Yang paling diharapkan oleh umat Islam pada bulan Ramadan adalah malam lailatul qadar, malam yang memiliki keutamaan lebih baik dari seribu bulan. Namun sayang, kapan turunnya malam tersebut dirahasiakan oleh Allah.
Dirahasiakannya malam ini sebenarnya berkah tersendiri bagi umat Islam. Yakni, bisa mempersiapkan diri dari awal malam bulan Ramadhan sampai akhir dengan cara memperbanyak ibadah kepada Allah. Dengan demikian, bisa dipastikan ia akan mendapatkan malam tersebut. Karena boleh jadi malam lailatul qadar turun di awal-awal malam Ramadhan, walaupun para ulama meyakini di sepuluh akhir dari tanggal dua puluh satu sampai malam terakhir dipenghujung Ramadhan.
Salah satu yang disunnahkan untuk mengisi malam bulan Ramadhan adalah beri’tikaf di masjid sambil beribadah, seperti membaca al Qur’an, shalat berjamaah, shalat tarawih dan shalat malam yang lain.
Dalam bahasa Arab, seperti dijelaskan oleh Imam Syafi’i, I’tikaf adalah mewajibkan diri untuk melakukan sesuatu. Berbentuk ibadah atau dosa. Secara istilah memiliki arti berdiam diri di masjid dengan niat ibadah. I’tikaf juga disyariatkan kepada umat terdahulu. Seperti difirmankan oleh Allah:
Ibadah sunnah ini dianjurkan oleh Allah melalui pesan-Nya dalam al Qur’an:
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya”. (QS. al Baqarah:187)
Ayat ini menjadi dasar para ulama bahwa I’tikaf harus dikerjakan di masjid. Dan, menurut Ibnu Mas’ud dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya, I’tikaf hanya boleh dikerjakan di masjid yang biasa dijadikan tempat untuk shalat berjamaah.
Sedangkan menurut Jumhur ulama I’tikaf boleh di semua masjid. Pokoknya disebut masjid. Mereka beralasan karena firman Allah, “sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. al Baqarah:187), adalah umum, tidak menunjuk masjid tertentu. Sebagaimana teori ushul fiqih, ayat al Qur’an yang ‘am (umum) bila tidak ada ayat atau hadis yang membatasi (takhsish) keumumannya maka tetap berlaku umum. Ini adalah pendapat yang benar dan paling cocok terhadap realitas umat Islam yang tersebar disegala penjuru bumi serta memberi kemudahan kepada mereka untuk beri’tikaf.
Pendapat ini didukung oleh imam Fakhruddin al Razi. Menurut beliau I’tikaf boleh di masjid mana saja. Bahkan sama sekali tidak dijumpai sebuah dalil yang membatasi aktivitas I’tikaf hanya pada tiga masjid yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa I’tikaf hanya boleh dikerjakan di masjid yang biasa dijadikan tempat berjamaah dalilnya tidak kuat.
Aturan ini berlaku bagi kaum laki-laki, sedangkan khusus untuk kaum hawa, boleh melakukan ’tikaf di rumahnya masing-masing karena mereka tidak masuk dalam konteks ayat I’tikaf di atas.
Berapa lama berdiam di masjid untuk disebut i’tikaf? Ulama beda pendapat. Menurut madhab Hanafi paling pendek sehari semalam. Menurut Imam malik dalam salah satu pendapatnya sepuluh jam. Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat masa minimal I’tikaf yang penting lebih dari seukuran tuma’ninah ruku’.
Untuk itu, dari pada menghabiskan malam Ramadhan dengan kegiatan yang kurang berfaedah, lebih baik berkumpul di masjid sambil i’tikaf serta melakukan ibadah seperti shalat malam dan memperbanyak membaca al Qur’an. Masih diberi umur panjang dengan bertemu Ramadhan adalah nikmat besar yang diharapkan oleh semua umat Islam. Karenanya, memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin akan membawa kita kepada keuntungan melimpah kelak setelah meninggalkan dunia fana ini.