Hijrah adalah salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam. Ia bukan sekadar perpindahan fisik Rasulullah ﷺ dan para sahabat dari Makkah ke Madinah, tetapi peristiwa lahirnya peradaban Islam — dari agama yang ditekan menjadi komunitas yang berdaulat. Maka tidak heran, kalender Islam dimulai dari momentum hijrah. Ia bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi tonggak kesadaran spiritual, sosial, dan politik dalam membangun masyarakat yang damai dan berkeadilan.
Namun, seiring waktu, makna hijrah mengalami pergeseran. Ada yang menafsirkan secara spiritual — berpindah dari dosa menuju taat — namun ada pula yang menafsirkannya secara ekstrem dan tekstual, yakni berpindah tempat secara fisik ke wilayah yang dianggap “lebih Islami.”
Hijrah Kelompok Ekstrem: Dari ISIS ke Sudan
Kelompok radikal dan ekstremis menjadikan istilah hijrah sebagai alat propaganda. Dalam narasi mereka, hijrah bukan lagi refleksi spiritual, melainkan panggilan politik dan ideologis untuk meninggalkan negeri yang dianggap “thaghut” menuju wilayah yang mereka klaim sebagai “daulah Islamiyah.”
Kita pernah menyaksikan bagaimana propaganda ini mencapai puncaknya pada masa ISIS di Irak dan Suriah. Seruan “Hijrah ke Syam!” menggema di media sosial, dibungkus dalam narasi heroik dan spiritual. Video-video dramatis tentang kehidupan ideal di bawah “khalifah” menggoda banyak anak muda dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Kini, pola lama itu kembali muncul dengan wajah baru. Seiring konflik berkepanjangan di Sudan antara militer dan kelompok paramiliter RSF (Rapid Support Forces), sebagian jaringan radikal di Indonesia mulai menggaungkan seruan baru: hijrah dan jihad ke Sudan.
Di berbagai platform media sosial tertutup, muncul narasi bahwa Sudan adalah “wilayah jihad baru,” tempat umat Islam harus menolong saudara seiman. Ajakan-ajakan ini dibalut dengan dalil dan potongan hadis tentang keutamaan berjihad, padahal realitas konflik Sudan sangat kompleks — lebih merupakan perebutan kekuasaan politik dan sumber dayaketimbang perang agama.
Fenomena ini mengulang kembali pola propaganda ISIS: memanfaatkan emosi keagamaan, mengaburkan konteks, dan menanamkan perasaan bersalah jika tidak ikut “berhijrah.” Padahal, hijrah Nabi bukanlah pelarian atau peperangan, melainkan perpindahan menuju perdamaian dan pembangunan sosial.
Hijrah Kelompok Intoleran: Dari Refleksi Diri ke Isolasi Sosial
Selain kelompok ekstrem bersenjata, ada pula kelompok hijrah yang bergerak dalam bentuk intoleransi sosial. Gerakan ini tidak mengajak perang, tetapi menanamkan pandangan bahwa kehidupan “di luar circle hijrah” adalah najis, kotor, dan berbahaya bagi iman.
Mereka menyeru umat Islam untuk “berhijrah menjadi lebih islami,” namun dalam praktiknya justru menutup diri dari masyarakat. Gaya hidup diubah total — mulai dari pergaulan, pekerjaan, hingga cara berpakaian — namun dengan sikap yang eksklusif. Tidak jarang, hubungan keluarga pun retak karena perbedaan pandangan tentang “hijrah yang benar.”
Padahal, hijrah sejati bukanlah membangun tembok pembatas antara diri dan masyarakat. Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah untuk menyatukan perbedaan, bukan memisahkannya. Beliau membangun Piagam Madinah, yang menyatukan umat Islam, Yahudi, dan berbagai suku dalam satu ikatan sosial dan politik yang damai.
Hijrah Sejati: Dari Ketakutan Menuju Keterbukaan
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa hijrah sejati bukanlah sekadar berpindah tempat, tetapi berpindah nilai — dari kezaliman menuju keadilan, dari ketakutan menuju kedamaian. Dalam hadis sahih disebutkan:
“Seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, hijrah yang paling hakiki adalah hijrah moral dan spiritual. Tidak semua perpindahan fisik adalah hijrah, dan tidak semua yang menetap berarti tidak berhijrah. Jika seseorang meninggalkan kebencian, kezaliman, dan permusuhan, maka ia sejatinya sedang berhijrah menuju Allah.
Refleksi: Jangan Terjebak Romantisme Hijrah
Hijrah dalam sejarah adalah kisah tentang keberanian membangun kehidupan baru dengan nilai-nilai damai. Namun, di tangan kelompok ekstrem, hijrah berubah menjadi instrumen politisasi agama dan perekrutan ideologis.
Ajakan “Hijrah ke Sudan” hari ini sejatinya bukan panggilan iman, tetapi jebakan ideologi yang mengulangi kesalahan masa lalu. Negara yang disebut “kafir” justru menjadi tempat paling aman bagi banyak korban perang, sementara negeri yang diklaim sebagai “tanah jihad” justru menumpahkan darah sesama Muslim.
Karena itu, generasi muda Muslim perlu memahami bahwa hijrah bukan berarti lari dari negeri sendiri, melainkan berjuang memperbaikinya dengan ilmu, kerja keras, dan akhlak mulia. Madinah yang dibangun Rasulullah adalah kota keterbukaan, bukan eksklusivitas; tempat kerja sama, bukan kebencian.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
Hijrah sejati bukanlah soal ke mana kita berpindah, tetapi siapa yang kita jadikan tujuan. Bila hijrah itu menuju Allah, maka di manapun kita berpijak, di situlah Madinah kita.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah