Demi mempertahankan keimanannya, para sahabat berani menanggung derita siksaan yang luar biasa. Pedihnya luka tidak bisa mengalahkan manisnya iman. Tapi berbeda dengan sahabat Amar bin Yasar. Dia mengaku bukan Islam untuk menyelematkan diri dari siksaan, tapi bagaimana iman dan hatinya yang sesungguhnya?
Amar bin Yasar merupakan salah satu dari tujuh orang sahabat Nabi Muhammad yang pertama kali masuk Islam. Di antara mereka ada Abu Bakar, Yasar (ayah dari Amar), Samiyah (ibu dari Amar), Shuhaib, Bilal bin Rabah, dan Khobbab. Kecuali Abu Bakar, mereka semua mendapat siksaan pedih dari orang-orang kafir dengan alasan agar para sahabat itu segera sadar dan mau kembali ke agama mereka semula.
Tidak tanggung-tanggung, siksaan yang dilancarkan itu pun sampai meregang nyawa. Samiyah, ibu Amar bin Yasar, mengalami perlakuan yang sangat menghinakan. Ia diseret dengan dua keledai dan ditancapkan tombak tepat pada kemaluannya sampai ia mati. Begitu juga suaminya, Yasar, juga dibunuh dengan cara keji. Kedua orang ini dicatat sejarah sebagai orang yang pertama kali terbunuh karena memeluk agama Islam.
Sisanya kecuali Abu Bakar, hampir mengalami perlakuan yang sama. Bilal disiksa tanpa diberi makan dan minum di tengah terik matahari padang pasir. Namun pendiriannya tidak pernah goyah dengan menegaskan bahwa Tuhan yang dia anut adalah satu. Saat Abu Bakar menyaksikan itu, lalu Bilal dibebaskan dengan harga yang sangat tinggi. Khobab juga mengalami perlakuan yang mematikan juga. Ia bahkan dibakar dengan kadar api yang sangat besar. Namun tidak mempan kecuali hanya terbakar di bagian kecil di punggungnya saja.
Berbeda dengan Amar bin Yasar, ia justru mengakui kalau dirinya sudah tidak mengikuti Muhammad lagi. Ia turuti tuntutan orang-orang kafir yang menginginkan ada penegasan dari mulutnya kalau dia akan setia kembali dengan agamanya semula dan meninggalkan Muhammad.
Para ulama berpendapat bolehnya mengucapkan “kafir” dalam keadaan terdesak, takut dibunuh. Namun, mati dalam keadaan memeluk Islam tetap menjadi yang utama.
Apa yang dilakukan Ammar cukup membuat orang-orang kafir merasa sukses atas intimidasi dan diskriminasi yang dilakukan. Dengan segera dan berbangga diri, mereka menyampaikan berita itu kepada Muhammad. Namun Rasulullah tidak semudah itu mempercayai kabar tentang murtadnya Amar. Bahkan beliau tetap meyakini kalau seluruh tubuh Amar mulai dari ubun-ubun hingga telapak kakinya masih dipenuhi keimanan. Sebab iman sudah menjalar di dalam darah dagingnya.
Tidak berselang lama dari berita itu sampai kepada Rasulullah, Amar mendatanginya untuk klarifikasi. Saat datang dengan penuh peluh dan derai air mata, Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa sebenarnya yang terjadi, Amar?” Ia pun menjawab, “Sangat buruk, wahai Rasul. Saya telah meraih Islam darimu dan saya ingat itu.” “Namun bagaimana dengan hatimu, Amar?” tanya Rasulullah untuk memastikan ketegasan Amar. Dan Amar pun menjawab kalau hatinya masih dipenuhi keimanan. Mendengar pernyataan itu dari Amar, Rasulullah mengusap derai air mata Amar dengan mengatakan, “Jika mereka kembali kepadamu maka boleh kamu katakan seperti yang kamu katakan kepada mereka.”
Atas riwayat tersebut para ulama berpendapat bolehnya mengucapkan “kafir” dalam keadaan terdesak, takut dibunuh. Namun, mati dalam keadaan memeluk Islam tetap menjadi yang utama seperti halnya yang dialami kedua orangtua Amar, mengalami siksaan sampai meninggal.
Demikian kasus yang sangat jeli dipahami terkait membela Islam dengan bermuka dua. Poin pentingnya, harus berkaitan erat dengan keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Seperti kisah dua sahabat Nabi yang dipaksa oleh Musailamah al-Kadzab untuk mengakui kenabiannya. Saat salah satu di antara mereka ditanya, “Bagaimana kamu menganggap Muhammad?” Sahabat yang ditanya itu menjawab, “Ia adalah Rasulullah.” Lalu Musailamah bertanya lagi, “Lalu bagaimana kamu menganggapku?” Sahabat itu pun menjawab, “Engkau juga.” Dan akhirnya, sahabat itu pun dibebaskan.
Musailamah bertanya kepada sahabat yang satunya lagi, “Bagaimana kamu menganggap Muhammad?” Sahabat yang ditanya menjawab, “Muhammad adalah Rasulullah.” Lalu Musailamah bertanya lagi, “Dan bagaimana kau menggapku?” Sahabat yang ditanya itu pun menjawab, “Saya tuli tentang kamu.” Mendengar jawaban itu, Musailamah tidak segan-segan menghabisi nyawa sahabat yang satu itu. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari semua kisah ini dan menempatkannya pada konteks yang relevan.
Khoirul Anwar Afa, Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin PTIQ Jakarta