JAKARTA – Masih banyaknya masyarakat yang kebingungan dalam menyikapi persoalan tata cara ibadah bagi tenaga medis yang menangani virus corona membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menyusun dua fatwa sekaligus untuk menjawab kebingungan masyarakat, terutama akan menjadi panduan bagi tenaga medis sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik tanpa kawatir terhadap ibadahnya.
Dua fatwa yang sedang disusun oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut yang pertama soal tata cara shalat bagi tenaga medis yang menggunakan alat pelindung diri (APD). Kedua, tata cara pengurusan jenazah yang terinfeksi covid- 19.
“Ya kalau bisa secepatnya, 2-3 hari ini barang kali
keluar fatwanya. Jadi hari ini dan besok masih dalam pembahasan,” kata
Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. Hasanuddin Abdul Fatah menjelaskan seperti
dikutip dari laman Republika, Rabu (25/3), ihwal kapan fatwa
tersebut diterbitkan.
Dalam pembahasan untuk
menentukan hukum bagi kedua fatwa tersebut, Komisi Fatwa MUI akan melibatkan
para ahli medis terutama dari Kementerian Kesehatan, tentu dilibatkan dalam
pembahasan sebelum MUI merilis fatwa terkait dua hal itu. Terutama untuk
mengetahui misalnya bagaimana protokol medis dalam memandikan jenazah yang
terinfeksi covid-19, dan apakah ada alternatif lain untuk bisa memandikan
secara syariat atau betul-betul tidak ada.
“Segala hal terkait itu perlu dilihat. Seperti bagaimana dengan kain
kafannya? Cara memandikannya bagaimana? Kalau ada jaga jarak bagi yang
memandikannya itu bisa enggak?,” ujar dia.
Hasanuddin menambahkan, bila masih ada cara alternatif lain yang bisa
diupayakan maka jenazah terinfeksi covid-19 tetap wajib dimandikan. Misalnya,
yang memandikan itu menggunakan APD supaya tidak tertular virus. Karena itu,
saat ini Komisi Fatwa MUI beserta ahli medis masih mengkaji secara mendalam.
“Kalau sama sekali tidak ada ruang atau solusi atau tidak ada alternatif
sama sekali bagaimana memandikan jenazah yang terinfeksi virus corona tadi,
bisa tidak dimandikan,” katanya.
Hasanuddin juga memaparkan, untuk fatwa tata cara shalat bagi tenaga kesehatan
yang memakai APD, pembahasan berkutat pada bagaimana hukum shalat tanpa wudhu
dan tayamum bagi mereka. Sebab, tenaga kesehatan yang menjaga pasien covid-19
harus terus mengenakannya selama menjalankan tugas agar terhindar dari
penularan wabah.
“Perawat ini kan tidak bisa membuka APD-nya ya, sementara mungkin dia
sudah batal wudhunya, atau bisa enggak mereka shalat tanpa wudhu dan tayamum,
yang artinya tidak dalam keadaan suci dari hadas kecil,” tutur dia.
Dalam hukum azimah-nya atau hukum pokoknya, lanjut Hasanuddin, syarat sah
shalat yakni suci badan, suci pakaian, dan suci tempat shalatnya. Suci badan
yang dimaksud berarti suci dari hadas kecil maupun hadas besar. Meski dalam
hukum asalnya shalat itu salah satunya harus suci badan, Islam selalu bisa
menghadirkan solusi alternatif berdasarkan kaidah fiqih.
“Hukum Islam selalu ada solusi. Ada kaidahnya, ada solusinya, ada hukum
alternatif. Kemungkinan bisa saja shalat dalam keadaan tidak suci dari hadas
kecil itu bisa dilakukan dalam kondisi terpaksa,” ungkap dia.
Hasanuddin mengumpamakan dengan orang yang punya penyakit wasir atau beser
sehingga mudah mengeluarkan air seni. Orang yang punya penyakit tersebut bisa
saja keluar air seninya ketika sedang shalat atau dalam keadaan punya wudhu.
“Dia berwudhu, dan ketika shalat, keluar lagi (air seninya). Bagaimana
orang ini, boleh enggak dia shalat dalam keadaan tidak suci, nah itu bisa
(tetap shalat),” paparnya.
Kaidah yang dipakai untuk itu, terang Hasanuddin, yaitu “Yurtakabu akhoffu
al-dhororoyni li al-tiqo’i asyaddi bihima”. Artinya, dhoror yang lebih
ringan dilakukan untuk menghindari dhoror yang lebih besar. Hasanuddin
menjelaskan, dhoror dapat diartikan sebagai sesuatu yang sulit atau berisiko.
“Risiko yang lebih kecil dilakukan demi menghindari risiko yang lebih
besar. Jadi shalat dalam keadaan tidak suci itu memang tidak sah, tapi
risikonya lebih kecil dibanding tidak shalat sama sekali (dalam konteks tenaga
kesehatan mengenakan APD),” kata dia.