mengucapkan selamat Natal
Ucapan Natal

Kenapa Tidak Ada Dalil dari Nabi tentang Ucapan Selamat Natal?

Ucapan selamat Natal selalu menjadi buah perdebatan yang membelah pandangan umat Islam. Apakah sepenting itu hukum ucapan ini sehingga selalu menjadi buah bibir terutama menjelang dan saat perayaan Natal? Jika sepenting itu kenapa tidak ada dalil yang pasti yang bisa menghukumi dengan kata sepakat.

Ternyata, hukum ucapan Selamat Natal bukan persoalan qathi atau ditunjukkan dengan dalil muhkamat. Ketiadaan dalil dari Nabi atau pun dari Al Quran secara eksplisit menempatkan persoalan ini menjadi wilayah ijtiyadiyah yang bersifat khilafiyah. Artinya, hukum ini meniscayakan perbedaan di kalangan ulama dan jalan keluarnya adalah saling menghargai pendapat. Bukan saling menghujat.

Baru-baru ini misalnya, Pemimpin Liga Muslim Dunia, Mohammed Al-Issa menegaskan bahwa Islam tidak melarang muslim untuk mengucapkan Selamat Natal kepada kerabat, saudara dan teman yang beragama Kristen. Al-Issa menjelaskan bahwa tidak ada teks yang eksplisit dalam hukum syariat yang melarang hal tersebut.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kepatuhan terhadap ijma’ atau yurisprudensi dalam Islam yang tidak ada dasar teksnya dalam sumber Islam memang wajib dipatuhi. Jika ulama sudah bersepakat dalam hal tertentu, tetapi bukan dalam konsensus yang masih praduga dan khilafiyah.

Sebenarnya relasi Islam dan Kristen bukan hal baru. Hubungan antara Islam dan Kristen sudah ada sejak Nabi dan banyak dalil dengan melihat teladan Nabi dalam memperlakukan umat Kristen. Namun, kenapa persoalan mengucapkan Selamat Natal bukan menjadi perhatian Nabi? Kenapa ucapan Selamat terhadap agama lain pun tidak ditemukan dalil dalam sirah Nabi.

Jika demikian, mengucapkan Selamat Natal adalah perkara baru sementara hubungan Islam dan Kristen (Nasrani) bukan hubungan baru. Selamat Natal bukan bagian dari doktrin yang menyangkut akidah, tetapi konstruksi relasi sosial baru yang tidak berkaitan dengan akidah. Jika berkaitan dengan akidah tentu ini akan menjadi persoalan yang pasti diperhatikan Nabi.

Menariknya, beragam dalil baik membolehkan dan melarang memang tidak menemukan pijakan yang eksplisit. Mereka, para ulama, hanya menyitir ayat dan hadist yang relevan dalam pandangan mereka untuk menghukumi kasus baru ini.

Yang paling awam misalnya ada sekelompok yang melontarkan lakum dinukum wa liya diin. Mereka menyitir ini dengan mengatakan bahwa toleransi adalah urusan agama yang sendiri-sendiri, sementara urusan sosial harus bertoleransi. Tentu ini dalil yang paling awam digunakan.

Lalu, pertanyaannya, apakah mengucapkan Selamat Natal adalah urusan akidah atau sosial? Bukankah Selamat Natal adalah persoalan baru yang muncul belakangan yang tidak ada kaitannya dengan akidah?

Jika ditelurusi sebenarnya persoalannya hanya pada asumsi apakah Selamat Natal bagian dari akidah atau cuma hubungan relasi sosial. Sebenarnya bukan pada pertentangan dalil yang begitu rumit antara ulama. Persoalan itu terletak pada anggapan Selamat Natal sebagai partisipasi akidah atau partisipasi sosial.

Jika merujuk dalil hampir tidak ada benturan sama sekali antara yang pro dan kontra. Misalnya, Beberapa ulama yang melarang ucapan tersebut menyitir Al-Baqarah 42 tentang larangan mencampuradukkan akidah atau antara kebaikan dan kebatilan. Atau al-Furqan 72 yang ditafsirkan larangan untuk memberikan persaksian ketika bertemu orang yang mengerjakan perbuatan yang tidak berfaedah. Atau ada lagi ulama yang menyitir QS Al Maidah 2 tentang ajakan tolong menolong dalam kebaikan dan larangan tolong menolong dalam perbuatan dosa.

Sementara ulama dan kelompok yang memperbolehkan adalah dengan menyitir Al Mumtahanah 8 dengan subtansi ketiadaan larangan untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka yang tidak memusuhi Islam. Ada pula yang menukil Luqman 15 dengan mengibaratkan kepada interaksi dengan orang tua. Sekalipun mereka memaksa mempersekutukan Tuhan, tetaplah berinteraksi dengan mereka dengan cara yang baik. Tentu ayat yang tidak kalah pentingnya yang disitir oleh kelompok yang moderat adalah Al-Hujurat 13 tentang perbedaan umat manusia agar saling mengenal.

Jika melihat pada dua argument di atas beserta dalilnya sesungguhnya bukan karena ada perbedaan apalagi pertentangan dalil. Sesungguhnya yang terjadi adalah pada anggapan ucapan tersebut sebagai bagian dari praktek akidah atau sekedar praktek pergaulan sosial.

Jadi, bagi masyarakat sebenarnya tidak perlu mencari dalil yang pasti. Semua ulama dan kelompok mempunyai sandaran dalilnya yang sangat bagus. Hanya yang berbeda di antara ulama itu adalah cara meletakkan ucapan Selamat Natal sebagai bagian dari praktek akidah atau hanya pergaulan sosial.

Nah, jika anda merasa bahwa ucapan Natal tidak ada kaitannya dengan akidah dan hanya bagian dari interaksi sehari-hari yang menambah persaudaraan, tentu akan lebih baik mengucapkan. Namun, jika anda menganggap ucapan Natal itu adalah bagian dari bentuk pertukaran keyakinan atau anda merasa akan syirik dan imannya runtuh, sebaiknya tidak mengucapkan. Cukup bergaul dengan mereka dengan cara baik. Toh intinya dalil yang pasti dalam Islam adalah bergaullah dengan yang berbeda dengan cara yang baik bahkan lebih baik.

Bagikan Artikel ini:

About Farhan

Check Also

tionghoa dan islamisasi nusantara-by AI

Jejak yang Terlupakan: Etnis Tionghoa dalam Islamisasi Nusantara

Seberapa sering kita mendengar nama-nama besar dalam sejarah Islam di Nusantara? Seberapa banyak kita mengingat …

kubah masjid berlafaskan allah 200826174728 473

Segala Sesuatu Milik Allah : Jangan Campuradukkan Pemikiran Teologis dengan Etika Sosial

Segala sesuatu yang di alam semesta adalah milik Allah. Dialah Pencipta dan Raja segala raja …