Masjid Istiqlal baru
Masjid Istiqlal baru

Hukum Non Muslim Masuk Masjid

Puan Maharani, yang saat ini mendapat amanah sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, sebagaimana dilansir laman CNN Indonesia, berharap Masjid Istiqlal difungsikan sebagai pusat kajian dan dakwah Islam, serta pusat relegi umat Islam di seluruh dunia. Ia juga berharap Masjid Istiqlal yang disebut-sebut sebagai masjid terbesar se-Asia Tenggara tersebut menjadi corong umat non muslim dalam mempelajari Islam Indonesia yang moderat yang cinta toleransi dan perdamaian.

Keinginannya, Masjid Istiqlal menjadi magnet bagi siapa saja yang datang ke Indonesia, datang ke Jakarta, untuk mendatanginya. Non muslim, lebih-lebih umat Islam sendiri. Setelah itu, kita tampilkan dan buktikan bahwa Islam Indonesia adalah agama yang toleran terhadap pemeluk agama yang lain.

Lanjutnya, tidak hanya muslim yang boleh datang ke Masjid Istiqlal, tapi semua orang dari latar agama apapun boleh datang dan masuk untuk menyaksikan keindahan arsitekturnya, serta fungsinya sebagai pusat kajian Islam yang moderat.

Pada prinsipnya, ini adalah harapan semua umat Islam yang memahami bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar. Finalitas kebenarannya tidak boleh diragukan. Dan masjid sebagai tempat ibadah utama umat Islam selayaknya memang difungsikan demikian. Menjadi pusat tempat ibadah umat Islam dan tempat mengaji dan mengkaji serta pusat dakwah yang benar dengan tampilan yang sebenarnya.

Kembali pada soal harapan luhur dan mulia Puan Maharani di atas, nurani kita pasti berkata setuju. Supaya non muslim mengerti bahwa Islam sejatinya agama yang mengajarkan ketegasan sekaligus keramahan, toleran dan menebar kasih sayang.

Namun begitu, ada satu hal yang mesti dituntaskan lebih dulu. Yaitu, hukum non muslim masuk masjid. Boleh atau tidak?

Dalam khazanah fikih hukum tersebut bisa kita runut awal dari persoalan bagaimana hukumnya non muslim memasuki tanah haram yang termasuk di dalamnya masjidil haram.  Ulama beda pandang tentang bolehnya non muslim memasuki tanah haram, Masjidil Haram, juga masjid selain Masjidil Haram. Baik setelah mendapat izin dari uamat Islam atau tidak. Memiliki keperluan atau hanya sekedar iseng melihat-lihat suasana.

Perbedaan tersebut berawal dari beda penafsiran terhadap firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki Masjidil Haram setelah tahun ini”. (al Taubah: 28).

Perbedaan penafsiran para ulama terhadap ayat ini ditulis oleh Syaikh Wahbah al Zuhaili dalam karyanya al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, salah satu kitab fikih yang mengkomparasikan pendapat antar madhab. Ia menulis, menurut Imam Abu Hanifah, ayat “Janganlah mereka memasuki Masjidil Haram setelah tahun ini” adalah larangan haji dan umrah dengan bertelanjang sejak tahun tersebut. Yakni, tahun ke 9 Hijriah.

Penafsiran Abu Hanifah ini berdasar pada hadis Nabi. Rasulullah ketika itu memerintahkan kepada Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib untuk menyeru dengan ayat ini, “Setelah tahun ini, orang musyrik tidak boleh melakukan haji dan tidak boleh ada orang telanjang yang thawaf”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Abu Sufyan juga pernah memasuki Masjid Madinah untuk perbaruan kontrak perjanjian Hudaibiyah setelah sebelumnya dilanggar oleh kaum Quraisy. Fakta lain, rombongan dari Bani Tsaqif yang statusnya sebagai tamu juga memasuki Masjid Madinah. Tsamamah bin Atsal, seorang tawanan juga pernah diikat di dalam Masjid Nabawi.

Berdasarkan analisanya ini, Imam Abu Hanifah yang diamini oleh madhab Hanafi berpendapat, bahwa orang kafir, orang musyrik, dan non muslim boleh masuk ke masjid, termasuk Masjidil Haram.

Adapun Madhab Maliki membolehkan non muslim masuk ke tanah haram kecuali Masjidil Haram. Syaratnya, harus mendapat izin dari kaum muslimin dan masuk dengan damai tanpa membikin ribut dan onar. Madhab Maliki juga mengharamkan non muslim masuk ke dalam masjid manapaun, kecuali ada udzur atau alasan khusus.

Lebih tegas, Madhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan haram non muslim masuk ke Masjidil Haram sekalipun dengan alasan kemaslahatan. Tetapi selain Masjidil Haram, non muslim boleh memasukinya bila ada hajat (keperluan) tertentu setelah mendapat izin kaum muslimin. Dasar argumennya, ayat di atas hanya menyebutkan Masjidil Haram saja. Karena itu, untuk masjid selain Masjidil Haram, non muslim boleh saja masuk bila memiliki keperluan tertentu dan setelah mendapat izin dari umat Islam.

Dengan demikian, apa yang diharapkan oleh Puan Maharani, bahwa Masjid Istiqlal harus terbuka juga untuk non muslim sah secara fikih. Salah satu pendapat menyatakan boleh. Hajat atau keperluannya adalah ingin menyaksikan keindahan Masjid Istiqlal sebagai wisata religi dan rasa ingin tahu bahwa dakwah yang dikembangkan di Indonesia adalah dakwah yang moderat, cinta kasih, toleransi dan cinta kedamaian.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …