muslim ideal
muslim ideal

Empat Ciri Muslim Ideal Sebagaimana Tradisi Berislam Nabi

Keislaman kita tidak akan se-kaffah keislaman Nabi Muhammad. Tipikal muslim ideal yang paling sempurna ada pada diri Baginda Nabi sebagai manusia paling sempurna. Manusia, tapi tidak seperti manusia pada umumnya. Untuk menjadi muslim ideal maka harus meniru tradisi keislaman Nabi. Sekalipun tidak akan sesempurna beliau. Minimal mendekati.

Apabila meneliti beberapa hadits dan sejarah Nabi Muhammad, minimal ada empat ciri muslim ideal yang ditampilkan dalam kehidupan beliau. Empat ciri tersebut harus ada pada setiap pribadi muslim kalau hendak dikatakan sebagai muslim yang ikut sunnah.

Pertama, memiliki komitmen kebangsaan yang baik.

Hal ini dicontohkan Nabi ketika berada di Madinah. Alkisah, ketika Nabi dan para sahabat hijrah dari Makkah ke Madinah, ujian pertama yang dihadapi adalah wabah. Madinah pada saat itu sedang dilanda wabah. Abu Bakar sempat sakit karena wabah tersebut. Beberapa sahabat sampai tidak kerasan berada di Madinah, termasuk sahabat Bilal.

Dalam kondisi seperti itu, Nabi kemudian berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami cinta terhadap Madinah sebagaimana kami cinta terhadap Makkah, atau bahkan lebih dari itu”. (HR. Bukhari)

Demikian juga kecintaan Nabi pada Makkah, tempat kelahiran beliau. Hal ini beliau ungkapkan sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas. Beliau mengatakan: “Alangkah bagusnya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan sebuah negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak akan tinggal di negeri selainmu”. (HR. Ibnu Hibban)

Dua hadits di atas menunjukkan secara jelas komitmen kebangsaan atau nasionalisme Nabi Muhammad. Beliau begitu mencintai Makkah sebagai tanah kelahirannya. Andaikan tidak terpaksa tentu beliau enggan untuk meninggalkan kota Makkah dan pindah ke Madinah.

Demikian pula disaat hijrah ke Madinah, beliau sangat mencintai Madinah. Saking cintanya, pada saat kembali dari bepergian begitu pagar-pagar kota Madinah mulai terlihat beliau mempercepat laju tunggangannya.

Kedua, menjaga toleransi umat beragama.

Setelah membentuk negara Madinah, Nabi bersama seluruh komponen masyarakat Madinah yang multikultural membuat sebuah kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut kemudian masyhur disebut “Piagam Madinah”. Bahkan, Nabi rela mengganti redaksi “Muhammad Rasulullah” dengan Muhammad bin Abdullah.

Sebagaimana telah maklum, penduduk Madinah yang beragama Kristen keberatan dengan redaksi “Muhammad Rasulullah ” cantum di piagam Madinah karena mereka merasa Muhammad bukan Nabi mereka. Demi menjaga toleransi beragama beliau rela redaksi itu diganti.

Perlu diketahui pula, sewaktu memimpin Madinah Nabi Muhammad tidak menggunakan al Qur’an sebagai undang-undang resmi, namun membuat satu rumusan yang kemudian disebut Piagam Madinah. Hal ini supaya undang-undang tersebut mampu untuk mewakili seluruh pemeluk agama supaya toleransi beragama berjalan baik. Madinah adalah negara milik seluruh masyarakat Madinah sekalipun tidak memakai al Qur’an secara formal sebagai undang-undang negara.

Ketiga, anti kekerasan

Bagi Rasulullah, perang adalah alternatif paling terakhir. Perang hanya dilakukan apabila menjadi satu-satunya instrumen untuk menyebarkan agama Islam. Itupun dengan persyaratan yang sangat ketat.

Sebab, keadilan da kedamaian menjadi pilihan utama dalam Islam seperti diisyaratkan oleh al Qur’an (Al Anfal: 61). Islam adalah agama yang pro perdamaian. Perdamaian dan keadilan akan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang yang cinta kedamaian dan keadilan termasuk orang yang paling mengerti terhadap tujuan diturunkannya Islam ke Bumi. Sebaliknya, orang yang senang melakukan tindakan kekerasan pada hakikatnya tidak memahami dengan baik ajaran Islam.

Keempat, memiliki pandangan yang menghormati tradisi dan budaya lokal

Islam bukan agama yang anti terhadap budaya dan tradisi lokal. Islam sangat menghargai dan mengapresiasi terhadap setiap budaya lokal. Selama tradisi dan budaya suatu masyarakat tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka harus dipelihara sebagai kekayaan khazanah budaya.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah hadir di Madinah, kemudian menjumpai orang Yahudi sedang berpuasa Asyura. Mereka ditanya tentang puasa tersebut, mereka menjawab, “Hari ini adalah hari dimana Allah memberi kemenangan terhadap Nabi Musa dan Bani Israil atas Fir’aun. Maka kami berpuasa untuk menghormati Nabi Musa”. Kemudian Nabi bersabda: “Kami (umat Islam) lebih utama berpuasa untuk menghormati Nabi Musa dibandingkan kalian. Lalu, Nabi memerintahkan umat Islam untuk berpuasa di hari Asyura. (HR. Muslim)

Puasa Asyura adalah tradisi berpuasa kaum Yahudi untuk menghormati Nabi Musa. Hal itu tidak dipandang “bid’ah” oleh Nabi, bahkan beliau mengapresiasi tradisi tersebut dan memerintahkan umat Islam supaya berpuasa di hari Asyura.

Inilah empat hal yang harus melekat dalam pribadi setiap muslim. Empat hal di atas adalah tradisi berislam Nabi yang dicontohkan kepada umat Islam. Maka, jika seorang muslim tidak memiliki empat ciri tersebut, maka masih jauh untuk dikatakan sebagai penganut agama Islam yang benar. Seperti teroris, ekstremis dan termasuk kelompok yang menginginkan formalisasi syariat Islam di Indonesia.

Kesimpulannya, apabila muslim mempraktekkan kebalikan empat ciri di atas, sungguh telah keluar dari ajaran Islam yang benar. Muslim tapi tidak memiliki semangat cinta tanah air, intoleran, suka melakukan aksi-aksi kekerasan dan tidak akomodatif terhadap tradisi atau budaya lokal, ia telah keluar dari tradisi keislaman Baginda Nabi Muhammad.

 

 

Bagikan Artikel ini:

About Farida Asy'ari

Dosen Agama Politeknik Negeri Pontianak

Check Also

suara perempuan

Islam dalam Pandangan Perempuan

Kalau bertanya pandangan agama Islam terhadap perempuan, jawabannya, sama saja. Islam tidak membedakan derajat antara …

jihad

Salah Kaprah Jihad ala Teroris, Inilah Makna Jihad dalam Islam

Manusia sebagai khalifah (wakil) Tuhan di Bumi. Salah satu tugas manusia adalah untuk menciptakan tatanan …