i'tikaf di rumah
i'tikaf di rumah

Fakhitah: Jejak Cinta Muhammad Yang Terlupa

Kisah cinta dan dedikasi antara Nabi Muhammad dan Khadijah memang telah lama menjadi topik yang menarik dan sering dibahas karena keunikannya. Akan tetapi, ada sebuah episode yang jarang terungkap dalam narasi sejarah mereka. Sebelum pernikahannya dengan Khadijah, Nabi Muhammad diketahui memiliki perasaan terhadap seorang wanita dari suku beliau sendiri.

Peristiwa ini menarik karena menunjukkan sisi kemanusiaan dari Nabi Muhammad yang jarang diperlihatkan. Wanita tersebut, yang memiliki karakter yang sangat kuat, menunjukkan keteguhan hati dan prinsip yang tidak goyah hingga akhir hayatnya. Sikapnya bukanlah penolakan terhadap seorang nabi, melainkan cerminan dari kecerdasan dan kehebatan seorang wanita yang tahu bagaimana menempatkan diri dalam berbagai situasi.

Kualitas-kualitas inilah yang membuatnya menjadi salah satu dari sekian wanita yang mendapatkan penghormatan khusus dari Rasulullah. Wanita tersebut tidak lain adalah Ummu Hani, yang dengan kebijaksanaannya, telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Islam.

Ummu Hani, yang dikenal juga dengan nama Fakhitah, adalah putri dari Abu Thalib, yang tak lain adalah paman dari Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, Fakhitah memiliki hubungan darah yang dekat dengan Nabi Muhammad, sebagai saudara sepupu dari pihak ayah.

Ketika Abdul Muthalib, kakek mereka, meninggal dunia, Nabi Muhammad yang masih muda diberikan tanggung jawab kepada Abu Thalib. Dalam lingkungan keluarga yang erat ini, tidak mengherankan jika Nabi Muhammad, yang pada masa itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda, menaruh hati pada Fakhitah. Kedekatan mereka yang terjalin melalui interaksi yang sering, serta adat istiadat yang mendorong pernikahan antar saudara sepupu untuk mempertahankan garis keturunan, semakin memperkuat ikatan emosional di antara mereka.

Dalam konteks sosial dan budaya saat itu, pernikahan dalam keluarga, khususnya dengan saudara sepupu, bukanlah sesuatu yang luar biasa, melainkan sebuah praktik yang umum dan diterima untuk menjaga kesinambungan dan kehormatan garis keturunan. Oleh karena itu, perasaan yang tumbuh di hati Nabi Muhammad terhadap Fakhitah dapat dipandang sebagai manifestasi dari norma-norma sosial yang berlaku, sekaligus menunjukkan sisi kemanusiaan dari beliau yang sering kali terlupakan dalam narasi sejarah.

Dalam masa mudanya, Nabi Muhammad saw mengumpulkan keberanian untuk meminang Fakhitah, yang lebih dikenal dengan Ummu Hani, melalui pamannya, Abu Thalib. Namun, dengan berat hati, Abu Thalib menolak pinangan tersebut karena Fakhitah telah mendapatkan lamaran dari Hubairah, seorang tokoh terkemuka dari Bani Marmuin, yang dianggap memiliki status yang lebih tinggi.

Meskipun menghadapi penolakan, Nabi Muhammad saw tidak terjerumus dalam kesedihan atau kegalauan yang sering dialami oleh para pemuda yang cinta mereka ditolak. Sebaliknya, beliau memilih untuk berkonsentrasi pada pengembangan karirnya dalam bidang bisnis dan perdagangan, yang pada akhirnya membawa namanya ke telinga Khadijah. Khadijah, seorang wanita kaya raya yang memiliki hampir sepertiga kekayaan Mekkah, terpesona oleh kepribadian Nabi Muhammad saw dan dengan inisiatifnya sendiri, melamar beliau untuk menjadi suaminya.

Kisah Ummu Hani tidak berakhir setelah peristiwa tersebut. Ketika Mekkah dibuka kembali pada peristiwa Fathul Mekkah, Ummu Hani memutuskan untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw dan memeluk Islam, meskipun suaminya memilih untuk tetap pada keyakinannya yang lama. Keputusan ini tentu saja bukanlah hal yang mudah bagi Ummu Hani, karena ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya tidak bersamanya dalam keyakinan baru ini.

Hal ini pada akhirnya membuatnya menjadi seorang janda dengan tiga anak. Suaminya lebih memilih kabur ke Yaman. Mendengar situasi dan kondisi Ummu Hani , Nabi Muhammad saw kembali melamar beliau. Sebab menjadi janda saat itu bukanlah hal yang mudah. Namun sekali lagi, dengan kekuatan dan keteguhan hati yang luar biasa, ia menolak pinangan tersebut. Ia lebih memilih untuk mengasuh ketiga anaknya.

Penghormatan atas Ummu Hani’ sebagai salah satu wanita terhormat tercermin dalam salah satu sabda Nabi Muhammad yang berbunyi :” Sebaik-baik perempuan yang menanggung unta adalah yang paling sayang kepada anak-anaknya yang masih kecil dan yang paling bisa menjaga harta suaminya.” (HR. Ath Tharbani).

Keberanian dan keteguhan Ummu Hani dalam menghadapi tantangan hidup merupakan contoh yang sangat baik untuk diikuti. Ummu Hani wafat pada tahun 40 Hijriyah, meninggalkan warisan berharga berupa 46 hadis yang diriwayatkannya dari Nabi Muhammad saw.

Bagikan Artikel ini:

About Utia Utia Lil Afidah

Check Also

kata shalat dalam al-quran

Al-Qur’an Ungkap Sifat Dasar Manusia Suka Mengeluh

Untuk menjadi individu yang memiliki akhlak yang mulia, umat Islam perlu mengikuti ajaran yang telah …

alquran 130702103109 621

Metode Sastra Khalafullah Sebagai Cara Pandang Baru untuk Memahami al-Qur’an

Sebagai pedoman kehidupan, memahami ayat-ayat dari al-Qur’an adalah suatu hal yang penting. Sebab, selain menjadi …