isa almasih
isa almasih

Belajar Islam Kaffah Kepada Isa al Masih

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”(QS. al Hujurat; 13). Ungkapan ayat ini menegaskan bahwa tingkat kesalehan seseorang tidak diukur dengan banyaknya simbol keagamaan yang melekat pada tubuh.

Agama adalah keyakinan, bukan simbol. Dengan demikian beragama berarti mengerjakan segala perintah, menjauhi larangan dan berangkat dari keyakinan yang menyadari diri sebagai seorang hamba yang memang sepantasnya untuk sujud menyembah pencipta.

Praktik beragama seperti ini telah diajarkan dan dicontohkan oleh para Nabi, pengikutnya yang shaleh dan taat, para ulama. Salah satunya adalah Nabi Isa, Nabi yang harus diyakini oleh umat Islam.

Suatu ketika Nabi Isa didatangi oleh beberapa orang pengikutnya yang memakai baju kebesaran para agamawan, jubah dan sorban kalau masa sekarang, namun ia menyambut mereka dengan dingin, tidak ada aura bahagia. Seakan kurang suka dengan penampilan para sahabatnya dengan pakaian khas seorang pembesar agama.

Lebih dari itu, Nabi Isa menegur mereka semua dan menyampaikan bahwa mengelola batin lebih penting seribu kali dari pada simbol yang tampak sebagai kebesaran lahiriyah semata. Walaupun nasihat ini tidak menegasikan sepenuhnya akan pentingnya simbol. Maksudnya tidak lain ketika seseorang mampu mengelola batin maka pakaian dan simbol lainnya hanya merupakan pelengkap.

Nabi Isa berkata pada para sahabatnya “Kenapa kalian mendatangiku menggunakan pakaian biarawan, sementara hati kalian bagai hati serigala yang buas. Berpakaianlah seperti para raja dan matikanlah hati kalian dengan takut kepada Allah.

Ungkapan al Masih memberikan pengertian, berjubah, bersorban dan memakai pakaian kebesaran agama tetapi hati penuh dengan kesombongan (takabbur) atau sifat tercela lainnya sangat berbahaya. Simbol-simbol tersebut hanya akan memperdaya khalayak yang melihatnya. Maka menurut al Masih, lebih baik mengenakan pakaian raja, yakni simbol kemewahan dan kesombongan, namun hati justru selalu tunduk dan takut kepada Allah.

Dalam pandangan al Masih, beragama berarti berperilaku baik, suka menolong sesama dan peduli terhadap orang-orang lemah dan kaum tertindas. Bukan dengan memamerkan ibadah dan aktivitas ritual lainnya di hadapan publik.

Salah satu pesannya kepada para pengikutnya seperti dikutip Ahmad bin Hanbal dalam karyanya, al Zuhd, yaitu beribadah tanpa diketahui orang lain bahwa ia sedang atau telah beribadah. Lengkapnya apa yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah “Jika kalian menjalankan puasa, maka minyakilah jenggotmu dan usaplah kedua bibirmu, hingga ketika engkau berjumpa dengan orang-orang maka mereka akan mengatakan bahwa engkau bukan orang yang sedang puasa”.

Pernyataan Isa al Masih ini mengandung makna luar biasa. Praktek beragama secara kaffah yang tidak mementingkan tampilan. Islam yang kaffah juga membutuhkan penegasan totalitas.

Belajar berislam secara kaffah dari Nabi Isa mempunyai pengertian bahwa ibadah sepenuhnya urusan hamba dengan khaliq. Ruang privat. Manusia tidak bisa menilainya. Penegasannya, ritual ibadah bukan untuk dipamerkan, tapi dilakukan dalam ruang sunyi dan tersembunyi.

Jika seseorang melakukan ibadah dengan khusyu’, spiritualitasnya akan meningkat, maka lahiriah seseorang tergerak untuk menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Taat kepada Allah berarti memenuhi perintah-Nya dalam berinteraksi dengan makhluk-makhluk-Nya selalu mengedepankan akhlak yang baik.

