Covid 19
Covid 19

Kami, Tetangga, Kolega, dan Tempat Karantina: Cerita Pengalaman Keluarga Covid (1)

Divonis positif Covid itu tidak enak. Setelah hasil Swab positif, ia mengasumsikan berbagai bentuk pengasingan diri. Pertama, dari keluarga. Seluruh keluarga harus jaga jarak dan tidak melakukan kontak fisik dengan si penderita. Kebetulan, di antara saya, istri, 4 anak, dan 2 adik. Hanya saya dan putri sulung yang dinyatakan positif Covid.

Kedua, dari lingkungan. Hal paling awal setelah divonis positif adalah isolasi mandiri sebelum akhirnya dipindah di tempat karantina, baik di RS bagi yang sakit, ataupun tempat khusus isolasi bagi yang hanya memiliki gejala ringan atau bahkan OTG (Orang Tanpa Gejala). Namun tampaknya support lingkungan justru memperkuat mental kami sekeluarga.

Support dari tetangga berdatangan. Mereka menunjukkan rasa simpati dengan memberikan doa di grup, memberikan lauk pauk, buah, dan kebutuhan sehari-hari kami dalam masa isolasi. Support dari RT juga tidak kalah kuat terhadap keluarga kami, semua hal yang dibutuhkan dipenuhi, bahkan RT menyiapkan satu orang untuk mensupport berbagai kekurangan dan kebutuhan kami. Di sini kalimat “tetangga saudara terdekat” terbentuk nyata dari kepedulian mereka terhadap kami. Ia tidak hanya slogan semata, namun secara riil menyapa kami.

Support dari kolega juga berdatangan kepada kami baik melalui telepon maupun kiriman-kiriman langsung mereka. Sungguh, teman sejati itu adalah teman ketika kita sedang tertimpa musibah mereka hadir menguatkan psikis kita yang sedang down dan bingung dengan apa yang sedang menimpa. Di sini, teman adalah yang bersimpati dan berempati terhadap musibah dan cobaan yang diberikan kepada kita.

Abang Ojek Online tampak juga berperan dalam kebutuhan makanan siap saji. Ya, tidak enak rasanya menjadi orang yang terlalu merepotkan banyak tetangga, sehingga Gofood menjadi pilihan. Hampir setiap siang dan sore, istri saya dan adik saya memesan menu makan melalui fasilitas yang diberikan oleh Gojek.

Setelah dipindah ke tempat karantina, ternyata kesan seram terhadap Covid itu hilang. Anak saya dan saya yang yang hanya memiliki keluhan pusing dan kadang batuk ditempatkan di sebuah tempat karantina yang asyik bagi perbaikan emosional saya setelah divonis positif. Di sana kami berkumpul dengan orang lain dari berbagai daerah di Bantul.

Kegiatan kami di tempat karantina, yang merupakan tempat diklat Pertanian, hanya Ishoma (istirahat, sholat dan makan) plus senam. Kita setiap pagi senam bersama hampir seratusan orang (tidak semuanya senam  sih), tentu tetap dengan protocol kesehatan seperti  memakai masker dan jaga jarak. Kita seperti orang yang ikut diklat, makan 3 kali, dan snack kotak 2 kali sehari. Kesehatan kami dipantau melalui grup WA. Namun alhamdulillah, rata-rata orang yang positif yang tinggal di sini hanya satu minggu, setelah itu diperbolehkan pulang setelah dinyatakan negative melalui swab evaluasi (swab yang dilakukan seminggu setelah swab awal).

Selama tingggal di tempat karantina, terdapat macam-macam orang, setidaknya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian: anak dan remaja. Terdapat anak yang tinggal di sini Bersama ibunya, ada yang awalnya hanya anaknya yang positif, lalu ibunya ikut menjaga sehingga sang ibu pun dianggap positif (sungguh kasih ibu sepanjang jalan), namun ada yang anak dan ibundanya yang memang positif sehingga sama-sama diisolasi di satu kamar. Sementara yang remaja, banyak terdiri dari santriwati, setidaknya terdapat  20 an santri putri remaja yang dinyatakan positif dan tinggal di tempat karantina ini. Mayoritas mereka adalah OTG.

Ibu dan bapak paruh baya. Ya mereka adalah bapak dan ibu muda yang berusia 25-40an tahun. Banyak di antara mereka adalah pekerja kantoran yang positif Covid di tempat kerja mereka. Banyak di antara mereka adalah PNS dan guru bahkan Nakes (Tenaga Kesehatan). Rata-rata mereka OTG paling berat hanya batuk saja. Setiap hari kami berinteraksi dengan mereka di siang hari saat mereka bosan di kamar, maka kita keluar berjemur di bawah terik matahari.

Bapak dengan usia lanjut. Terdapat setidaknya beberapa bapak-bapak dalam kategori ini. Mungkin usianya  sekitar 50-80an tahun. Bapak-bapak ini banyak yang masih bekerja kantoran dan sebagian pensiunan. Namun mereka adalah OTG sehingga mereka mampir ke tempat karantina ini hanya seminggu hingga 10 harian saja.

Saya dan putri saya termasuk beruntung ditempatkan di sini, di Daerah Panggungharjo Niten, Bantul. Hal tentu akan berbeda ketika ditempatkan di daerah Bambanglipuro, Bantul, para pasien di sini rata-rata adalah orang-orang dengan penyakit penyerta (komorbid), sehingga ada dokter yang standby dan para pasien tidak diperbolehkan keluar masuk kamar. Berbeda dengan di tempat kami di Niten yang hanya ada perawat saja dan kesehatan kami cukup dimonitor di grup WA saja.

Situasi yang menyenangkan dan tidak tegang tentu merupakan satu bentuk terapi psikologis yang sangat penting bagi perkembangan kesehatan pasien Covid. Pasien yang harus dipisah dari keluarganya, kemudian dipisah dari interaksi dengan tetangga akan membutuhkan satu terapi alami yang membisakan mereka dapat tenang dalam menjalani proses penyembuhan serta melewati situasi yang menurut kami genting ini, terutama di tengah berita-berita yang sama sekali tidak mengenakkan di social media, seperti berita kematian karena Covid, dll.

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Saifuddin Zuhri Qudsy

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Anggota Asosiasi Hadis Indonesia (ASILHA).

Check Also

agama dan sains

Covid-19 Membuka Kembali Relasi Agama dan Sains

Covid-19 tidak hanya menyajikan problem keagamaan pada wilayah praktis, tetapi juga membuka kembali relasi antara …

ngaji online

Ngaji Online: Ritual Kesalehan Baru di Ruang Maya

Ngaji online menjadi satu trend terbaru di era digital ini. Banyak istilah lain yang digunakan, …