Ibadah haji, sebuah perjalanan yang dihiasi dengan harapan dan ketulusan, bukanlah sekadar ritual rutin yang dilaksanakan. Di balik setiap langkah yang diambil, terselip pesan-pesan kebijaksanaan yang memperdalam penghayatan akan keimanan.
Praktek ritual haji yang ditetapkan baik berupa larangan dan perintah tidak sekadar berupa doktrin belaka, namun merupakan pilar utama yang membentuk karakter dan spiritualitas yang mendalam bagi jemaah haji. Dalam penutupannya, ibadah haji bukanlah sekadar serangkaian tindakan, melainkan perjalanan spiritual yang membentuk hubungan yang erat dengan Sang Khalik.
Di antara larangan-larangan tersebut, salah satunya adalah larangan untuk melakukan hubungan intim. Dalam keheningan malam di tanah suci, jemaah haji diingatkan bahwa fokus utama mereka adalah pada ibadah. Larangan ini tidak semata berkaitan dengan kewajiban syariat, tetapi juga merupakan panggilan untuk meningkatkan kebersihan spiritual. Dengan menahan diri dari hawa nafsu, jemaah haji mengukir kedalaman spiritual yang memurnikan hati dan pikiran, sehingga mereka mampu merasakan kehadiran Ilahi dengan lebih mendalam.
Selain itu, larangan mengonsumsi makanan haram atau syubhat menjadi bagian tak terpisahkan dari tata cara ibadah haji. Dalam Al-Qur’an, Surah al-Baqarah, ayat 168, “Ya Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima (ibadah) dari orang-orang yang kafir.”
Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan umat-Nya untuk hanya mengonsumsi makanan yang baik dan halal yang telah diberikan-Nya sebagai rezeki. Mengonsumsi makanan yang baik dan halal merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, larangan mengonsumsi makanan yang haram atau syubhat menjadi bagian tak terpisahkan dari tata cara ibadah dalam Islam, termasuk dalam ibadah haji di tanah suci.
Penggunaan bahasa yang kotor atau bersumpah juga dilarang selama menjalani ibadah haji. Keheningan dan ketenangan lingkungan suci di tanah suci membutuhkan kesucian dalam interaksi verbal. Bahasa yang dipenuhi dengan kebaikan dan kesopanan menjadi cermin dari kesucian hati jemaah haji. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam kesunyian hati, kata-kata yang baik menjadi wujud penghormatan terhadap hadirat Ilahi.
Larangan memotong tanaman atau merusak lingkungan menjadi bukti konkret dari penghormatan terhadap ciptaan Allah SWT. Islam mengajarkan kepedulian terhadap alam dan lingkungan, serta menjaga kebersihan dan keindahan tempat-tempat suci. Dalam setiap tangkapan nafas, jemaah haji diajak untuk menjadi pelindung alam, menjaga keindahan bumi yang diciptakan oleh Allah SWT.
Tidak kalah pentingnya, menjaga kerukunan antar sesama menjadi landasan moral yang harus dipegang teguh oleh jemaah haji. Konflik dan pertikaian tidaklah sejalan dengan semangat ibadah haji yang mengajarkan ketenangan, kerendahan hati, dan pengampunan. Dalam kerukunan tersebut, jemaah haji menemukan kedamaian yang sejati, menciptakan ikatan spiritual yang mempersatukan mereka sebagai saudara seiman.
Larangan-larangan yang ditetapkan dalam ajaran Islam menjadi pemandu setiap langkah dalam ibadah haji. Dengan mematuhi larangan-larangan tersebut, jemaah haji membuktikan kesetiannya pada ajaran agama, mengukir kedalaman spiritual yang memurnikan hati dan pikiran, serta merasakan kehadiran Ilahi dengan lebih mendalam. Dalam setiap langkahnya, ibadah haji bukanlah sekadar ritual, tetapi perjalanan spiritual yang membangun hubungan yang lebih dekat dengan Allah SWT.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah