sifat allah
sifat allah

Akidah Aswaja tentang Sifat Allah (2) : Benarkah Sifat 20 Membatasi Sifat yang Lainnya?

Sudah maklum dalam ilmu Tauhid, sifat-sifat yang wajib bagi Allah swt ada dua puluh. Dalam doktrin Aswaja yang dua puluh ini dikerucutkan menjadi empat sebagaimana dijelaskan pada Bagian 1. Ini merupakan kesimpulan final dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Akan tetapi kesimpulan ini menjadi masalah besar bagi madzhab Salafy Wahaby, hingga mereka mengkritik bahwa dua puluh sifat wajib bagi Allah swt telah membatasi kepada sifat-sifat Allah swt lain. Padahal sifat-sifat Allah swt banyak sekali sebagaimana yang ada pada al Asma’ul Husna.

Sudah maklum, nama-nama Allah swt adalah sifat Allah sendiri,  ar rahman (maha pengasih), ar rohim (maha penyayang), al aziz (maha mulya) dan lainnya. Ketika Allah swt dibatasi hanya dengan dua puluh sifat saja, berarti sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah swt lainnya.

Apa yang dijadikan bahan kritikan oleh Salafy Wahaby menunjukkan betapa lemahnya pemahaman mereka terhadap sifat-sifat Allah swt. menyimpulkan Allah swt memiliki dua puluh sifat wajib bukan berarti tidak beriman kepada sifat-sifat Allah swt lainnya. Hanya saja bagi Ahlussunnah wal Jama’ah, selain sifat wajib yang dua puluh tidak menjadi esensial bagi Allah swt.

Di dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sifat yang melekat pada Allah swt ada dua: Pertama, Sifat esensial yang wajib berada pada dzat Allah swt. dan seandainya Allah swt tidak menyandang sifat-sifat ini maka gugur sifat uluhiyahnya Allah swt. Sifat esensial ini yaitu dua puluh sifat yang wajib bagi Allah swt.

Contoh sifat wujud yang berarti ada. Sifat ini harus ada pada dzat Allah swt, seandainya Allah swt tidak memilki sifat wujud dan memiliki sifat ‘adam yang berarti tidak ada, berarti tidak perlu ada yang disembah, karena hakikatnya yang akan disembah tidak ada. Begitu juga sifat qidam yang berarti dahulu. Sifat ini pun juga harus ada pada dzat Allah swt. Jika Allah swt memiliki sifat baru diciptakan yang merupakan lawan dari sifat qidam, maka pertanyaan mengapa tidak menyembah yang telah menciptakan Allah swt saja ? Bukankah ia lebih kuasa daripada Allah swt ?.

Sifat-sifat esensial ini menjadi syarat al Uluhiyah (ketuhanan). Apabila satu sifat dari sifat esensial ini tidak ada, maka dzat yang bersangkutan sudah tidak bisa diterima sebagai Tuhan. Sebab itulah, sifat esensial ini pasti diterma oleh akal dan nash.

Kedua, sifat non esensial. Sifat ini ada pada Allah swt tapi tidak menjadi syarat sebagai Tuhan. Misal sifat Arrahman (maha pengasih), tanpa sifat maha pengasih, Allah swt tetap sah sebagai Tuhan. Atau sifat al ghaffar (maha pengampun), Allah swt tidak gugur sifat ketuhanannya seandainya Allah swt tidak mau mengampuni dosa-dosa manusia. Sebab itulah sifat-sifat yang tercantum pada Al Asmaul Husna juga menyebutkan lawan sifatnya. Seperti sifat al Muhyi (maha menghidupkan), di sisi lain Allah swt juga menyebutkan sifatnya dengan al Mumit (maha mematikan).

Nah dengan demikian, pemberian sifat dua puluh yang wajib bagi Allah swt bukan berarti mengingkari dengan adanya sifat-sifat yang lain seperti yang berada pada al Asma’ul Husna. Hanya saja sifat-sifat yang berada pada al Asma’ul Husna tidak memiliki karakter sebagaimana dua puluh sifat wajib bagi Allah swt.

Imam Abu Abdillah as Sanusi, salah satu imam besar dalam Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan:

فَمِمَّا يَجِبُ لِمَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ عِشْرُوْنَ صِفَةً. أَشَارَ بِمِنْ اَلتَّبْعِيْضِيَّةِ إِلَى أَنَّ صِفَاتِ مَوْلَانَا جَلَّ وَعَزَّ اَلْوَاجِبَةَ لَهُ لَا تَنْحَصِرُ فِي هَذِهِ الْعِشْرِيْنَ, إِذْ كَمَالَاتُهُ تَعَالَى لَا نِهَايَةَ لَهَا. لَكِنَّ الْعَجْزَ عَنْ مَعْرِفَةِ مَا لَمْ يَنْصُبْ عَلَيْهِ دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ وَلَا نَقْلِيٌّ لَا نُؤَاخَذُ بِهِ بِفَضْلِ اللهِ تَعَالَى

Artinya: “Termasuk sesuatu yang wajib bagi Tuhan kita yang maha agung adalah sifa yang dua puluh. Penulis mengisyaratkan dengan lafadz “  “ yang memiliki arti “sebagian” untuk menegaskan bahwa sifat-sifat Tuhan kita yang maha agung yang wajib bagi_Nya tidak hanya terbatas pada yang dua puluh saja, karena kesempurnaan_Nya tidaklah terbatas. Hanya saja ketidak mampuan untuk mengetahui apa yang tidak ada dalilnya baik aqly atau pun naqly tidaklah membuat kita disiksa, itu karena karunia Allah ta’ala”[1].

Ahlussunnnah wal Jama’ah yang diwakili oleh imam As Sanusi tersebut menunjukkan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan sifat dua puluh kepada Allah swt bukan berarti membatasi kepada sifat-sifat lainnya. Hanya saja tidak ada petunjuk baik dari al Qur’an atau al Hadits yang menjelaskan adanya sifat esensial yang harus ada pada dzat Allah swt selain dua puluh sifat tersebut. Ini menyebabkan keterbatasan kemampuan akal manusia untuk mencerna dzat tanpa batas itu untuk mengetahui secara akal fikiran manusia yang sangat terbatas.

Dari sini, kami tegaskan lagi, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah tetap mengimani adanya sifat-sifat yang ada pada diri Allah swt selain sifat wajib yang dua puluh. Akan tetapi, berdasarkan nash dan akal, dua puluh sifat wajib Allah swt dianggap sebagai sifat esensial yang harus ada pada dzat Allah swt, di mana tanpa ada sifat-sifat ini maka akan menghancurkan sifat al uluhiyah Allah swt.


[1] Abu Abdillah As Sanusi, Syarh Umm al Barahin, Hal 1351

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …

menghambat terkabulnya doa doa

Meminta Doa kepada Orang Shalih Hukumnya Haram? Ini Dalilnya !

Dalam salah satu ceramahnya, Yazid bin Abdil Qadir Jawas berkata tidak boleh meminta doa kepada …