauziyatus Syarifah dalam ulasannya di kolom Afkar Islam Kaffah tentang …

hutang

Menjadikan Utang sebagai Pemenuhan Gaya Hidup? Begini Pandangan Islam

Tentu kita semua sepakat bahwa utang adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Artinya, hampir tidak …