ilmu dan hidayah 1
ilmu dan hidayah 1

Kedudukan Ilmu dan Hidayah dalam Pandangan Islam

Salah satu karya Imam Ghazali yang terkenal adalah Bidayah al Hidayah, artinya awal tumbuhnya hidayah. Dalam kitab ini diterangkan etika atau adab untuk menjalani kehidupan sehari-hari bagi seorang muslim, sejak bangun tidur sampai tidur kembali.

Dalam muqaddimahnya, Imam Ghazali menyatakan bahwa hidayah merupakan buah dari ilmu. Dengan redaksi lain dapat dikatakan, hidayah tidak akan tercapai tanpa landasan ilmu, dan niat mencari ilmu haruslah demi meraih hidayah Allah.

Masih dalam pengantar kitab tersebut, beliau menuturkan, “Sesungguhnya hidayah itu mempunyai pangkal dan ujung, tampak dan tersembunyi. Untuk sampai keujungnya mesti terlibih dahulu harus menapaki pangkalnya. Sebagaimana tidak akan mengerti batinnya sebelum menyaksikan dhahirnya.

Dari sini menjadi jelas, bahwa ilmu dan hidayah merupakan kesatuan tak terpisahkan. Oleh karena itu hal pertama dan penting dikuasai adalah ilmu. Dalam mencari ilmu, Imam Ghazali mengingatkan supaya niatnya hanya untuk mencari ridlo Allah dan untuk memperoleh hidayahNya.

Beliau menjelaskan, para mencari ilmu berada dalam tiga kondisi. Pertama, ia mencari ilmu dengan tujuan untuk bekal kembali kepada Allah, tidak ada tujuan lain selain upaya menggapai ridlaNya, tercapainya kebahagiaan di akhirat. Tipe pertama ini paling ideal, inilah orang yang beruntung.

Kedua, mereka yang mencari ilmu sebagai sarana membantu dan menopang kehidupan dunia. Sifatnya pragmatis. Tujuannya untuk merengkuh kehormatan, kemuliaan, pangkat, dan harta. Ia terjebak pada langkah yang keliru, padahal jauh di lubuk hatinya ada kesadaran, mengerti dan mengakui kalau semua itu tak lain karena kerapuhan posisinya dan kerendahan tujuannya tersebut.

Dalam posisi ini, ia termasuk orang yang rugi, berada dalam bahaya besar. Dan, Jika ajal menjemput sebelum sempat bertaubat, dikhawatirkan terjerumus dalam jurang su’ul khatimah. Maka semestinya ia bersegera berusaha memohon taufiq dan bertaubat sebelum tibanya ajal, kemudian memutar haluan niatnya dengan memanfaatkan ilmunya untuk beramal shaleh, sekaligus berusaha mendapatkan apa yang pernah dilewatkannya. Kalau hal ini mampu dikerjakan, ia masuk kelompok orang-orang yang beruntung seperti model yang pertama. Sesungguhnya orang yang bertaubat dari dosa sama halnya dengan orang yang tidak berdosa.

Ketiga, orang yang dikendalikan oleh setan sehingga menjadikan ilmunya sebagai sarana untuk menumpuk harta, mengejar pangkat, berbangga diri dengan banyaknya pengikut. Di manapun berada, selalu menajadikan ilmunya sebagai alat untuk memasuki segala ruang demi meraih dunia dan semua keinginannya.

Parahnya lagi, ia merasa mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah, mengenakan simbol-simbol para ulama’, meminjam tanda-tanda kebesaran mereka, baik dalam berpakaian maupun berbicara disertai kegesitan untuk meraup keuntungan duniawi. Sesungguhnya Ia akan binasa. Ia orang dungu yang tertipu, terputus harapan darinya untuk bertaubat sebab ia menyangka   dirinya   termasuk   orang-orang   yang   berbuat  baik (muhsin).

Golongan seperti inilah yang disebut ulama su’, ulama jelek yang keberadaannya lebih dikhawatirkan oleh Rasulullah dibanding Dajjal sekalipun. Mereka ini orang-orang pintar yang hanya berkeinginan untuk menyesatkan manusia, memalingkan mereka kepada  harta  dan kenikmatan duniawi, baik   dengan   perkataan maupun perbuatan. Perbuatannya tidak sama dengan perkataannya. Padahal  ‘Lisan al hal afshahu min lisan al maqal’. Perbuatan itu berbicara lebih fasih dibanding perkataan.

Menurut Imam  Ghazali,  merekalah  penyebab  semakin  beraninya  orang- orang awam untuk berpaling kepada dunia. Sebab, orang awam tidak akan berani mengharapkan dunia kecuali para ulama’-nya telah berbuat demikian terlebih dahulu.

Imam Zarnuji mengingatkan dan menegur kelompok ketiga ini dengan ungkapannya dalam kitab Ta’lim al Muta’allim, “Kemuliaan ilmu semata-mata karena ia merupakan perantara menuju taqwa, dengan ilmu yang dimilki manusia memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kebahagiaan abadi.”

Demikian pula Ibn  Rajab al Hanbali  berkata,  “Dasar  takwa  adalah  hendaknya hamba mengetahui yang harus dijaga kemudian dia menjaga diri.” Beliau juga berkata, “Barangsiapa menempuh suatu jalan yang disangka jalan menuju surga tanpa dasar ilmu, maka benar-benar telah menempuh jalan yang paling sukar dan paling berat, dan sulit untuk sampai pada tujuan tersebut. Bagaimana akan menjadi orang yang bertakwa, orang yang tidak mengerti apa yang harus dijaga?”

Imam Syafii dalam kitabnya al Risalah berkata, semestinya seorang pencari ilmu berupaya sekuat tenaga untuk mencapai puncak kesungguhannya dalam memperbanyak ilmu, bersabar menghadapi rintangan, mengikhlaskan niat kepada Allah dalam mendapatkan ilmu baik secara tekstual (hafalan) maupun dengan menyimpulkan (analisa), serta berharap kepada pertolongan Allah, karena  tidak  ada  yang  memperoleh  kebaikan kecuali dengan pertolonganNya.

Beliau juga berkata, “Sesungguhnya seseorang yang memperoleh ilmu tentang hukum-hukum Allah dalam KitabNya, baik secara tekstual (hafalan) atau dengan cara mencari dalil (istidlal), maka Allah akan memberinya taufiq untuk berbicara dan berbuat sesuai apa yang diketahuinya tersebut, beruntung dengan karunia dalam agama dan dunianya, terhindar dari keraguan, bersinar terang hikmah dalam hatinya, dan berhak untuk mendapat kedudukan sebagai imam (pemimpin) dalam agamanya.”

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …