Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mendorong berbagai negara muslim untuk mengutuk dan mengecam. Walaupun pernyataan Macron adalah sebatas perlindungan dan pembelaan terhadap negaranya dari gejolak separatisme atas nama agama, kalimat itu terlalu universal dan menggeneralisir Islam secara keseluruhan. Tentu saja amarah dan kecaman pun meledak di berbagai negara.
Lalu, di tengah arus narasi kemarahan umat Islam di berbagai negara terselip satu narasi kecil tapi klasik yang selalu didengungkan tetapi belum menemukan tempat yang relevan di hati umat. Narasi itu berbunyi : inilah saatnya menyatukan negeri-negeri Islam dengan khilafah!!! Tentu dengan tanda seru untuk menyatakan semangat yang berapi-api.
Betulkah umat Islam membutuhkan khilafah di tengah kemarahan terhadap Macron? Betulkah umat Islam perlu khilafah untuk menyatukan dan mempererat persaudaraan sesama muslim? Betulkah umat Islam membutuhkan khilafah untuk memperjuangkan Nabi Muhammad yang dihina?
Pemimpin muslim dan umat Islam dari berbagai negara ternyata tergerak dan bergerak untuk melakukan kecaman terhadap penghinaan yang mengatasnamakan kebebasan. Banyak pula di berbagai negara muslim yang melakukan aksi boikot terhadap produk-produk Prancis. Gerakan ini adalah didasarkan persaudaraan yang melintasi batas negara, walaupun batas negara itu tetap dihormati.
Hikmah dari ucapan Macron, terlepas dari pernyataannya untuk kelompok ekstremis dalam Islam, telah menyatukan umat Islam dari berbagai negara. Kesatuan umat Islam sejatinya tidak dibentuk oleh struktur kekuasaan tetapi pada kesamaan identitas dan solidaritas. Membuat muslim bersatu dari berbagai negara, tidak perlu membutuhkan kekuasaan formal bernama khilafah secara global. Semua pemimpin muslim dan umat Islam bergerak tanpa komando khilafah, karena ini dimaknai sebagai solidaritas dan kecintaan terhadap Rasulullah.
Kecintaan kepada Rasulullah melebihi kecintaan untuk mendirikan khilafah. Karena itulah, energi cinta Rasulullah bergerak cepat membentuk kesamaan dan kesatuan umat Islam di berbagai negara tanpa perlu adanya khilafah. Tapi, bukankah dengan adanya khilafah akan lebih mudah menyatukan?
Faktanya, tidak ada satupun negara Islam dan mayoriats muslim yang sepakat untuk disatukan dengan khilafah global. Tidak ada satupun negara-negara merasa perlu disatukan dalam kampium khalifah tunggal. Negara-negara Timur Tengah pun tidak bersatu dalam satu kekuasaan tunggal khilafah. Namun, mereka saat ini rata-rata disatukan dengan kesamaan identitas dan pembelaan terhadap kemuliaan Islam dan Rasulullah.
Apakah solusi khilafah tidak diperlukan dalam menyatukan umat Islam terkait pernyataan Macron? Tentu pernyataan ini dikembalikan kepada mereka yang selalu getol memperjuangkan khilafah di tengah isu apapun. Negara-negara muslim pun tetap bersatu ketika Islam dihina dan Nabi dilecehkan. Pembelaan itu tidak perlu menunggu khilafah.
Namun, bagi mereka yang menunggu khilafah bisa mengambil pelajaran penting untuk menyatukan diri sebelum menyatukan seluruh umat. Mereka harus bisa menerima perbedaan sebelum ingin menyatukan perbedaan. Mereka harus belajar mengangkat pemimpin yang terpercaya sebelum percaya diri memimpin seluruh umat Islam di dunia.
Jika hal itu tidak bisa, maka solusi khilafah berlaku untuk para pejuangnya untuk menerapkan sistem khilafah setidaknya untuk kalangan internal sendiri. Perjuangan khilafah membutuhkan solusi khilafah yang baik di kalangan sendiri.