kesombongan

Dari Iblis hingga Firaun: Jejak Kelam Sombong yang Menjatuhkan Manusia

Sombong itu licik. Ia tidak selalu datang dengan tampang garang atau kata-kata kasar. Kadang ia muncul sebagai bisikan halus di dalam dada: merasa paling benar, paling mampu, paling tahu, paling layak dihormati. Di titik itu, seseorang tanpa sadar mulai menutup pintu kebenaran—bukan karena tidak ada kebenaran yang datang, tetapi karena hatinya sudah penuh oleh dirinya sendiri.

Kesombongan membuat seseorang sulit menerima masukan. Ia memandang orang lain lebih kecil, pendapat orang lain tidak penting, pengalaman orang lain tidak cukup berharga. Padahal, manusia tumbuh justru dari kemampuan mendengar dan belajar. Ketika seseorang menolak kebenaran hanya karena tidak sesuai dengan ego, ia sedang melakukan apa yang oleh Nabi ﷺ disebut sebagai hakikat sombong.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi definisi paling tegas bahwa sombong bukan soal pakaian indah atau hidup makmur—melainkan sikap batin yang merendahkan orang lain dan menolak petunjuk.

Kesombongan juga merusak relasi sosial. Orang sombong hanya ingin didengar, tidak ingin mendengar. Ia ingin dihargai, tetapi tidak bisa menghargai. Dalam tawa terbahaknya, ia ingin menegaskan superioritas, bukan kebahagiaan. Dalam tutur dan tindaknya, ia ingin memantapkan jarak: dirinya lebih tinggi, yang lain lebih rendah. Lingkungan sosial pada akhirnya menjauh, bukan karena iri, tetapi karena lelah menghadapi tembok ego yang tidak bisa ditembus.

Secara spiritual, sombong adalah dosa yang paling dibenci Allah. Dalam bahasa Al-Qur’an, sombong tidak sekadar kesalahan sikap, tetapi pembangkangan terhadap Tuhan. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18). Lebih keras lagi, Allah mengingatkan: “Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang menyombongkan dirinya tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf: 146). Artinya, kesombongan dapat menutup pintu hidayah. Bukan karena Allah pelit memberikan petunjuk, tetapi karena hati yang sombong tidak lagi mau menerimanya.

Kesombongan bahkan bisa menyeret seseorang pada jurang syirik—menyamakan dirinya dengan Tuhan. Iblis jatuh bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, tetapi karena sombong: merasa dirinya lebih mulia dari Adam. Firaun tenggelam bukan karena ia tidak tahu ada Tuhan, tetapi karena ia merasa paling berkuasa: “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.” Semua berawal dari satu penyakit yang sama: merasa diri besar.

Karena itu, Nabi ﷺ memperingatkan bahwa “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji sawi.” (HR. Muslim). Hadis ini bukan ancaman kosong; ia adalah peringatan bahwa sombong menghancurkan manusia dari dalam, mematikan empati, menutup telinga dari nasihat, dan menutup pintu ridha Tuhan.

Sifat sombong harus disadari dan dibereskan sejak dini. Bukan dengan pura-pura rendah diri, tetapi dengan memahami bahwa manusia hanyalah hamba. Apa pun yang dimiliki—ilmu, harta, jabatan, popularitas—hanyalah titipan yang bisa hilang kapan saja. Merendah bukan berarti mengecilkan diri, tetapi mengenali tempat diri di hadapan Tuhan dan sesama manusia.

Dalam dunia yang semakin kompetitif dan bising, kerendahan hati bukan kelemahan. Ia adalah bentuk kejernihan jiwa, kekuatan yang mempertahankan manusia tetap utuh di hadapan Tuhan dan sesama.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Ahmad Muzani di Makkah

Di Makkah, Ketua MPR Ahmad Muzani Paparkan Pancasila sebagai Titik Temu Keberagaman Indonesia

Makkah — Ketua MPR RI Ahmad Muzani menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran Platform Elektronik …

Menag Nasaruddin Umar copy

Tak Hanya Penerima Ilmu dari Timur Tengah, Indonesia Tapi Kini Rujukan Studi Keislaman Global

Surabaya — Indonesia yang memiliki lebih dari 240 juta pemeluk Islam dinilai semakin berperan dalam …