penceramah radikal
penceramah radikal

Ahli Ilmu Tidak Menjadi Idola, Da’i Merajalela

Nabi mengingatkan umatnya dalam suatu hadist bahwa suatu saat akan terjadi krisis ahli fikih dan membludaknya ahli pidato. Ahli ilmu bukan lagi menjadi idola, sementara da’i marajela. Ulama, ahli ilmu semakin terbatas, sementara orang yang piawai dalam retorika berbicara di mimbar atau da’i sangat banyak.

Hadis Nabi tersebut ingin mempertegas bahwa penguasaan terhadap ilmu agama merupakan sesuatu yang sangat langka. Padahal, praktek beragama yang mantap dan tidak mudah goyah itu jika didasari oleh ilmu-ilmu agama yang benar dan diperoleh dari sumber yang bisa dipercaya. Yakni, dengan cara mengikuti ulama yang telah membuat suatu rumusan hukum Islam yang bersumber dari al Qur’an dan  hadis. Kongkritnya adalah fikih.

Ayat pertama al Qur’an iqra’ membicarakan pentingnya menuntut ilmu. Kemudian diteruskan oleh Rasulullah yang menyatakan wajib bagi umat Islam untuk belajar, terutama ilmu agama. Karena beragama tanpa ilmu akan berpotensi merusak segalanya. Miskin ilmu-ilmu agama akan membuat seseorang terjerumus pada kesalahan memahami agama. Ia beragama sesuai hawa nafsunya. Lebih naïf lagi manakala para tukang pidato yang mengalami krisis ilmu agama.

Dalam bahasa al Qur’an model seperti ini disebut orang yang “Sesat dan menyesatkan”.

سمعت ابن مسعود رضي الله عنه يقول: “إنكم في زمان كثير فقهاؤه، قليل خطباؤه، قليل سؤاله، كثير معطوه، العمل فيه قائد للهوى، وسيأتي من بعدكم زمان قليل فقهاؤه، كثير خطباؤه، كثير سؤاله، قليل معطوه، الهوى فيه قائد للعمل، اعلموا أن حسن الهدى في آخر الزمان خير من بعض العمل”

“Saya mendengar Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya saat ini kalian hidup di masa banyak ulama (ahli fikih dan ahli ilmu) dan sedikit ahli ceramah (da’i), sedikit yang meminta-minta, banyak yang memberi, dan amal perbuatan bisa mengendalikan hawa nafsu. Dan akan datang nanti masa setelah kalian sedikit ahli ilmu banyak da’i, banyak yang meminta-minta, sedikit yang memberi, amal perbuatan menuruti hawa nafsunya”. (HR. Al-Bukhari).

Perkataan Ibnu Mas’ud tersebut menguatkan hadits marfu’ bahwa Rasulullah bersabda:

إنكم أصبحتُم في زمانٍ كثيرٍ فقهاؤُه، قليلٍ خطباؤُه، قليلٍ سُؤّاله، كثيرٍ معطوهُ، العملُ فيه خيرٌ من العِلمِ. وسيأتي زمانٌ قليلٌ فقهاؤُه، كثيرٌ خطباؤُه، كثيرٌ سُؤّاله، قليلٌ مُعطوهُ،العلمُ فيه خيرٌمن العمل

“Sesungguhnya kalian semua berada pada masa banyak ulama ahli fikih dan sedikit ahli ceramah, sedikit yang meminta banyak yang memberi, amal ibadah lebih baik dari pada ilmu. Dan nanti kalian akan berada pada masa sebaliknya, sedikit ulama ahli fikih, banyak ahli caramah, banyak yang meminta sedikit yang memberi, dan belajar ilmu lebih baik dari pada amal ibadah”. (HR. At-Tabrani).

Sedikit ahli fikih berarti krisis ulama ahli fikih, krisis pemahaman terhadap kitab kuning, sedikit yang memahami ilmu hadits, sedikit yang memahami ilmu ushul fikih, kaidah fikih, nahwu, sharaf, balaghah dan ilmu agama lainnya. Bersamaan dengan itu justru menjamur ahli ceramah yang tumbuh subur. Orang-orang awam dengan modal popularitas menjadi muballigh atau tukang ceramah. Imbasnya, melubernya ahli ceramah yang tidak memahami agama.

Agama itu Riwayat

Zaman krisis ahli ilmu dan ahli fikih dan surplus tukang ceramah dan da’i itu sudah sampai. Saat ini, kenyataan itu telah terjadi. Banyaknya kaum awam berpaling dan enggan mengikuti Madzhab fikih yang ada menjadi bukti kuat. Dengan bangga dan percaya diri mereka menyatakan tidak ada perintah yang mengharuskan mengikuti madzhab fikih tertentu dalam beragama.

Bagi mereka, yang benar adalah bahwa setiap orang harus kembali atau merujuk langsung kepada al-Qur’an dan hadis karena pada masa Nabi dan para sahabat masih hidup tidak ada madhab fikih sama sekali. Adanya madhab-madhab justru menimbulkan sengketa dan perpecahan di kalangan umat Islam.

Nalar beragama model demikian sangat memalukan dan membuktikan pola pikir yang sangat miskin terhadap ilmu agama. Karena fikih yang telah dirumuskan oleh para imam mujtahid adalah hasil pembacaan mendalam dari dua sumber primer tersebut. Jika orang mendalami ilmu fikih adalah bagian mereka mendalami Qur’an dan Hadist.

Lebih ironi lagi, kalangan yang senyatanya miskin ilmu agama tersebut meyakini justru dirinya yang benar dan berada di jalan yang paling benar. Para ulama yang memiliki spesialisasi di bidang ilmu agama justru mereka dustakan dan bahkan dianggap sesat karena telah menganjurkan perlunya mengikuti salah satu dari empat Madzhab fikih yang ada, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan al-Hanbali.

Fenomena ini akan menyeret pada suatu kondisi “Sesat dan menyesatkan”. Akibatnya, banyak di antara para awam yang keracunan doktrin agama yang brutal. Agama yang semestinya menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit kegelapan manusia, malah menjadi bisa yang mematikan dirinya dan dan orang lain.

Bagaimana tidak? Karena mereka menjadi over acting, mabuk “keracunan” agama, merasa benar sendiri, ektrim, radikal, dan intoleran terhadap setiap interpretasi dan ekspresi keagamaan yang berbeda, lebih-lebih terhadap orang lain yang menganut agama dan keyakinan berbeda.

Ceramah agama atau apapun modelnya sebenarnya bertujuan baik. Memberikan siraman untuk menghidupkan rohani supaya lebih baik dalam memahami agama. Namun bila disampaikan oleh orang atau da’I yang minim ilmu agama, alih-alih mencegah kemungkaran tetapi justru tanpa menyadari telah terjerumus ke lembah kemungkaran yang lebih besar lagi.

Seperti konsep “jihad” bom bunuh diri yang dianggap jalan menuju surga, padahal sesungguhnya sedang melakukan perbuatan jahat, mati sia-sia, dan telah membunuh manusia lainnya yang tak berdosa. Mereka menganggap perbuatan tersebut legal secara agama dan perintah ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi, padahal semua itu adalah keliru. Ini merupakan akibat krisis ahli fikih dan maraknya tukang pidato seperti telah diwanti-wanti Nabi.

Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa agama itu riwayat, bukan berdasar pada nalar akal. Riwayat berarti memahami agama berdasar petunjuk dari para ulama yang senyatanya memiliki keahlian secara purna. Bagi kita saat ini, meneladani dan mengikuti mereka jauh lebih penting dari pada mencoba mengambil hukum dari al Qur’an dan hadis dengan modal yang sangat minim.

Qur’an dan hadist sumber hukum. Fikih yang disusun oleh para ulama adalah sebagai jembatan mudah memahami kedua sumber. Karena itulah, penyusunan fikih dibutuhkan keahlian karena kerumitan menggali sumber yang tidak sembarangan.

Untuk memahami hukum jika hanya mengandalkan penerjemahan bahasa Quran dan hadist saja sangat tidak cukup. Karena itulah, membaca kitab-kitab fikih mulai dari yang paling sederhana hingga yang panjang-panjang penjelasannya, dan akan lebih selamat apabila dalam mempelajarinya mendapat bimbingan langsung dari para ulama yang ahli di bidang fikih. Al Faqih.

Mendalami ilmu fikih yang telah diperas ulama dari sumber Islam bukan hanya mampu menyelematkan dari penafsiran, tetapi manifestasi bahwa agama itu riwayat. Penafsiran terhadap qur’an dan hadist adalah riwayat yang terus dilestarikan dari Nabi, sahabat, tabiin dan ulama salaf.

Penceramah yang alim dan mampu memberikan pencerahan adalah da’I yang sekaligus ahli fikih. Bukan hanya bermodal popularitas, tetapi minim keilmuan.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …