kepanitian kurban
umat muslim menata daging kurban di atas daun jati 200717131119 379

Hikmah dan Nilai-Nilai Sosial Dalam Ibadah Kurban

Banyak nilai yang dapat dipetik dari disyari’atkannya ibadah kurban, baik secara garis vertikal (ḥabl min Allah) ataupun secara horizontal (ḥabl min al-nas). Secara vertikal, ibadah kurban ini bisa menumbuhkan dan mengingatkan kesadaran ritual dari para pelakunya terhadap sang pencipta. Sedangkan secara garis horizontal, ibadah kurban akan bermakna bagi hubungan sosial-kemasyarakatan yang berimbas pada perilaku keseharian dan perhatian pada sesama.

Dalam artikel ini akan dijelaskan nilai-nilai kurban yang berkaitan dengan aspek horizontal (ḥabl min al-nas). Penyelenggaraan ibadah kurban itu adalah untuk pendidikan sosial berupa perhatian yang lebih besar kepada kaum fakir miskin, dengan jalan membagikan daging kurban untuk mereka ini.

Ritual ibadah kurban merupakan ajang kesempatan bagi si miskin untuk merasakan kenikmatan dari si kaya. Mengalirnya darah-darah suci dari hewan kurban akan menghayutkan noktahnoktah di hati manusia, memercikkan aroma harum jalinan kasih anatara sesama. Lewat ibadah kurban, akan tumbuh rasa kepedulian sosial terhadap sosisl dan sesama. Dari sisilah ibadah kurban merupakan ibadah yang sempurna sepanjang hayat manusia. Pasalnya, ibadah kurban merupakan ajaran tertua sepanjang sejarah kehidupan manusia yang terus berlangsung hingga di masa sekarang ini.

Dalam al-Qur’an dan sunah Nabi telah dijelaskan pembagian daging kurban itu utamanya untuk fakir miskin, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Ḥajj [22]: 36.42 Dengan adanya pendistribusian daging kurban merupakan sarana untuk memperluas hubungan baik antar sesama manusia atau dalam konsep ḥablu min al-nâs. Dengan kerelaan dan keikhlasan berkurban, hubungan baik akan selalu tercipta kepada kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah kepada manusia.

Nilai-nilai Kemanusiaan

Kisah antara Nabi Ibrahim dan Isma’il merupakan salah satu tujuan dalam cerminan nilai humanisasi. Pendidikan yang diterapkan Nabi Ibrahim terhadap Isma’il bertujuan untuk memanusiakan manusia dengan patuh kepada Allah.

Pendidikan humanis ini berisi nilai-nilai keutamaan atau kebajikan yang dapat mengangkat kemuliaan manusia. Atau dalam bahasa lain adalah proses mengangkat derajat kemanusiaan manusia dengan nilainilai keutamaan atau kebijakan. Dalam konteks humanisme, Nabi Ibrahim mengajarkan kepada Isma’il bagimana membangun harkat dan martabat manusia di sisi Allah.

Tujuan ini direalisasikan dengan membangun citra manusia yang taat kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Allah. Nilai kemanusiaan ditegakkan di atas sifat-sifat luhur budaya manusia dengan membebaskan dari sifat-sifat kebinatangan.

Simbolisme mengurbankan binatang dipahami sebagai upaya untuk memanusiakan manusia melalui pendidikan. Pendidikan untuk memanusiakan manusia dalam arti menjadikan manusia itu lebih manusiawi dengan segala sifat kemanusiaannya, sehingga diharapkan menjadi manusia yang sehat lahir dan batin. Upaya nilai humanisme ini terlihat dari model pendidikan Nabi Ibrahim terhadap ‘Isma’il.

Nilai Demokrasi

Nabi Ibrahim mantap dan ikhlas melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya yang tercinta. Menghadapi hal ini, Nabi Ibrahim tidak serta merta melaksanakan perintah Allah tersebut, namun ia meminta pendapat kepada putranya. Menurut Al-Suyuṭi, pasrah dan patuh termasuk cerminan sabar tingkat tinggi. Sedangkan menurut Quṭb, mimpi untuk menyembelih Isma’il hanya merupakan isyarat, bukan merupakan perintah yang sifatnya langsung dan jelas (ṣarih). Meskipun demikian, Nabi Ibrahim menerimanya tanpa banyak bertanya, kenapa Allah memerintahkan harus menyembelih anak satu-satunya. Penerimaan atas perintah Allah ini dengan penuh kerelaan sepenuh hati.

