agama menjadi bencana
agama

Jihad dan Perang Suci

Jihad dengan arti perang suci tidak pernah terlahir dari rahim Islam. Perang hanyalah salah satu dari bentuk jihad. Oleh karena itu, menyamakan jihad dengan perang suci sama sekali tidak berdasar dan mendistorsi ajaran Islam. Jihad dibonsai dan dikerdilkan maknanya.


Bom bunuh diri. Lagi-lagi terjadi dan menelan korban jiwa. Kekisruhan dan petaka atas nama jihad ini selalu saja berulang, tidak manusiawi dan biadab. Bila ditelusur lebih jauh, akan ditemukan skenario akal bulus dan busuk yan dilakukan oleh orang-orang yang dengan licik menciptakan stigma bahwa jihad tidak lain adalah perang suci. Konsep inilah yang mendorong seseorang bertindak nekad mengorbankan nyawa secara sia-sia.

Sampai saat ini, tema jihad terus saja bergulir dan menjadi kontroversi. Dua kutub yang silang pendapat berhadapan dengan argumen yang tak pernah mencapai titik temu. Dua kelompok yang berbeda ujung pemahaman.  Antara pemaknaan jihad sebagai kesungguhan dalam pengenalan ajaran Islam dengan cara yang ramah sehingga Islam menjadi rahmat semeta dan pemahaman jihad sebagai perang fisik, kekerasan serta pembunuhan.

Pemahaman jihad yang pertama tidak hendak mengingkari fitrah bumi yang dihuni oleh manusia yang beragam. Yang berbeda tidak harus dipaksa untuk mengikuti agama tertentu. Perang hanya dilakukan apabila hak-hak yang esensi dilanggar. Dalam Islam, hak esensi ini terbatas pada lima pondasi pokok yang maklum dengan istilah dlaruriyat al khamsah, agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan. 

Kelompok pertama ini menolak jika tema jihad disinonimkan maknanya dengan perang, qital. Memandang jihad bukan perang suci, melainkan suatu perjuangan atau kesungguhan hati. Lebih tegas kelompok ini menyatakan, dalam tradisi ajaran Islam tidak ada dan tidak ditemukan istilah perang suci atau al harb al Muqaddas.  Jihad lebih dekat maknanya dengan perjuangan dari pada perang. Perjuangan yang menyangkut perjuangan spiritual, bukan sekedar kekerasan fisik.

Bila dilihat dalam al Qur’an, ayat-ayat tentang jihad kebanyakan turun pada periode Makkah. Fakta sejarahnya, selama di Makkah perjuangan Nabi sama sekali jauh dari kekerasan fisik. Apalagi perang. Ibnu Abbas menyatakan, jihad berarti perjuangan menggunakan al Qur’an. Yaitu menggunakan kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya melawan pemahaman yang salah dari kaum musyrik. Titik tekannya adalah perjuangan melalui perang pemikiran, bukan perang fisik.

Jihad dengan arti perang suci tidak pernah terlahir dari rahim Islam. Perang hanyalah salah satu dari bentuk jihad. Oleh karena itu, menyamakan jihad dengan perang suci sama sekali tidak berdasar dan mendistorsi ajaran Islam. Jihad dibonsai dan dikerdilkan maknanya.

Adapun yang kedua, memahami jihad lebih mengkerucut pada perang dan perjuangan fisik. Jihad dimaknai perang suci. Pemahaman ini secara sadar sesungguhnya mendistorsi ajaran Islam. Demikian pula akibatnya, menimbulkan korban jiwa dan kerusakan di muka bumi. Pada saat terjadi kekisruhan yang kebanyakan pelakunya berlabel Islam, meminjam baju agama Islam dengan alasan tegaknya Negara Islam di Indonesia maupun beramar ma’ruf nahi mungkar secara paksa dengan tindakan kekerasan, para cendikiawan kelompok ini kemudian memposisikan diri sebagai pembuat tori-teori untuk melegetimasi tindakan yang mereka anggap sebagai jihad. Sesungguhnya pemahaman ini mengikuti model dan gaya berpikir orang-orang orientalis Negara-negara barat.

konteks di Indonesia, doktrin jihad yang harus muncul adalah kesungguhan untuk menciptakan pola beragama yang bisa menghargai keyakinan dan agama lain.

Di Negara-negara barat, tema jihad menjadi sebuah diskursus panjang yang tak berkesudahan dalam bentuk pencitraan dan penetapan status makna yang salah tentang gambaran jihad. Orang-orang orientalis Eropa, ketika menterjemah istilah jihad ke dalam bahasa mereka,  terbiasa menyamakan ‘jihad’ dengan ‘perang suci’.

Mereka kemudian memberikan penafsiran yang negatif dan mengomentari jihad secara apriori. Mengarahakn secara serampangan pada pemaknaan yang kurang tepat dan cenderung dipaksakan. Hembusan tafsir orientalis ini bahkan sampai menstigma jihad sebagai istilah yang mengedepankan watak dan perilaku jahat, perang fisik dan pertumpahan darah. Mereka sangat piawai dan licik dalam mengolah argumentasi dan mengaburkan realitas yang sebenarnya.

Hal ini mereka lakukan hanya semata untuk menuruti hawa nafsu untuk meraih kejayaan dan kemuliaan duniawi walaupun mengakibatkan begitu banyak korban jiwa. Dan untuk menguatkan tindakan tersebut mereka melegitimasi dengan nama agama. Wajah buruk peperangan dan tindak kekerasan mereka, serupa  dengan jihad yang dilakukan oleh umat Islam. Ujungnya, tema jihad menjadi ‘kambing hitam’ untuk menyudutkan dan merendahkan kemuliaan agama Islam secara keseluruhan.

Oleh karena itu, untuk konteks di Indonesia, doktrin jihad yang harus muncul adalah kesungguhan untuk menciptakan pola beragama yang bisa menghargai keyakinan dan agama lain. Bahwa tidak ada paksaan dalam agama atau keniscayaan. Untukmu agamamu dan bagiku agamaku.

Bagaimanapun, hidayah adalah hak prerogatif Allah. Sebagai seorang muslim hanya menyampaikan kebenaran agama Islam sebagai satu-satunya agama yang diakui oleh Allah, tidak lebih. Dan, menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang adil dan bermoral untuk semua golongan tanpa diskriminasi.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Deklarasi Formula Santri

Formula Santri, Ruang Silaturahmi Ulama dan Santri untuk Mencerahkan Bangsa

Jakarta — Dalam semangat memperingati Hari Santri Nasional 2025, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-13, Prof. …

Dr Trubus Rahardiansyah

Perkuat Edukasi, Transparansi, dan Kualitas Gizi di Garis Depan dalam Pelaksanaan Program MBG

Jakarta — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah strategis …