akhlak karimah
akhlak karimah

Ataraxia dan Akhlak Mulia: Belajar Tiga Sifat Penghuni Surga

Konsep ataraxia dalam filsafat Yunani kuno mengacu pada keadaan ketenangan jiwa yang bebas dari kecemasan dan gangguan emosional. Filosof seperti Epicurus dan Pyrrho menjelaskan ataraxia sebagai puncak kebahagiaan manusia, di mana kedamaian batin tercapai melalui pengendalian diri, sikap tenang, dan kebijaksanaan.

Tragedi yang terjadi di Pulogadung, Jakarta Timur, di mana seorang pria paruh baya tewas dianiaya akibat perselisihan di jalan raya pada Jumat (22/11/2024) siang sekitar pukul 12.20 WIB, menjadi cerminan nyata dari betapa pentingnya akhlak dan pengendalian diri dalam kehidupan bermasyarakat. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana emosi yang tidak terkendali dapat berujung pada kekerasan yang fatal, mencabut nyawa seorang manusia tanpa alasan yang sebanding. Peristiwa kekerasan yang terjadi merupakan contoh nyata dari hilangnya sifat hayyin, di mana kelembutan hati dan sikap tenang digantikan oleh amarah yang destruktif.

Jika pelaku dapat mengontrol emosinya dan memilih untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik, insiden ini tidak akan terjadi. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan nafsu dan amarahnya, bukan pada kekuatan fisik.

  1. Dalam kasus di atas, sifat hayyin atau kelembutan menjadi kunci yang hilang. Orang yang memiliki sifat ini mampu menghadapi konflik dengan kepala dingin, tanpa terprovokasi oleh emosi negatif. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memuji Nabi Musa dan Nabi Harun yang diperintahkan untuk berbicara dengan Firaun, pemimpin yang sangat zalim, dengan cara yang lembut:
    “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia sadar atau takut.” (QS. Thaha: 44). Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan dalam situasi yang sulit, kelembutan adalah pendekatan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Jika pelaku memiliki sifat hayyin, ia mungkin akan memilih untuk berdialog dengan korban secara baik-baik, bukan dengan kekerasan.
  2. Sifat sahlin atau kemudahan dalam berurusan juga absen dalam kasus ini. Orang yang sahlin tidak suka mempersulit situasi, bahkan ketika dirinya berada dalam posisi yang dirugikan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
    “Allah akan memberi kemudahan bagi orang yang memudahkan urusan orang lain.” (HR. Muslim). Jika pelaku memilih untuk memudahkan persoalan, misalnya dengan menerima permintaan maaf atau menyelesaikan masalah secara damai, nyawa seseorang bisa terselamatkan, dan peristiwa ini tidak akan berujung pada tragedi. Sebaliknya, keinginan untuk memperumit dan memperbesar masalah justru menjadi pemicu utama kekerasan.
  3. Sifat terakhir yang hilang dalam kasus ini adalah qoribin, atau kedekatan dan keramahan. Orang yang qoribin adalah mereka yang mudah didekati, ramah, dan menjaga hubungan baik dengan sesama. Dalam peristiwa ini, hubungan antara pelaku dan korban berubah menjadi konflik karena tidak ada upaya untuk mendekati satu sama lain dengan niat baik. Padahal, dalam Islam, menjaga hubungan baik dengan sesama adalah hal yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:
    “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya, membiarkannya dalam kesulitan, atau merendahkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kedekatan yang dimaksud di sini bukan hanya soal hubungan emosional, tetapi juga kemampuan untuk memahami dan menghargai orang lain sebagai sesama manusia. Jika pelaku memiliki sifat qoribin, ia mungkin akan lebih memahami situasi dan memilih untuk menyelesaikan masalah dengan damai.

Kasus di Pulogadung menjadi pengingat penting bagi kita semua tentang betapa mendesaknya pengamalan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Sifat hayyin, sahlin, dan qoribin bukan hanya panduan moral bagi umat Islam, tetapi juga cara untuk menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis. Ketiga sifat ini mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya kelembutan, kemudahan, dan kedekatan dalam menghadapi berbagai situasi, termasuk konflik.

Konsep ini juga sejalan dengan nilai ataraxia atau ketenangan jiwa, yang dicapai melalui pengendalian diri, sikap lemah lembut, dan kebijaksanaan. Ketenangan batin merupakan buah dari pengamalan akhlak mulia dan kedekatan kepada Allah. Sejalan dengan sifat hayyin, sahlin, dan qoribin yang apabila mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka konflik dapat dihindari, dan ketenangan jiwa dapat diraih.

Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk meneladani sifat-sifat penghuni surga ini, bukan hanya untuk mencapai ketenangan dalam hidup, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadaban. Dengan kelembutan, kemudahan, dan kedekatan, kita tidak hanya menjaga hubungan dengan sesama manusia, tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah SWT, Sang Pemilik kedamaian.

Bagikan Artikel ini:

About Sefti Lutfiana

Mahasiswa universitas negeri jember Fak. Hukum

Check Also

sinar matahari

Hikmah Larangan Rasul, Duduk di Tempat yang Setengah Terkena Matahari dan Setengahnya Teduh

Salah satu ajaran Nabi Muhammad yang sering kali tampak sederhana namun mengandung kedalaman makna adalah …

takdir

Memahami Hubungan Takdir dan Usaha

Pertanyaan tentang hubungan antara takdir dan usaha telah menjadi salah satu problem abadi yang terus …