Dalam al-Saffat ayat 102, terdapat pesan dan pelajaran bagi orang tua dalam mendidik seorang anaknya. Kisah ini tercermin dari Nabi Ibrahim yang tidak semena-mena langsung menyembelih Nabi Isma’il, seperti yang dijelaskan dalam wahyu Nabi Ibrahim melalui mimpinya. Nabi Ibrahim memberikan kebebasan berpendapat dengan memberikan pertanyaan kepada Nabi Isma’il, dengan teks perkataan “Maka pikirkanlah, bagaiamana pendapatmu?”, sebagai tanda sama-sama ikhlas dalam merealisasikan.

Pola asuh yang digambarkan antara bapak (Nabi Ibrahim) dan putranya (Isma’il) mencerminkan pola asuh anak secara demokratis. Pola asuh demokratis ala Nabi Ibrâhîm itulah seperti cermin yang bisa kita jadikan ukuran, contoh dan teladan dalam kehidupan kita. Dari sini, dapat dipetik sikap demokratis Nabi Ibrâhîm yang telah meminimalisasi sikap otoritatif (pemaksaan) dalam pendidikan.

Demokratisasi Nabi Ibrahim dalam mendidik Isma’il merupakan kearifan pendidik yang professional. Kearifan itu telah muncul, karena mempertimbangkan sikap mental dan kejiwaan anak didik. Demikian halnya kearifan disebabkan karena kematangan profesionalisme sang pendidik yang selalu yakin dengan keberhasilan pendidikan yang dilakukan. Demokratisasi pendidikan tersebut berarti memberikan peluang rasio untuk ikut menentukan konsep syari’at berkurban. Seandainya Nabi Isma’il memilih untuk menolak perintah tersebut, berarti gagal sudah misi pembentukan syari’at berkurban, meskipun sudah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim.

Akan tetapi, seakan naluri kemanusiaan Isma’il lebih dominan untuk menerima perintah tersebut daripada mengikuti pertimbangan rasionya. Demikian pula Nabi Ibrahim, meskipun perintah berkurban tersebut irasional (tidak masuk akal), namun keyakinannya mengalahkan pikirannya.

Menjaga Keseimbangan Lingkungan

Syarat-syarat hewan kurban telah banyak di jelaskan dalam hadis Nabi saw dengan dipilihnya hewan sembelihan yang kualitasnya terbaik, yang disebut hewan musinnah. Musinnah dipandang sebagai hewan yang telah “dewasa’ (cukup umur) dan sah dijadikan hewan kurban. Namun, literatur ilmu peternakan mengenal dua istilah “dewasa” dengan sudut pandang berbeda, yaitu dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Dewasa kelamin (pubertas) pada hewan biasanya terjadi sebelum dewasa tubuh dicapai.

Esensi pemotongan hewan musinnah memberi sesuatu yang istimewa bagi umat manusia. Selain perolehan kuantitas daging, hewan mussinah memberikan kualitas daging terbaik untuk konsumsi manusia. Aspek musinnah pun mampu melindungi populasi hewan kurban secara futuristik. Dalam pemilihan hewan sembelihan kurban, anak dan induk tidaklah termasuk kriteria hewan yang boleh dijadikan kurban. Hal ini bertujuan sebagai proses regenerasi hewan kurban supaya tidak terhambat. Sehingga Idul Adha di tahun depan, dengan selisih satu tahun, akan diperoleh hewan-hewan musinnah baru yang sekarang belum masuk kriteria.

Di sisi lain, aspek musinnah dalam hewan kurban memberi pembelajaran, yaitu mencegah kerakusan dan ketamakan manusia dalam mengeksploitasi hewan secara berlebihan. Nilai-nilai kearifan makna musinnah hewan kurban dapat menjadi refleksi, inspirasi dan landasan perilaku bagi manusia, agar bijaksana dalam menjaga keseimbangan lingkungan sehingga alampun memberi segala manfaat dan lestari.

 

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Syah Alfarabi

Check Also

bulan rajab

Mari Mengambil Keutamaan Bulan Rajab di Momen Tahun Baru

Malam 1 Rajab 2025 jatuh pada tahun baru Masehi 2025.  Tahun baru, seringkali menjadi momen …

Khatib Salat Jumat

Sejarah Khutbah Jumat Membaca Surah An-Nahl Ayat 90, Serta Memetik Kandungan Makna Dalam QS An-Nahl Ayat 90

Surah An-Nahl ayat 90 menjadi salah satu ayat yang penuh makna dan pelajaran, baik dari …