Dalam Islam, pesan yang disampaikan oleh Isa al Masih satu arti dengan sabda Nabi Muhammad yang juga menekankan perlunya beragama dengan memperhatikan “isi”, bukan kulit. Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan bentuk kalian, tapi yang Allah lihat adalah hati kalian.”

Dengan demikian, menurut Nabi Muhammad dan Isa al Masih, takaran kesalehan seseorang tidak dilihat dari cara berpakaian, melainkan takwa. Menjalankan perintah dan menjauhi larangan dengan rasa takut kepada Allah dengan mengharap ridlo dan kasih sayangNya.

Ibnu Abi Syaiba menulis, suatu ketika Isa al Masih ditanya karena tidak pernah menggunakan Keledai atau Khimar sebagai alat transportasi untuk aktivitasnya sehari-hari. Ia menjawab: “Saya lebih mulia di hadapan Allah daripada disediakan alat transportasi yang dapat menyibukkan diri saya dari selain Allah.”

Inilah salah satu prinsip hidup Nabi Isa, hidup sederhana dengan hati yang selalu tertambat pada Allah jauh lebih baik dan menyenangkan daripada hidup dalam kemewahan namun jauh dari Tuhan, terlebih jika kemewahan itu dihasilkan dengan cara haram.

Suatu ketika Isa al Masih melewati komplek pemakaman, ia memanggil mayat lelaki yang ada di dalamnya. Lalu Allah menghidupkan mayat itu. Kepada mayat yang bangkit dari kuburnya, Isa bertanya: “Apa yang engkau perbuat saat masih hidup di dunia?” Lelaki itu menjawab: “Semasa hidup aku adalah seorang kuli angkut yang membawa barang di atas kepala. Dari pekerjaan ini aku bisa makan. Lalu suatu ketika aku mengangkut kayu bakar milik seseorang. Aku mengambilnya sedikit untuk tusuk gigi (membuang selilit). Ketika aku mati, Allah memberhentikanku di hadapan-Nya, sembari berfirman: “Wahai hambaku, apakah engkau tidak tahu bahwa Aku telah memberhentikanmu di hadapan-Ku. Seseorang dulu membeli kayu bakar dengan uangnya sendiri, dan ia memberikan upah kepadamu supaya engkau mengangkut ke rumahnya. Tapi ternyata engkau mengambil kayu yang tidak engkau miliki.” Hal ini seperti yang diterangkan dalam kitab al Zuhru al Fa`ih dan al Risalah al Qusyairiyah.

Dalam Ibnu al Jazari, menguatkan kisah Nabi Isa di atas, mayat yang hidup kembali tersebut meminta pertolongan (syafa’at) kepada Isa supaya diringankan siksaannya di sisi Allah, ia menjelaskan bahwa sudah empat puluh tahun, yakni sejak mati, dirinya selalu dimintai pertanggungjawaban atas kayu yang diambilnya.

Nabi Isa memberikan pelajaran baik kepada kita semua. Termasuk kepada umat Islam untuk secara kaffah dalam beragama. Kalau mengambil kayu milik orang lain untuk tusuk gigi saja pertanggungjawabannya sedemikian besar, bagaimana dengan harta yang jelas-jelas dihasilkan dengan cara haram yang jumlahnya banyak? Bukankah al Qur’an juga mengingatkan hal sama, “Barang siapa mengerjakan kabaikan sekecil biji dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan sekcil biji dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”. (QS. al Zalzalah; 7-8).

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

shalat rebo wekasan

Tahu Shalat Witir Saat Ramadan Saja? Kenali Hukum, Cara, dan Keuatamaan Witir

Memang banyak orang yang hanya mengerjakan Shalat Witir saat bulan Ramadan saja, tepatnya setelah shalat …

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto Safari Ramadan di Bantul

Tokoh Agama Harus Berperan Atasi Tantangan di Era Digitalisasi

Yogyakarta – Para tokoh agama harus berperan dalam mengatasi tantangan di era digitalisasi. Pasalnya, era …