dalil maulid nabi
maulid nabi

Kritik Pemikiran Muhammad Bin Jamil Zainu (2) : Apakah Merayakan Maulid Nabi Menyerupai Perayaan Natal?

Setelah Muhammad bin Jamil Zainu menganggap perayaan Maulid Nabi saw tidak memiliki dalil, kemudian ia juga mengatakan kalau perayaan Maulid Nabi saw menyerupai perayaan Natal milik agama Nashrani. Muhammad bin Jamil Zainu menganggap ummat Islam yang merayakan Maulid Nabi saw meniru-niru (tasyabbuh) tradisi kafir Nashrani. Padahal meniru-niru tradisi orang kafir hukumnya haram sebagaimana ditegaskan oleh Nabi saw:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk bagiannya” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Di sini saya akan meluruskan tentang apakah perayaan Maulid Nabi saw layak dianggap menyerupai perayaan Natal atau tidak ?

Sebelum masuk kepada ranah hukum, sebaiknya kita harus mengetahui apa yang disebut dengan tasyabbuh (meniru-niru). Secara bahasa, tasyabbuh diambil dara fiil madhi tasyabbaha yang memiliki menyerupai.

Pengertian dan Hukum Tasyabuh

Dalam kamus Mu’jam al Awsat, makna tasyabbuh disebutkan :

( تَشَبَّهَ ) بِغَيْرِهِ مَاثَلَهُ وَجَارَاهُ فِي الْعَمَلِ

Artinya: “Makna tasyabbaha (menyerupai) dengan yang lain, artinya menyamai dengan yang lain dan keduanya berjalan dalam satu perbuatan”[1].

Ulama’ Fiqh dalam menggunakan makna tasyabbuh tidak jauh dari makna bahasanya, yaitu menyerupai, menyamai atau meniru-niru dengan yang lain[2].

Kemudian berkaitan dengan hukum tasyabbuh, ulama sepakat hukumnya haram bahkan bisa sampai kepada kafir. Namun hukum ini jika memenuhi beberapa catatan sesuai dengan bentuk tasyabbuhnya (apa yang ditirunya). Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugur hukum keharamannya.

Di dalam masalah tasyabbuh dengan kafir, fuqaha’ membagi menjadi tiga kategori :

1. Tasyabbuh fil libas; yaitu meniru-niru cara berpakaian orang kafir, seperti menggunakan baju santa claus, menghiasi rumah dengan pohon cemara sebagaimana dilakukan ummat Kristiani dan sebagainya.

2. Tasyabbuh fil a’yad; yaitu meniru-niru dalam perayaan hari besar orang kafir, seperti Natal, Nyepi, Waisak, dan sebagainya. Ikut berbangga-bangga ria karena datangnya hari raya milik orang kafir hukumnya haram.

3. Tasyabbuh fil ibadah; yaitu menyerupai orang kafir dalam aspek beribadahnya. Sebab itu, dalam Islam dimakruhkan shalat setelah shalat Subuh hingga matahari terbit dan meninggi seukuran tombak, karena saat-saat itu waktu orang kafir melakukan sujud.[3]

Maulid Tasyabuh Natal?

Sekiranya, Muhammad bin Jamil Zainu dalam menyamakan perayaan Maulid Nabi saw dengan Natal ini dimasukkan ke dalam kategori tasyabbuh fil a’yad. Ini adalah pandangan yang tidak benar.

Jika kita amati teks-teks atsar dan pendapat fuqaha’, yang dimaksud tasyabbuh fil a’yad itu bukan melakukan tindakan yang sama sebagaimana orang kafir melakukan. Bukan karena orang kafir merayakan hari Natal kemudian seandainya orang muslim merayakan hari Raya Idul Fitri lalu dianggap meniru-niru.

Akan tetapi, yang dimaksud meniru-niru dalam hari raya adalah ikut andil, membantu, berbangga-bangga ria atau meniru-niru di hari raya mereka dengan perilaku yang sama dengan mereka. Hal meniru-niru yang demikian tentu hukumnya haram karena ikut andil mensyiarkan acara orang kafir.

Mari kita simak Atsar dari Ibn Umar bin Khattab ra tentang larangan tasyabbuh fil a’yad milik orang kafir:

مَنْ مَرَّ بِبِلاَدِ الْأَعَاجِمِ فَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ ، حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Barangsiapa yang melewati negara Ajami (bukan bangsa Arab), lalu membuat sesuatu di hari Nairuz mereka, dan perayaan hari besar mereka, lalu orang tersebut ikut-ikutan meniru yang mereka lakukan hingga ia mati, maka orang tersebut seperti mereka, artinya dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat”

Atsar ini oleh ulama’ dijadikan dasar tentang ketidak bolehan menyerupai kafir dalam hari rayanya dengan cara berbangga-bangga ria melakukan hal sama di hari raya mereka. Pemahaman aspek lain dari atsar ini, perilaku tersebut dapat dikategorikan tasyabbuh fil a’yad jika menjadi mobilisasi terhadap hari rayanya. Mobilisasi di sini dalam makna luas yaitu membantu mensukseskan acara atau ikut mensyiarkan hari rayanya.

