Logika hukum asas praduga tak bersalah sudah lumrah terdengar dalam dunia hukum. Meskipun tafsir dari asas praduga tak bersalah masih menjadi perdebatan yang tak kunjung berakhir pada kata sampai. Bahkan, Gus Dur pernah melontarkan tandingan dengan redaksi pembuktian terbalik.
Senada dengan Gus Dur, Mahfud MD juga pernah menawarkan tandingan, asas praduga bersalah yang pernah disampaikan dalam acara Indonesian Lawyer Club (ILC). Parduga tak bersalah adalah asas yang membuat seseorang terbebas dari tuduhan apapun atas dirinya sebelum pengadilan memutuskan bersalah.
Pembuktian terbalik mengandaikan seseorang yang terduga melakukan tindakan korupsi—sebagaimana dipaparkan Gus Dur—harus mendatangkan bukti bahwa dirinya tidak terlibat dalam tindakan korupsi, bahwa kekayaan hartanya didapat dengan cara-cara yang wajar dan normal. Terlepas dari polemik tersebut, ulama’ klasik juga telah membuat rumusan kaidah yang berbunyi:
اَلاَْصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ.
(al-ashlu baraatudz dzimmah)
“Pada dasarnya (setiap manusia) terbebas dari beban tanggung jawab”
Secara bahasa dzimmah bermakna al-‘ahdu, jaminan, janji, perlindungan. Dalam terminologi fikih, berarti kondisi yang menjadikan seseorang cakap hukum, sehingga mampu menerima beban tanggung jawab dan hak.
Sebagian ulama’ memberikan definisi dzimmah dengan jiwa yang memiliki tanggungan. Oleh sebab itu, pada dasarnya setiap manusia yang cakap hukum terbebas dari tanggungan hak dan kewajiban. Seseorang terbebas dari tanggungan itu merupakan hal yang diyakini.
Dalam dunia pengadilan ketika terjadi sengketa antara dua pihak dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan dan bukti-bukti yang dapat mengunggulkan pihak satu atas pihak yang lain. Terdapat dua metode yang wajib ditempuh dalam menyelesaikan sebuah sengketa hukum.
Metode pertama ialah mengacu pada al-ashlu dan al-dhahir. Metode al-ashlu yaitu dengan menerapkan kaidah-kaidah yang menekankan pada prinsip dasar sebagaimana kaidah-kaidah fikih cabang kedua yang banyak dibahas sebelumnya. Sementara dhahir ialah kondisi tampak yang bisa dijadikan acuan saat kejadian perkara. Misalnya, dua orang yang sama-sama mengklaim atas kepemilikan benda yang berada di bawah kekuasaan (dipegang) salah satunya, tentu yang dibenarkan adalah klaim orang yang pegang barang tersebut dengan mengacu pada kondisi yang tampak (dhahir).
Sedangkan metode yang kedua adalah argumentasi yang mengacu pada ketentuan syariat, seperti adanya saksi, pengakuan, enggan bersumpah, dan lain-lain. Metode kedua didahulukan atau lebih unggul dari pada metode pertama.
Aplikasi kaidah: seorang peminjam (musta’ir) mengklaim bahwa barang yang dipinjam telah dikembalikan, maka klaim tersebut dapat dibenarkan, karena pada prinsipnya dia terbebas dari tanggungan mengembalikan barang pinjaman. Pak Mirza mengklaim bahwa Pak Amin mempunyai hutang dengan nominal Rp. 1.000.000,- terhadap dirinya, maka klaim pak Mirza tidak dapat dibenarkan, karena pada dasarnya Pak Amin terbebas dari tanggungan hutang yang dituduhkan terhadap dirinya.
Hikmah kaidah dalam kehidupan. Jangan terlalu gampang menuduh orang lain tanpa dasar yang kuat, memberikan image negatif, belajarlah berbaik sangka terhadap siapapun dalam batas-batas kewajaran. []
Wallahu ‘alam
Zainol Huda, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.