Shalat adalah tiang agama, ruh ibadah, dan jembatan spiritual antara manusia dengan Tuhannya. Shalat ibadah rutin yang menjadi benteng umat Islam dari bangun tidur hingga tertidur kembali. Ibadah wajib yang dalam kondisi apapun harus dikerjakan walaupun dengan adanya keringanan. Itulah pentingnya shalat.
Namun, mengapa banyak yang sudah shalat bertahun-tahun, tetapi belum merasakan manisnya shalat? Mengapa shalat belum juga mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Mengapa jiwa belum juga tenang, meskipun raga telah sujud berkali-kali? Kenapa banyak orang shalat, tetapi merasa masih banyak masalah yang dibebankan kepada dirinya seolah Tuhan tidak menyapanya dalam kasih sayang?
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar, dan jawabannya bukan pada salahnya shalat, tetapi pada bagaimana kita menjalani shalat itu sendiri. Sebagaimana obat, shalat adalah penyembuh. Tapi penyembuhan hanya terjadi jika dosisnya tepat, cara meminumnya benar, dan dilakukan dengan penuh kesungguhan.
Allah berfirman: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
(QS. Al-Ankabut: 45)
Lantas, bila kita masih jauh dari pengaruh itu, mungkinkah karena kita belum benar-benar memahami dan menapaki shalat dengan utuh?
Tahapan Merengkuh Manisnya Shalat
Shalat adalah perjalanan batin, dan ada beberapa tahapan yang mesti dilalui agar kita bisa merasakan nikmat dan keajaibannya:
- Tahapan Formal: Hafal dan Fasih dalam Bacaan
 
Ini adalah pintu masuk bagi siapa pun yang ingin menyelami nikmat shalat. Kita harus mengetahui tata cara shalat secara benar: dari wudhu, takbir, hingga salam. Bacaan-bacaan shalat harus dihafal dan dibaca dengan benar.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa mengikuti prosedur dan panduan shalat adalah bagian dari ketundukan kepada sunnah Nabi. Tidak bisa seseorang berkata, “Yang penting hatiku kepada Tuhan,” tetapi meninggalkan tata cara yang sudah diajarkan Rasulullah.
- Memahami Arti Bacaan Shalat
 
Banyak orang hafal bacaan shalat, namun tidak mengerti artinya. Padahal, memahami setiap lafaz akan menghadirkan kehadiran hati. Misalnya, saat membaca Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, kita memuji Allah yang telah memberi segalanya, bahkan napas dan waktu untuk shalat itu sendiri.
Allah berfirman: “Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1–2)
Kekhusyukan lahir ketika bacaan tidak sekadar dilafazkan, tetapi dimaknai sepenuh hati.
- Merefleksikan Makna Gerakan dan Bacaan
 
Di tahapan ini, shalat bukan hanya rutinitas, tetapi menjadi perenungan eksistensial. Sujud bukan lagi sekadar gerakan fisik, tapi simbol kerendahan mutlak di hadapan Sang Pencipta. Mengucap “Subhana rabbiyal a’la” menjadi pengakuan tulus bahwa hanya Allah-lah Yang Maha Tinggi, dan kita tak lain hanya hamba yang lemah.
“Seorang hamba paling dekat dengan Tuhannya adalah saat ia sujud…” (HR. Muslim)
Kisah Umar bin Khattab yang menangis dalam shalat karena merenungi ayat-ayat yang ia baca menunjukkan betapa shalat bisa menjadi ruang curhat spiritual terdalam.
- Berkomunikasi dengan Allah
 
Inilah puncak makrifat shalat—ketika hati benar-benar tersambung dengan langit. Dunia lenyap, dan hanya ada dialog batin dengan Tuhan. Para sahabat Nabi seringkali tidak sadar akan luka atau panggilan dunia luar saat mereka sedang shalat karena tenggelam dalam kenikmatan berdzikir kepada Allah.
Said bin al-Musayyib bahkan pernah tetap shalat dengan tenang di masjid meskipun gempa mengguncang, karena hatinya telah tenggelam dalam kekhusyukan. Sebuah kisah diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib yang tetap tenang shalat meski anak panah menancap di tubuhnya, dan baru dicabut saat ia sujud—karena hanya pada sujud itulah rasa sakit dunia tak terasa.
Shalat: Nikmat yang Tak Tertandingi
Manisnya shalat adalah anugerah. Tapi ia tak hadir tiba-tiba. Ia butuh proses, usaha, dan kesabaran. Jangan kecewa jika belum merasakan manisnya. Mungkin kita baru di tahapan pertama. Tapi tetaplah berjalan. Karena janji Allah tak pernah ingkar. Shalat akan mengubah hidup, menenangkan jiwa, dan mengangkat derajat siapa pun yang melakukannya dengan ikhlas dan penuh kesungguhan.
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.”
(QS. Al-Baqarah: 238)
Kini, pertanyaannya bukan lagi kenapa shalat belum terasa nikmat. Tapi: sudahkah kita benar-benar menapaki tangga-tangga menuju shalat yang sejati? Jika anda masih berada di tahapan pertama atau justru belum masuk pada tahapan tersebut, lalu mempertanyakan dampak dan nikmatnya shalat, itu seperti halnya menanyakan manfaat obat padahal belum pernah meminumnya atau meminum dengan cara yang benar.
Bagi yang terus berusaha mencapai nikmatnya shalat, teruslah berusaha. Jangan berhenti. Karena manisnya shalat bukan mitos. Ia nyata, dan sedang menanti Anda.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah