Jakarta – Ketua Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH.Yusnar Yusuf Rangkuti, M.Sc, Ph.D mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk membendung penyebaran paham radikalisme adalah melalui dakwah dengan untuk meluruskan pandangan radikal tersebut yang dilakukan secara terus menerus.
“Dakwah harus terus dilakukan tanpa henti untuk memberikan pandangan yang benar dan meluruskan padangan-pandangan yang melenceng terhadap Islam sehingga masyarakat memiliki paham yang benar bahwa Islam itu adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin dan tidak mengajarkan kekerasan ataupun melakukan aksi terorisme,” ujar Yusnar di Jakarta, Jumat (19/6/2020).
Menurutnya, paham radikal terorisme sebenarnya adalah sesuatu ajaran pemikiran yang menyimpang dari paham yang sebenarnya tentang Islam itu sendiri. Adanya pemikiran yang menyimpang dari agama Islam itu dikarenakan memahami terhadap ajaran Islam yang tidak sempurna dan tidak mendalam.
“Sehingga kemudian memandang orang lain itu tidak sesuai dengan pandangan dia. Inilah yang kemudian menjadi paham radikal. Padahal paham yang benar tentang Islam itu tentunya adalah ‘Ya’lu Wala Yu’la ‘alaihi’ yang artinya adalah Islam itu adalah sesuatu agama yang lebih tinggi dari pada agama yang lain sehingga tidak perlu khawatir,” terang Ketua Umum Pengurus Besar Al Washliyah ini.
Ia juga mengungkapkan, sebenarnya perbedaan pendapat di dalam agama Islam adalah suatu hal yang biasa. Contohnya mengenai kebijakan salat Jumat saat pandemi Covid-19.
“Ada yang mengatakan boleh dilakukan bergelombang, berganti-gantian sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus Corona. Ini juga semapat menjadi pertentangan di media. Tapi ya silahkan saja salat Jumat sesuai yang ditetapkan, kan itu hanya sementara saja yang tujuannya baik untuk mencegah penyebaran virus,” terang Imam Besar Masjid Raya Telaga Kahuripan Bogor ini.
Dalam menghadapi banyaknya provokasi yang menentang kebijakan pemerintah dan bahkan kebijakan ulama yang dihembuskan pihak yang tidak bertanggung jawab di masa pandemi Covid-19, ia menjelaskan bahwa masyarakat bukannya terprovokasi, melainkan kurangnya kontrol di media sosial (medsos) sehingga mudah sekali dalam menyebarkan hoaks.
“Saya melihat di medsos yang sekarang itu tidak terkontrol maka seharusnya pemerintah melakukan tindakan kepada mereka-mereka yang menyebarkan hoaks. Tangkap saja yang suka menyebar hoaks itu. Karena itu telah menyebarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang telah dikatakan pemerintah,” katanya.
Yusnar menambahkan, moderasi beragama untuk menanamkan sikap toleransi dan keberagaman kepada masyarakat harus terus dilakukan. Menurutnya, itu bisa menjadi vaksin dalam melawan penyebaran radikalisme, baik saat pandemi Covid-19 maupun kondisi normal.
“Kalau dalam moderasi beragama, apa yang telah disampaikan oleh pemerintah ataupun ulama untuk kebaikan banyak umat, tentu kita harus mematuhinya. Dalam Islam juga mengajarkan seperti itu, ‘Ruhama bainahum’ yang artinya menebarkan kasih sayang terhadap sesama,” ungkapnya.
Selain itu dalam menanamkan vaksin anti radikalisme pada diri masyarakat, peraih gelar Doktoral dari University Kebangsaan Malaysia itu mengatakan bahwa sebenarnya sejak dulu imunitas itu sudah ada pada diri masing-masing manusia termasuk imunitas untuk melawan virus radikal.
“Kita sebenarnya sejak dulu bisa menumbuhkan imunitas untuk diri kita sendiri bahkan tanpa vaksin. Tetapi apakah boleh ada vaksin? Ya boleh saja. Terkait vaksin anti radikalisme untuk menjaga diri dari pengaruh paham radikal, tentunya Islam sendiri sudah mengajarkan sejak awal yang namanya ‘Thaharah’ yang bermakna bersih atau menyucikan diri yang mencakup secara lahir dan batin. Kalau diri kita sudah bersih, tentunya tidak akan kena yang namanya vius radikal seperti itu,” pungkasnya.