Oleh karena itu, Ibn Qasim dari madzhab Maliki, tidak mempersoalkan membeli semisal lilin pada hari raya Natal di toko-toko atau di pasar jika ia membeli bukan dalam rangka membantu mensukseskan Natal tetapi karena kebutuhan lain. Begitu juga imam Ahmad bin Hanbal tidak mempermasalahkan seseorang membeli kebutuhan di pasar-pasar yang sama dengan kebutuhannya orang kafir yang sedang merayakan hari raya jika tidak ada tujuan tasyabbuh karena sudah tidak unsur taawun atau mobilisasi lagi[4].

Jika kita lihat dari keterangan di atas, rasanya tidak layak perayaan Maulid Nabi saw dikatakan meniru-niru hari Natal. Sebab sama sekali tidak memobilisasi terhadap hari Raya Natal. Lebih-lebih aspek isi yang dilakukan pada Maulid Nabi saw dengan Natal jauh sekali perbedaannya. Sehingga pertanyaannya, dimana letak kesamaannya antara Natal dengan Maulid Nabi saw ?.

Jika yang dimaksud peringatan hari kelahiran, bukankah Nabi saw juga memperingati hari kelahirannya. Lalu layakkah kita menghukumi Nabi saw melakukan tasyabbuh terhadap kaum Nashrani sehingga akan kita hukumi haram karena ikut berbangga-bangga dengan kelahirannya?, jika yang dimaksud adalah perayaannya, bukankah di dalam Islam juga memiliki hari raya ? apakah kita akan menghukumi hara raya Idul Fitri dan Idul Adha juga ikut-ikutan hari Natal ?

Ibn Hajar al Haitami dalam Fatawa al Fiqhiyah al Kubra juga memberikan batasan dalam tasyabbuh fil a’yad. Ketika Ibn Hajar ditanyakan tentang hukum seseorang yang menyerupai terhadap apa yang dilakukan oleh orang kafir, ia menjawab:

فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إنْ فَعَلَ ذلك بِقَصْدِ التَّشْبِيهِ بِهِمْ في شِعَارِ الْكُفْرِ كَفَرَ قَطْعًا أو في شِعَارِ الْعَبْدِ مع قَطْعِ النَّظَرِ عن الْكُفْرِ لم يَكْفُرْ وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لم يَقْصِدْ التَّشْبِيهَ بِهِمْ أَصْلًا وَرَأْسًا فَلَا شَيْءَ عليه

Artinya: “Kesimpulan dari hal tersebut jika seseorang melakukannya dengan tujuan meniru-niru syiarnya orang kafir, maka pasti hukumnya kafir, atau meniru-niru dalam syiarnya seorang hamba dengan tidak memandang kekafirannya, maka tidak kafir tetapi berdosa, dan jika tidak bertujuan meniru-meniru sama sekali baik sejak awal atau pun pada akhirnya, maka sama sekali tidak apa-apa”[5]

Dari keterangan-keterangan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak selamanya sesuatu yang sama dengan orang kafir lalu dianggap meniru-niru perbuatan orang kafir. Tetapi harus ada tujuan yang secara sengaja ingin meniru-niru atau menyerupai dengan orang kafir. Faktanya, orang-orang muslim yang merayakan acara Maulid Nabi saw sama sekali tidak ada yang memiliki tujuan ingin menyerupai acara natal. Terbukti isi dari perayaan tersebut jauh dengan yang dilakukan ummat Kristiani. Mereka merayakan Maulid Nabi saw karena semata-mata bangga dan bersyukur terhadap kelahiran baginda Nabi Muhammad saw. Bukankah di dalam Qawaidul Fiqh sudah jelas:

اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

“Segala perkara tergantung tujuannya”

Wallahua’lam


[1] Ibrahim, dkk, Mu’jam al Awsat, Juz 1, Hal 471

[2] al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah. Juz 12, Hal 4

[3] al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah. Juz 12, Hal 5-10

[4] al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah. Juz 12, Hal 9

[5] Ibn Hajar al Haitami, Fatawa al Fiqhiyah al Kubra, Juz 4, Hal 239

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

membaca al-quran

Membaca Al Qur’an di Kuburan Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah

Di antara tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu melakukan ziarah kubur. Bahkan menurut Ibn Hazm sebagaimana …

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …