agama dan sains
agama dan sains

Covid-19 Membuka Kembali Relasi Agama dan Sains

Covid-19 tidak hanya menyajikan problem keagamaan pada wilayah praktis, tetapi juga membuka kembali relasi antara agama dan sains. Apakah relasi ini saling melengkapi atau memerangi?


Covid-19 yang telah terjadi pada saat ini telah menjadi prakondisi hilangnya selebrasi keagamaan di Indonesia. Rumah ibadah umat Islam, baik Masjid maupun Musalla, sepi dan dihindari dan ditinggalkan oleh para jamaahnya karena munculnya physical distancing dan perintah menghindari kerumunan.

Dampak virus ini sangat dahsyat dan terus terasa hingga saat ini. Meskipun mulai memasuki tahapan normal baru, di negara kita, Indonesia, kurva infeksi dan tingkat kematian karena virus ini masih belum menurun. Kekacauan yang diakibatkannya hampir di semua lini, social, budaya, ekonomi, dan hingga agama.

Di sini, agama secara sekilas tampak menjadi ompong giginya, seakan tak bertaring. Mayoritas ulama tampak tidak dapat berbuat apa-apa di depan Covid-19. Terlebih lagi ketika Masjid Makkah dan Madinah yang menjadi center umat Islam ditutup karena virus ini, maka tensi perdebatan-perdebatan itu kemudian menurun.   

Ciri khas agama lebih banyak yang bersifat subjektif, spekulatif, taabbudi, dan imani, serta sering berorientasi pada masa lalu. Sehingga dalam konteks pandemi yang nyata-nyata adanya maka narasi-narasi teks keagamaan bermunculan di permukaan, bahkan terkadang cenderung apologetik. Akhirnya yang muncul adalah repetisi-repetisi, kalaupun terjadi gejolak dan keabnormalan, maka adagium kembali kepada salafus salih selalu diteriakkan ditambahi dengan embel-embel bid’ah.  

Oleh karenanya jika meminjam ide Thomas Kuhn, maka agama tidak akan pernah bisa menciptakan new paradigm. Agama lebih akan menggunakan paradigm old science/paradigm dalam mengatasi permasalahan-permasalahan. Dalam melihat pandemipun maka teks sabda Nabi Muhammad Fanau ummati bi al-Tha’ni wa al-Thoun (Binasanya umatku adalah karena perang dan thoun). Di sini thoun dimaknai sebagai wakhz al-jin (tusukan jin, yang tak kasat mata).

Sementara itu ciri sains adalah terukur, objektif, dan nyata dan cenderung replacing old paradigm dan berorientasi pada masa depan. Ciri-ciri ini yang menempatkan sains sangat rasional dan logis. Penemuan-penemuan yang dinamis dalam sains cenderung mereplace temuan-temuan sebelumnya, seperti contoh paling sederhana perubahan dalam teknologi HP yang setiap tahun selalu berubah dan semakin canggih.

Hilangnya Selebrasi Agama di Ranah Publik dan Privatisasi Agama

Ketika masa Covid-19, yang banyak bersuara adalah para saintis seperti dokter, ahli virus dan pakar pandemiologi. Suara-suara agamawan yang membawa menyuarakan teks-teks keagamaan tampak lenyap, terlebih Ibadah di Baitullah di Makkah dan madinah sedari awal pandemi langsung melakukan lockdown atas praktik umrah dan shalat berjamaah lima waktu serta shalat Jumat. Hal ini yang kemudian protes-protes keras dengan argument teologis atas Covid-19 cepat mereda.

Akhirnya yang terjadi adalah, umat Islam yang paling gemar melakukan selebrasi aktivitas keagamaan yang jamai (komunal). Kita dapat memperhatikan apa yang terjadi pada masa pandemi ini, rumah ibada umat Islam berangsur sepi karena aktivitas yang melibatkan jamaah yang banyak tidak diperkenankan, dan hal ini dimonitor dengan cukup ketat oleh aparat di tingkat desa dan kecamatan. Di sini kemudian saya mengatakan bahwa agama, dalam hal ini, Islam menjadi ‘ompong’ (tanda petik ditekankan) dan harus tunduk di hadapan seruan-seruan sains agar menghindari kerumunan dan phsycal disctancing.

Ketika memasuki Ramadan, selebrasi keagamaan yang biasanya muncul dalam Islam menjadi hilang dan aura Ramadan tidak terasa gaungnya di ranah publik.  Pertanyaannya kemudian, apakah benar agama menjadi ompong tak bertaji di hadapan Covid-19?

Hilangnya selebrasi keagamaan telah menempatkan agama dalam ruang privat yang sebelumnya banyak didengung-dengungkan dalam ruang-ruang public dan dilakukan dalam kuantitas yang besar. Islam, dalam prediksi saya, dalam setengah tahun hingga akhir tahun ini, akan banyak dipraktikkan di dalam rumah.

Ritual-ritual keagamaan yang bercampur dengan dimensi budaya local, misalnya tahlilan, peringatan nyewu, nyatus, dan bentuk perkumpulan keagamaan akhirnya ditunda dan hilang dari ritual rutin yang sebagian masyarakat praktikkan.

Pertanyaan selanjutnya apakah hal seperti ini negatif? Tidak juga, pandemi adalah momentum untuk kembali kepada struktur masyarakat yang paling kecil, yakni keluarga inti (nuclear family), melakukan ibadah secara khidmat tanpa harus dalam bentuk besar atau tanpa harus diselebrasikan. Justru dalam situasi seperti ini keeratan sebuah keluarga menguat, refleksi dan kritik atas praktik keagamaan yang selama ini dilaksanakan memiliki porsi yang sangat besar. Dengan begitu, keluarga bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman dan praktik ritual keagamaan yang selama ini mereka jalankan.

Sains dan Agama:  Saling Menunggangi dan Melengkapi

Sama dengan hipotesis bahwa agama akan dikalahkan dan digilas modernitas, sains dan agama nyatanya hingga saat ini baik-baik saja dan dalam banyak hal menunjukkan hubungan yang mesra. Silaturahim ala Islam yang selalu saling mengunjungi dan bersalam salaman memang cenderung tidak dilakukan di masa pandemi, namun, bukan berarti hubungan antar manusia mengarah pada individualism, malah semakin rekat dengan menjamurnya fasilitas sains dengan kontak video call baik via Whatsaap ataupun media video call yang lain.

Kecenderungan pandemi justru semakin merekatkan hubungan silaturahim dan sains semakin memudahkannya dengan memberikan beragam fasilitas yang serba murah. Jarak serasa dilipat dan dunia menjadi global village (kampong global) dimana kita mudah bertatap muka tanpa merasa jarak menjauhkannya. Satu hal yang jarang dilakukan oleh masyarakat dunia sebelum masa pandemi.

Silaturahim, semakin terkoneksi melalui teknologi dan semakin erat, kalau Facebook menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, maka Covid memanggil semuanya. Sehingga dengan demikian, sebenarnya agama tetap elastis, ia menggunakan temuan sains untuk tetap melakukan ritual meskipun dengan pola yang sedikit diperbaiki dan disesuaikan dengan situasi pandemi.

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Saifuddin Zuhri Qudsy

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Anggota Asosiasi Hadis Indonesia (ASILHA).

Check Also

Covid 19

Kami, Tetangga, Kolega, dan Tempat Karantina: Cerita Pengalaman Keluarga Covid (1)

Divonis positif Covid itu tidak enak. Setelah hasil Swab positif, ia mengasumsikan berbagai bentuk pengasingan …

ngaji online

Ngaji Online: Ritual Kesalehan Baru di Ruang Maya

Ngaji online menjadi satu trend terbaru di era digital ini. Banyak istilah lain yang digunakan, …