Dalam berbagai platform media sosial dan di tengah masyarakat, kelompok radikal mengklaim bahwa sebuah pemerintahan apakah itu negara dengan mayoritas muslim atau pemerintahan di negara non muslim dianggap sebagai thoghut jika tidak menerapkan syariat islam. Klaim sepihak ini menjadi justifikasi bagi kelompok tersebut untuk melakukan perlawanan, bahkan angkat senjata, terhadap pemerintah yang sah.
Tidak hanya kepada pemerintah, pelabelan thoghut juga diarahkan kepada lembaga negara seperti bank, sekolah, serta pegawai-pegawai negeri yang mereka anggap menjadi bagian dari sistem kafir. Dalam narasi mereka, semua yang tidak berhukum pada syariat dianggap thoghut wajib dijauhi, diperangi, dan bahkan halal darahnya. Narasi ini cenderung dimunculkan setiap kali negara menyelenggarakan agenda-agenda penting seperti pemilu, peringatan hari kemerdekaan, atau kegiatan nasional lainnya.
Makna dan Asal-Usul Istilah Thoghut
Secara bahasa, thoghut berasal dari kata thughyan dalam bahasa Arab, yang berarti melampaui batas. Dalam Al-Qur’an, istilah ini digunakan untuk merujuk kepada mereka yang menolak kebenaran, menempatkan diri di atas hukum Tuhan, bahkan mengklaim dirinya sebagai tuhan. Contoh yang paling dikenal adalah Firaun dan Namrud. Mereka disebut thoghut karena menolak ajaran para nabi dan menjadikan diri sebagai penguasa mutlak yang tak tunduk kepada Allah.
Firuan menganggap dirinya sebagai tuhan dan tidak mau tunduk kepada nabi Musa maka ia disebut thoghut. Begitu juga Namrud yang menganggap dirinya sebagai yang berkuasa di muka bumi dan tidak mau tunduk pada nabi Ibrahim, dia juga disebut thoghut. Keduanya memalingkan diri dari Tuhan lalu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhannya.
Bagi kelompok radikal di beberapa tempat wajib hukumnya menjauhi mereka yang dianggap thoghut. Keislaman mereka akan dianggap sempurna jika ia menjauhi orang-orang thoghut dan menyakini bahwa keyakinannyalah yang paling benar. Bukan saja terhadap pemerintahan tapi termasuk ulama-ulama yang bekerjasama dengan pemerintah wajib hukumnya dijauhi karena mereka adalah ulama suu.
Strategi Radikalisasi
Kelompok radikal menjadikan istilah thoghut, kafir, dan musyrik sebagai senjata ideologis yang menyasar target mereka. Pemerintah atau negara dianggap sebagai target musuh karena telah memposisikan diri sebagai tuhan yang menetapkan dan memberlakukan hukum-hukum terhadap rakyat tanpa memperhatikan al-Quran dan hadis sebagai sumber hukum dalam bernegara.
Selain itu, orang akfir dijadikan target operasi karena dianggap musyrik. Labelisasi musyrik ini juga meliputi rakyat yang patuh terhadap aturan pemerintah misalnya meyakini demokrasi sebagai salah satu cara yang paling efektif dalam mementukan pemimpim, melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dianjurkan pemerintah seperti upacara peringatan hari kemerdekaan dan menaikkan bendera di halaman rumah dan kegiatan ceremonial lainnya yang bernuasa kenegaraan. Bentuk-bentuk kegiatan ini dianggap sebagai kegiatan kemusyrikan.
Thoghut, kafir dan musyrik adalah tiga terminologi yang dilabelkan oleh kelompk radikal kepada para musuhnya dan mereka berjuang melawan tiga kelompok ini termasuk rela mengorbankan jiwa harta dan anak-anak mereka. Kasus teror yang terjadi di Surabaya dan Makassar menggambarkan pelibatan keluarga dalam aksi bunuh diri yang diakibatkan pemahaman yang ekstrem.
Menguji Dalil Tuduhan Thoghut
Perlu ditegaskan: apakah benar seorang Muslim yang bekerja di pemerintahan atau menjadi pejabat negara otomatis menjadi thoghut? Padahal, banyak dari mereka yang bersyahadat, menunaikan shalat, puasa, membayar zakat, bahkan menunaikan haji. Bukankah itu syarat dasar keislaman seseorang?
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah 1-5 Allah memberikan jaminan kepada mereka keberuntungan di akhirat karena mereka shalat, membayar zakat mempercayai hari kaimat dan kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. Ayat ini tentu berlaku bagi orang-orang muslim baik yang bekerja di pemerintahan maupun mereka sebagai pemangku kebijakan dalam pemerintahan. Pertanyaan di atas tentu membungkam analogi kelompok radikal apalagi jika pertanyaan itu didukung oleh ayat.
Kelompok radikal sepertinya melupakan ayat yang sangat penting di atas, lalu mereka kembali berdalih bahwa bekerja di pemerintahan yang thoghut adalah haram. Dalil itupun runtah dengan kesepakatan ulama bahwa boleh saja bekerja bersama orang kafir atau musyrik selama pekerjaan itu masuk dalam tiga kategori yaitu pekerjaan yang mubah, tidak mencelakakan umat Islam dan tidak mengandung unsur-unsur penghinaan terhadap Islam.
Rasulullah SAW sendiri pernah bermitra dengan orang-orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah dan pada masa awal dakwah. Ini menunjukkan bahwa kerja sama dengan pihak lain, termasuk negara, bukan hal yang otomatis dilarang.
Tidak sampai di situ, kelompok radikal justru mengajarkan kepada pengikutnya tata cara untuk menghindari orang-orang thogut, kafir dan musyrik yaitu membenci mereka, menjauhi mereka, dan memusuhinya.
Inilah sifat-sifat yang mendasar bagi kelompok radikal sehingga sulit untuk menyadarkannya kecuali melalui pendekatan-pendekatan intensif dan penanaman nilai nilai keagaaman secara terus menerus hingga mereka sadar bahwa apa yang mereka yakini adalah sebuah kekeliruan.
Membentengi masyarakat dari narasi sesat ini memerlukan pendekatan yang berkelanjutan—pendidikan agama yang moderat, literasi digital yang kuat, serta penguatan spiritualitas Islam yang sejuk dan rahmatan lil ‘alamin harus digalakkan.