Junior-junior PMII pernah bertandang ke saya, ngopi sambil ngobrol ngalor ngidul. Salah satu diskusinya soal bagaimana Nahdliyyin bisa sugih-sugih dan superior. Bukan terus-terusan inferior, sarungan, dan marjinal. Saya jawab saja pakai cerita, biar agak dramatis dan sedikit ilmiah. Begini.
Di sekitaran tahun 1995 atau 1996 (saya lupa tepatnya) bersama kawan-kawan santri saat mondok di Al-Hamidiyah Depok kami berkesempatan jumpa dengan Almagfurlah KH Kholil Bisri. Beliau saat itu adalah pengasuh PP Raudatut Thalibin Rembang, yang kini diasuh oleh adik kandung beliau KH Mustafa Bisri atau yang akrab disapa khalayak dengan nama Gus Mus.
Dalam kesempatan itu kyai Kholil memberikan ijazah ‘aam kepada kami santri muda berupa “vitamin” anti Kanker. Ijazah ini beliau dapatkan langsung dari ibunda beliau sendiri, Nyai Marufah. Kanker yang dimaksud bukanlah penyakit yang sudah kita mafhum selama ini, melainkan KANtong KERing.
Kaifiyatnya sederhana:
1. Sholat sunnah Dhuha (terserah mau minimalis 2 rakaar atau maksimalis 8 rakaat);
2. Baca doa shalat dhuha sebagaimana biasanya.
3. Wirid surat Al Kautsar yang pendek itu (cuma) 14 kali.
4. Selesai.
Kata beliau, yang mengamalkan ini insya Allah, tidak akan punya KanKer, dan selalu dicukupi Allah kebutuhannya. Tentu saja, insya Allah.
Saya bagikan kembali ijazah ini karena beliau dulu mempersilahkan pula untuk diamalkan oleh masyarakat umum.
Semoga Allah menjadikan warga NU seluruhnya Aghniya. Di Sekret PCNU Kab Bogor belum lama ini, saya pernah sharing bahwa sesungguhnya kita sebagai Nahdhiyyin adalah darah biru dan turunan para saudagar.
Lho kok bisa? Iya, kita tidak boleh lupa bahwa sebelum Nahdlatul Ulama lahir 1926 Hadratusy Syeikh lebih dulu deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918, sebelum organisasi kebangkitan ulama ada lahir duluan organisasi kebangkitan saudagar.
Hadratusy Syeikh sangat konsisten membangkitkan ekonomi ummat, buktinya saat Kebangkitan Ulama berdiri alias NU, Ketua Umum Tanfidziyah pertama diserahkan kepada Haji Hasan Gipo. Beliau ini pengusaha sukses yang tinggal di kisaran The Grave of Sunan Ampel atau situs makam Sunan Ampel di Surabaya.
Saking irinya dengan wong NU, tahun 60-an Komunisme mencoba “memiskinkan” para kyai dan santri yang menguasai pasokan pangan di Indonesia lewat rencana UU Landreform mirip yang ada di Soviet atau China pada masa itu. Mereka dengan teori komonisme sosialismenya mencoba membangun narasi bahwa para kyai NU dan pesantren adalah kaum Borjuis dan tuan tanah. Sementara mereka adalah proletar yang perlu dipersenjatai untuk mengambil alih tanah-tanah yang sudah dikuasai oleh kyai dan pesantren.
Padahal, kyai dan pesantren sejak masa sebelum merdeka telah memiliki sejumlah bidang tanah dengan pendekatan Fikih. Konsep fikihnya, ihyaul mawat kalau tidak keliru. Babat alas tanah tidak bertuan, masuk pada kawasan bromocorah, dan selanjutnya memberdayakan umat lewat pengelolaan hasil bumi dan transaksi jual beli produksi pangan. Belum lagi soal batik dan sarung, yang para pemainnya banyak dari kalangan Nahdliyyin.
Nah, kalau begitu jadi saudagar atau tajir bukan barang baru bagi warga NU. Kalau kini Nahdliyyin mulai kelihatan banyak yang kaya, itu artinya kita lagi kembali ke jati diri dan asal muasal kita dan cocok dengan visi Hadratusy Syeikh Hasyim As’ari. Setelah itu, jangan lupa setor ke LAZISNU!!!
Tabik
18 Syawwal 1441