“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah;103)
Zakat emas adalah salah satu bentuk zakat mal yang wajib dikeluarkan jika kepemilikan emas mencapai nishab (batas minimum) 85 gram dan telah dimiliki selama setahun (haul). Meskipun prinsip zakat ini sama, yaitu untuk memurnikan harta dan membantu mereka yang membutuhkan, keempat mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, memiliki pandangan berbeda mengenai kewajiban zakat emas, terutama jika emas tersebut berbentuk perhiasan atau investasi.
Mazhab Syafi’i: Fleksibilitas Berdasarkan Fungsi Perhiasan
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa emas perhiasan yang dipakai sehari-hari tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena dianggap sebagai barang konsumsi, bukan investasi. Sebagai contoh, seorang ibu rumah tangga yang memiliki kalung emas seberat 50 gram yang digunakan secara rutin tidak diwajibkan mengeluarkan zakat. Namun, jika ia menyimpan 100 gram emas dalam bentuk batangan selama setahun sebagai investasi, maka ia wajib mengeluarkan zakat 2,5% atau 2,5 gram dari total emas tersebut
Mazhab Hanafi: Kewajiban Zakat pada Semua Jenis Emas
Mazhab Hanafi mengambil pandangan yang lebih ketat. Menurut mereka, semua bentuk emas baik perhiasan maupun simpanan wajib dizakati jika mencapai nishab dan haul. Misalnya, jika seseorang memiliki gelang emas seberat 90 gram dan sering memakainya, ia tetap harus mengeluarkan zakat. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa nilai emas sebagai harta tidak berubah, terlepas dari penggunaannya.
Dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak wajib atasmu zakat emas kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun. (Jika telah memenuhi hal itu), maka zakatnya sebesar 0,5 dinar. Apa yang lebih dari itu, maka zakatnya juga menyesuaikan dengan perhitungan tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1573)
Mazhab Maliki: Zakat Sekali Seumur Hidup untuk Perhiasan
Mazhab Maliki berpendapat bahwa perhiasan emas yang dipakai tidak wajib dizakati setiap tahun. Namun, sebagian ulama Maliki menyarankan agar zakat atas perhiasan dikeluarkan sekali seumur hidup sebagai bentuk kehati-hatian. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kalung emas seberat 85 gram bisa mengeluarkan zakat satu kali sebesar 2,125 gram (2,5%) ketika pertama kali memilikinya.
“Tidak ada kewajiban zakat pada barang perhiasan yang digunakan untuk berhias” (HR. Abu Dawud). Hadis tersebut sering dijadikan rujukan oleh ulama Maliki untuk menyatakan bahwa perhiasan bukan harta yang harus dizakati setiap tahun, karena fungsinya bukan sebagai aset produktif atau investasi.
Mazhab Hanbali: Variasi Pandangan Tergantung Konteks
Mazhab Hanbali memberikan beberapa fleksibilitas, tetapi cenderung mengikuti pandangan Hanafi dalam hal zakat emas perhiasan. Mereka menganggap bahwa perhiasan yang disimpan dan tidak digunakan secara aktif dianggap sebagai harta yang harus dizakati. Jika seorang wanita memiliki cincin dan gelang yang jarang dipakai dan hanya disimpan di rumah, zakat tetap wajib dikeluarkan setiap tahun.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa, jika seseorang memiliki 90 gram emas batangan dan sejumlah perhiasan emas seberat 50 gram. Jika ia mengikuti mazhab Hanafi, ia harus menggabungkan seluruh emasnya dan membayar zakat 2,5% dari 140 gram (3,5 gram emas). Namun, jika ia mengikuti mazhab Syafi’i, hanya emas batangan yang akan dikenakan zakat, sehingga ia hanya perlu membayar 2,25 gram emas sebagai zakat.
Di Indonesia sendiri, mazhab Syafi’i banyak diikuti sehingga zakat perhiasan emas yang digunakan tidak menjadi kewajiban. Namun, emas yang disimpan sebagai investasi harus dizakati setiap tahun. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menegaskan bahwa zakat adalah kewajiban setiap Muslim jika harta mereka mencapai nisab
Perbedaan pandangan antara mazhab-mazhab ini memperlihatkan fleksibilitas Islam dalam menyesuaikan hukum dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Di Indonesia, dominasi mazhab Syafi’i memberikan kelonggaran bagi pemilik perhiasan untuk tidak membayar zakat, namun tetap menekankan kewajiban zakat atas emas simpanan. Dengan memahami pandangan berbeda ini, setiap Muslim di Indonesia bisa memilih pendekatan yang sesuai dengan keyakinannya dan tetap berkontribusi dalam mewujudkan kesejahteraan sosial melalui zakat.