salah satu jalan yang diwariskan para ulama nusantara adalah dzikir dan shalawat tradisi yang bukan hanya menghubungkan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga merekatkan cinta kepada Rasulullah dan tanah air.
Indonesia sendiri, kata dia, faktanya berdiri di atas mozaik keragaman, lahir dari keseragaman, dari perbedaan yang dirajut dalam satu cita. Yakni, merdeka, adil, dan bermartabat. Keragaman ini adalah berkah sekaligus tantangan. Karena, bisa menjadi sumber kekuatan luar biasa, tetapi juga bisa berubah menjadi potensi perpecahan jika tidak dikelola dengan bijak.
“Pertanyaan mendasarnya adalah, apa yang mampu menjaga kebangsaan ini tetap utuh ketika politik memecah, ekonomi menekan, dan media sosial meruncingkan perbedaan? Jawaban yang sering terabaikan datang dari ruang spiritualitas, adalah shalawat dan dzikir kebangsaan,” ujar Ajam, akhir pekan ini.
Ajam menilai, tradisi religius ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi sebuah ekspresi sosial spiritual yang menyalakan kesadaran kebangsaan, menyatukan, meneduhkan, dan mengingatkan bahwa bangsa ini berdiri bukan hanya di atas kontrak politik, tetapi juga ikatan nilai dan doa.
Mencintai Rasulullah, kata Ajam, bukan sekadar mengagumi sosok historis, tetapi meneladani akhlak dan perjuangannya. Karena, Rasulullah hadir sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap keberagaman. Dalam konteks kebangsaan, cinta Rasul menuntun umat untuk menjaga persatuan, karena Rasulullah menolak perpecahan dan menekankan ukhuwah, baik ukhuwah Islamiyah, wathaniyah, maupun basyariyah.
Keteladanan Rasul yang penuh kasih sayang, kata dia, dapat menjadi fondasi moral bangsa. Jika cinta Rasul tertanam, maka akan tumbuh pula sikap tawadhu, adil, dan kepedulian terhadap sesama tanpa memandang suku, agama, atau golongan. “Dalam pandangan Islam, cinta kepada Rasulullah adalah konsekuensi dari cinta kepada Allah. Al quran menegaskan: ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’ (QS. Ali Imran: 31). Ayat ini menegaskan bahwa cinta Rasul bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan jalan teologis menuju ridha Allah. Meneladani Nabi adalah bentuk nyata penghambaan,” paparnya.
Rasulullah, kata dia, adalah representasi nilai ilahiah dalam kehidupan manusia. Cinta kepadanya berarti menghidupkan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari: kasih sayang, keadilan, kesabaran, dan keberanian moral. Dalam konteks kebangsaan, cinta Rasul menjadi sumber etika publik. Seorang pemimpin yang mencintai Nabi akan meneladani amanah dan kejujuran. Seorang rakyat yang mencintai Nabi akan meneladani kesabaran dan ketekunan bekerja.
“Cinta Rasul adalah landasan teologis dapat membentuk moralitas kolektif sebuah bangsa. Sementara dalam perspektif sosiologis, cinta Rasul berfungsi sebagai modal sosial yang mengikat komunitas, melahirkan gerakan sosial yang transformatif,” katanya.
Menurutnya, ulama Nusantara menjadikan cinta kepada Nabi sebagai inspirasi perjuangan melawan penjajahan. KH Hasyim Asy’ari, kata dia, memobilisasi resolusi jihad dengan semangat ‘Jika kita mencintai Rasul, maka kita harus membela tanah air dari penjajah’. “Begitu juga Buya Hamka menulis bahwa cinta Nabi berarti membebaskan manusia dari penindasan, baik politik maupun ekonomi. Cinta Rasul bukan hanya nilai spiritual, tetapi juga energi sosial untuk perubahan,” katanya.
Ajam menilai, bangsa Indonesia yang majemuk membutuhkan energi pemersatu. Dzikir dan shalawat bisa menjadi jembatan antara spiritualitas dan kebangsaan. Tradisi ini, membentuk karakter religius sekaligus nasionalis: religius karena meneguhkan cinta Rasul, nasionalis karena menghidupkan cinta tanah air. Kebhinekaan, bukanlah ancaman, melainkan kekayaan. “Dengan dzikir, kita belajar rendah hati; dengan shalawat, kita belajar menebar cinta. Keduanya dapat menjadi fondasi membangun persaudaraan lintas iman dan budaya, sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dzikir adalah pengingat diri akan kehadiran Allah, sementara shalawat adalah ungkapan cinta kepada Rasulullah,” paparnya.
Menurutnya, jika keduanya dirangkai dalam ruang publik maka akan menjadi kekuatan spiritual sekaligus sosial. Dzikir dan shalawat yang bergema di berbagai penjuru negeri, terbukti menjadi ruang inklusif. Dari petani hingga pejabat, dari mahasiswa hingga buruh, dari desa hingga kota semua duduk bersama, melafalkan nama Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada sekat, serta tidak ada identitas politik tapi hanya ada kesatuan hati.
“Inilah yang jarang kita sadari, bahwa dzikir dan shalawat bukan hanya ritual, melainkan energi kolektif yang dapat melampaui sekat sosial, etnis, bahkan agama. Dalam suasana batin yang sama, kita belajar rendah hati, saling memaafkan, dan merasakan kedekatan spiritual yang menyatukan kebhinekaan,” katanya.
Indonesia yang majemuk, kata dia, hanya bisa bertahan jika kita memiliki dasar spiritual yang kokoh. Politik saja tak cukup, ekonomi saja tak menjamin, hukum saja sering tak adil. Jadi, yang menyatukan adalah nilai, dan nilai itu bersumber dari spiritualitas. Dzikir menanamkan kesadaran akan keterbatasan diri. Sholawat menumbuhkan cinta dan kerendahan hati. Keduanya, membentuk manusia yang siap menerima perbedaan, bahkan menjadikannya kekuatan. “Di sinilah letak filosofisnya, bahwa kebhinekaan bukan sekadar fakta sosiologis, melainkan mandat spiritual untuk hidup dalam harmoni,” katanya.
Ajam menegaskan, cinta rasul dan cinta tanah air adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui dzikir dan shalawat, umat dapat memupuk kesadaran spiritual sekaligus kebangsaan. Dari ruang-ruang masjid, kampus dan pesantren, hingga lapangan terbuka, gema sholawat mampu melintasi sekat sosial dan mengikat persaudaraan. Dzikir dan shalawat, bukan hanya ritual ibadah, melainkan perekat kebangsaan. Dari sinilah lahir bangsa yang kuat, bangsa yang mencintai Rasul, mencintai tanah air, dan merajut kebhinekaan dengan penuh cinta.
Ajam mengatakan, cinta Rasul dan cinta tanah air bukan dua jalan yang terpisah, melainkan satu jalan menuju bangsa yang bermartabat. Karena, rasul mengajarkan kasih sayang, tanah air menuntut pengorbanan. Keduanya bertemu dalam dzikir dan shalawat yang mengikat hati umat. Ketika kita melantunkan dzikir, kita sedang menenangkan jiwa bangsa. Ketika kita bersholawat, kita sedang menyalakan api cinta yang melampaui sekat.
“Jika tradisi ini dihidupkan, Indonesia akan tetap kokoh berdiri, bukan sekadar karena kekuatan politik atau ekonomi, melainkan karena cinta yang diwariskan Rasul dan ikrar suci kepada tanah air. Bangsa yang berdzikir adalah bangsa yang sadar diri. Bangsa yang bersholawat adalah bangsa yang penuh cinta,” katanya.