al-quran

Gara-Gara Ayat Ini, Dulu Ada Sahabat yang Sempat Salah Paham sehingga Mengira Sa’i Tidak Wajib Dikerjakan

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa hukum mengerjakan sa’i adalah wajib dan tidak boleh ditinggalkan, karena itu merupakan salah satu rukun haji maupun umrah. Jika seseorang tidak mengerjakannya, maka ibadah haji dan umrahnya dianggap tidak sah. Sa’i dilakukan dengan berjalan tujuh kali bolak-balik antara Bukit Safa dan Bukit Marwah, yang terletak di dalam Masjidil Haram, Makkah. 

Namun ternyata, dulu pernah ada sahabat, namanya ‘Urwah, yang sempat mengira bahwa sa’i antara Safa dan Marwah tidak wajib dikerjakan, hanya karena dia salah memahami salah satu ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang sa’i antara Safa dan Marwah, yaitu ayat ke-158 surat al-Baqarah. Begini bunyi ayatnya:

اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ۗ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًاۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ 

Artinya: “Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Baqarah [2]: 158).”

Secara logika, kalau ‘tidak ada dosa bagi yang mengerjakan sa’i antara Safa dan Marwah’, maka sa’i boleh dikerjakan, juga boleh ditinggalkan, dan lebih baik lagi apabila justru ditinggalkan. Padahal Rasulullah sendiri pernah menyatakan bahwa sa’i wajib dilaksanakan dan beliau juga telah mencontohkan sa’i antara Safa dan Marwah.

Untung saja, ‘Urwah kemudian menanyakan maksud ayat tersebut kepada ‘Aisyah, istri Rasulullah saw.. Akhirnya ‘Aisyah menjelaskan kepadanya bahwa maksud ayat tersebut tidak sebagaimana yang dia pahami, dan menjelaskan latar belakang atau asbabun nuzulnya. 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, diceritakan bahwa:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy, berkata, ‘Urwah: Aku bertanya kepada ‘Aisyah r.a., kataku kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah Ta’ala (Q.S. al-Baqarah: 158) yang artinya: (“Sesungguhnya al-Shafaa dan al-Marwah adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’iy antara keduanya”), dan demi Allah tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak bertawaf (sa’iy) antara bukit al-Shafaa dan al-Marwah.” 

‘Aisyah r.a. berkata, “Buruk sekali apa yang kamu katakan itu wahai putra saudariku. Sesungguhnya ayat ini bila tafsirannya menurut pendapatmu tadi berarti tidak berdosa bila ada orang yang tidak melaksanakan sa’iy antara keduanya. Akan tetapi ayat ini turun berkenaan dengan Kaum Anshar, yang ketika mereka belum masuk Islam, mereka berniat haji untuk patung Manat Sang Thoghut yang mereka sembah di daerah al-Musyallal. Waktu itu, barang siapa yang berniat haji, dia merasa berdosa bila harus sa’iy antara bukit al-Shafaa dan al-Marwah (karena demi menghormati patung mereka itu). Setelah mereka masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah saw. tentang masalah itu, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami merasa berdosa bila melaksanakan sa’iy antara bukit al-Shafaa dan al-Marwah.” Maka kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat (“Sesungguhnya al-Shafaa dan al-Marwah adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah”). ‘Aisyah r.a. berkata, “Sungguh Rasulullah saw. telah mencontohkan sa’iy antara kedua bukit tersebut dan tidak boleh seorangpun untuk meninggalkannya.” (H.R. Bukhari – 1534).

Syekh Nawawi al-Bantani (wafat sekitar 1314 H atau 1897 M) dalam Tafsir Marah Labid (al-Munir) menyebutkan tentang asbabun nuzul al-Baqarah ayat 158: 

قال ابن عباس: كان على الصفا صنم اسمه أساف وعلى المروة صنم أخر اسمه نائلة وكان أهل الجاهلية يطوفون بهما ويستمسحون بهما فلما جاء الإسلام كره المسلمون الطواف بينهما لأجل الصنمين فأذن الله تعالى فيه وأخبر أنه من شعائر الله لا من شعائر الجاهلية   

Artinya: “Ibnu Abbas berkata: “(Dahulu) di atas Shafa ada berhala yang bernama Asaf, dan di atas Marwah terdapat berhala yang bernama Nailah. Masyarakat Jahiliyah melakukan thawaf untuk keduanya dan mengharap keberkahan dengan keduanya. Setelah Islam datang, umat Islam tidak menyukai melakukan ibadah thawaf (sa’i) di antara keduanya karena dua berhala tersebut. Kemudian Allah Ta’ala memberi izin dan mengabarkan bahwa ibadah di antara keduanya (sa’i) termasuk syiar Allah, bukan syiar Jahiliyah.” 

Lebih lanjut, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan lafal: “Innash shafâ wal marwata min sya‘â’irillâh”. Maksudnya ialah bahwa sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk alamat tempat ibadah kepada Allah dengan pelaksanaan haji dan umrah. Kemudian lafal: “Fa man ḫajjal baita awi‘tamara fa lâ junâḫa ‘alaihi ay yaththawwafa bihimâ”, maknanya adalah tidak ada dosa bagi yang melakukan sa’i sebanyak tujuh kali di antara keduanya. Adapun makna lafal: “Wa man tathawwa‘a khairan fa innallâha syâkirun ‘alîm” ialah barang siapa yang melakukan lebih dari yang telah difardhukan oleh Allah dari amalan haji atau umrah sehingga melaksanakan thawaf sunah antara Shafa dan Marwah, maka Allah akan membalasnya sesuai dengan kadar ketaatannya. 

Dalam Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah, menjelaskan:

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah yang komposisinya dari batu yang menjulang yang digunakan sebagai permulaan dan akhiran orang yang sa’i itu termasuk tanda-tanda syiar haji atau tempat-tempat ibadah yang dikhususkan oleh Allah untuk memberi tanda bagi manusia bahwa itu adalah tempat untuk sa’i dan berkurban. Dan barang siapa menuju Baitul Haram untuk berhaji karena suatu kewajiban atau untuk berumrah mengunjungi Baitul Haram, maka tiada dosa baginya dengan mengelilingi keduanya dengan melakukan sa’i antara keduanya dalam ibadah haji dan umrah. Hal tersebut merupakan kewajiban dan ibadah. Meskipun keduanya pada masa jahiliyah terdapat dua berhala, yaitu Isaf di atas Shafa dan Na’ilah di atas Marwah. Dan barang siapa memperbanyak ketaatannya dengan melakukan umrah, maka Allah berterima kasih atas ketaatannya itu. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa beliau ditanya tentang Shafa dan Marwah, lalu menjawab: “Kita tahu bahwa keduanya itu merupakan perkara yang dilakukan pada masa Jahiliyyah, namun ketika Islam datang, kita menjaganya.” Lalu Allah menurunkan ayat “Innasshafa” (al-Baqarah: 158).” 

Wallaahu a’lamu bi al-showaaf.

Bagikan Artikel ini:

About Muchammad Sirojul Munir

Muchammad Sirojul Munir, Peneliti di Nurul Furqon Academy (Planet Nufo), Rembang

Check Also

surat al-ashr

Tafsir Surat al-‘Ashr: Meluruskan Kesalahpahaman Paradigma Merugi dalam Q.S. al-‘Ashr

Banyak orang beranggapan bahwa penyebab manusia merugi sebagaimana disebutkan di dalam Q.S. al-’Ashr adalah karena …