ilmu agama di internet
Dakwah di media sosial

Mampukah Agama Menjadi Panduan Etis di Era Digital?

Kita hidup di era digital yang serba cepat, serba canggih dan juga serba bising. Informasi begitu berlimpah setiap hari. Algoritma media sosial menuntun jari-jemari kita yang seolah menjadi standar baru dalam menentukan layak dan benarnya suatu informasi. Kecerdasan buatan mulai masuk ke ranah pengambilan keputusan.

Dalam pusaran itu, pertanyaan penting muncul: apa pedoman etis yang relevan untuk menjadi kompas moral-etis? Mampukah pedoman dan norma lama bertahan dalam situasi seperti ini?

Kita mengasumsikan untuk mengandalkan agama menjadi panduan etis dalam kondisi seperti ini. Apakah agama bisa diandalkan dalam arus teknologi baru ini?

Agama, sejak awal, hadir bukan sekadar kumpulan ritual, melainkan sistem nilai yang menuntun manusia untuk membedakan baik dan buruk, adil dan zalim, bermartabat atau merendahkan. Namun, sayangnya agama hingga saat ini lebih banyak diperlakukan dan dipraktekkan sebagai panduan ritual semata. Agama hanya dipercaya, diyakini dan dipraktekkan sebagai kumpulan panduan ritual yang membedakan antara orang beragama dan bukan beragama.

Kategori penting tentang ketaatan dan kesalehan beragama, misalnya, bukan dilihat pada kualitas etika sosial seseorang, tetapi kuantitas dalam melaksanakan ritual. Di sinilah rumah ibadah menjadi tolok ukur kesalehan. Semakin ramai masjid, gereja, pura, wihara dan klenteng, umat beragama masih jumawa bahwa agama masih eksis dan dipercaya umatnya.

Umat beragama sejak dulu belum memberikan perhatian penuh terhadap kategori relijius di luar batas kehadiran ritual tersebut. Ketika banyaknya praktik sosial yang menyimpang semisal marak korupsi, kekerasan, bullying, dan penyakit sosial lainnya, umat beragama tidak merasa bertanggungjawab. Bagi mereka asal rumah ibadah sudah ramai, ritual masih semarak dan majelis keagamaan masih membludak, indikator kesuksesan beragama masih terjaga.

Karena itulah, mungkin kita sangat pesimis untuk mengajak agama agar berkontribusi sebagai panduan etis di dunia digital saat ini. Namun, bukan berarti mustahil menjadikan agama sebagai panduan etis di dunia digital.

Ketika sekularisme muncul dengan begitu bangga dan percaya akan menghapus atau setidaknya mendegradasi otoritas agama di ruang publik, keyakinan itu pun tidak terbukti. Agama justru mengalami lompatan kebangkitan di era pasca sekuler ini. Artinya, agama mempunyai daya tahan yang lebih dari pada panduan moral lainnya.

Di sinilah, kita melihat agama masih mempunyai masa depan dalam perjalanan peradaban manusia. Tetapi, agama harus diperlakukan sebagai visi masa kini dan masa depan, bukan sekedar kumpulan dogma masa lalu yang tak layak dibaca di era kekinian.

Menafsir Kembali Ketaatan Beragama

Mari kita mulai dengan membongkar dan menyusun kembali agama agar layak dan bernyali di era digital. Agama tidak boleh hanya dilihat sebagai panduan ritual, tetapi harus dilebarkan sesuai khittahnya sebagai panduan moral yang menyeluruh di ranah sosial, bahkan digital.

Dalam konteks ini, kategori ketaatan dan kesalehan beragama bukan sekedar dilihat dari seberapa sering umat melakukan ritual dan menghadiri rumah ibadah, tetapi seberapa sering seseorang mempraktikkan nilai kebajikan agama. Orang yang berkata jujur, bersimpati, berempati dan peka terhadap yang lain sama luhurnya dengan orang yang berangkat ke rumah ibadah.

Cara pandang ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi agama sudah mengajarkan hal ini sejak lama. Dalam Islam, kategori keimanan dan ketaatan relijius selalu bersanding dengan kesalehan sosial.

Misalnya, ada ayat dalam al-Quran yang sangat visioner dan bombastis, Al-Baqarah : 177;

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya; mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Inilah warisan pengetahuan tentang bagaimana memperluas horizon keimanan bukan hanya persoalan abstrak atau sekedar ketaatan ritual dengan menghadap ke arah timur dan barat. Ayat ini bukan hanya memberikan panduan ketaatan beragama yang berdimensi sosial semisal memberikan harta kepada yang membutuhkan, tetapi juga prinsip moral seperti sikap amanah dan jujur hingga bersikap sabar.

Ketaatan ritual dalam Islam bukan satu-satunya penentu kesalehan seseorang. Al-Quran misalnya dengan tegas memberikan kriteria para pendusta agama. Siapa mereka?

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al Maun : 1-7).

Pendusta agama itu sangat terkait dengan kemunkaran sosial dengan tindakan menghardik anak yatim dan tidak memberikan hak mereka. Bahkan Tuhan mengutuk orang shalat sebagai orang lalai, riya dan tidak mau memberikan kemanfaatan bagi orang lain.

Dengan melihat ketegasan ayat ini, sesungguhnya karakter agama Islam adalah agama yang menyeimbangkan antara kesalehan ritual dan sosial. Tidak sempurna ketaatan ritual jika tidak dibarengi dengan kesalehan sosial.

Menawarkan Kesalehan Digital

Selanjutnya agama harus berani menyusun kerangka moral yang memberikan panduan etis tidak hanya di ruang sosial yang nyata, tetapi juga di ranah digital. Di era digital, ketika moral sering kabur oleh anonimitas dan kecepatan, fondasi etis agama justru menemukan relevansi baru.

Maka, mampukah agama menjadi panduan etis di era digital? Jawabannya: ya, tetapi hanya jika agama mau bertransformasi dari sekedar fokus pada ketaatan ritual menuju ketaatan yang komprehensif meliputi kesalehan sosial dan digital.

Dengan kata lain, ketaatan ritual hanyalah “syarat perlu” tetapi bukan “syarat cukup” untuk menjadi insan beriman. Kriteria taat beragama harus ditata ulang: bukan hanya mereka yang tekun ritual, tetapi juga mereka yang berakhlak, jujur, peduli, dan tidak merugikan orang lain.

Langkah kedua, dimensi moral dalam agama yang hanya berdimensi sosial harus diperluas cakupannya tidak hanya di ruang nyata, tetapi juga di ruang maya. Di era digital, dimensi moral sosial harus diperluas menjadi moral digital.

Mengapa? Karena kehidupan umat kini banyak terjadi di ruang virtual. Fitnah, hoaks, ujaran kebencian, pornografi, perundungan daring (cyberbullying)—semuanya menimbulkan kerusakan yang nyata meski berawal dari dunia maya.

Dalam perspektif agama, setiap kata adalah amanah. QS. Qaf [50]:18 menegaskan: “Tiada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” Jika dulu ayat ini dipahami sebatas ucapan lisan, kini harus diperluas ke “ucapan digital”—tweet, komentar, unggahan, bahkan forward pesan WhatsApp.

Hadis Nabi juga relevan: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”(HR. Bukhari-Muslim). Dalam konteks digital, hadis ini mengajarkan etika posting: tidak semua yang bisa ditulis harus ditulis, apalagi disebarkan.

Dengan kalimat sederhana, bukan orang beragama yang tidak taat beribadah, sebanding dengan kategori bukan orang beragama jika tidak berkata jujur di ruang sosial dan digital.

Argumennya sangat jelas: agama harus melakukan transformasi mendasar. Ritual tetap penting, tetapi ia harus ditopang oleh kepatuhan pada nilai moral sosial dan etika digital. Tanpa itu, agama kehilangan daya relevansinya di dunia modern.

Seperti pesan Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang sangat terkenal: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Bila akhlak sosial dan digital tidak menyatu dalam praktik keagamaan, maka misi utama agama justru terabaikan.

Agama harus hadir dengan memberikan panduan kesalehan digital dengan cara untuk menahan diri, memilih kata yang menyejukkan, dan melawan hoaks dengan cara yang beradab.

 

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

gus yahya sungkem ke sinta wahid usai gus dur jadi pahlawan nasional 1762748876545 169

Dianugerahi Pahlawan Nasional, Gus Dur dan Warisan Toleransi untuk Bangsa

Jakarta — Menjelang peringatan Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh …

Masjid SMAN 72 Jakarta copy

Ditemukan 7 Peledak di SMAN 72, Seruan Damai Bergema: Kekerasan Bukan Jalan Kebenaran

Jakarta — Di tengah kepanikan pascaledakan di SMAN 72 Jakarta, ada pesan yang mulai menggema …