Sejak awal manusia menatap langit, lautan, dan gunung-gunung, ada satu kesadaran yang muncul: alam tidak berjalan dengan kebetulan. Ada keteraturan, ada pola, ada hukum yang bekerja tanpa pernah lelah. Kita menyebutnya hukum alam. Namun, bagi orang beriman, hukum alam tidak berdiri sendiri. Ia adalah hukum Tuhan yang dibentangkan di semesta ini sebagai tanda dan pengingat.
Hukum sebab-akibat, misalnya, adalah bagian paling nyata dari hukum itu. Jika kita menanam, maka akan tumbuh. Jika kita belajar, maka akan memahami. Jika kita berbuat baik, maka akan ada balasan kebaikan. Semua itu tampak sederhana, tetapi sesungguhnya adalah refleksi dari sunnatullah—cara Tuhan mengatur dunia agar dapat dipahami manusia.
Namun di titik inilah kadang muncul pertanyaan yang menggugah hati: bagaimana dengan hal-hal yang tidak sejalan dengan hukum alam? Bagaimana dengan mukjizat, yang justru tampak menembus dinding sebab-akibat itu sendiri?
Mukjizat selalu hadir bukan untuk meniadakan hukum Tuhan di alam, melainkan untuk menyingkapkan wajah Tuhan yang lebih luas dari sekadar keteraturan. Alam ini ibarat buku terbuka yang setiap halamannya dapat kita baca dengan akal. Tetapi mukjizat adalah catatan kaki dari Sang Penulis, yang mengingatkan kita bahwa akal manusia hanyalah pembaca terbatas.
Dalam perspektif teologi, mukjizat bukanlah pelanggaran hukum alam, tetapi penegasan bahwa Tuhan adalah sumber dari hukum itu. Al-Ghazali pernah menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat tidak memiliki daya mutlak. Api bisa membakar, tetapi membakar karena Tuhan yang memberinya izin. Air bisa menghapus dahaga, tetapi hanya karena Tuhan menyalurkan sifat itu kepadanya. Dengan kata lain, hukum alam adalah cara Tuhan mengatur dunia sehari-hari, sedangkan mukjizat adalah saat Tuhan memperlihatkan bahwa Dialah Pemegang kendali yang sesungguhnya.
Filosofi ini seharusnya tidak membuat kita meremehkan hukum alam, melainkan semakin bersyukur atas keteraturan yang memungkinkan manusia belajar, mengolah, dan membangun peradaban. Kita bisa membuat jembatan, menemukan obat, dan mengembangkan teknologi, semuanya karena Tuhan telah meletakkan hukum-hukum yang tetap di alam. Namun pada saat yang sama, mukjizat mengingatkan bahwa peradaban tidak boleh membuat kita sombong. Ada wilayah yang tidak bisa ditembus oleh logika dan sains, wilayah yang hanya bisa dipahami dengan iman dan kerendahan hati.
Refleksi ini mengajak kita untuk tidak terjebak dalam dikotomi palsu antara iman dan akal. Hukum alam adalah ayat-ayat kauniyah, sedangkan mukjizat adalah tanda langsung dari Sang Khalik. Keduanya menuntun kita kepada satu kesadaran: manusia hanyalah pengembara kecil di tengah jagat raya, dan hanya dengan menyandarkan diri kepada-Nya perjalanan itu akan menemukan makna.
Maka, ketika kita menanam benih, bekerja keras, atau berdoa, janganlah kita melihat hukum sebab-akibat sebagai hal yang dingin dan mekanis. Lihatlah ia sebagai bentuk kasih sayang Tuhan agar manusia bisa mengerti jalannya kehidupan. Dan ketika kita membaca kisah mukjizat, jangan kita anggap sebagai pelanggaran hukum alam, melainkan sebagai bisikan lembut dari Tuhan bahwa Dia Maha Kuasa, jauh melampaui batas akal kita.
Pada akhirnya, hukum alam dan mukjizat bukanlah dua hal yang bertentangan. Keduanya adalah jendela yang berbeda untuk mengenal Tuhan. Yang satu mengajarkan kita ketekunan, yang lain menuntun kita pada kekaguman. Dan keduanya sama-sama menuntun hati agar selalu tunduk, bersyukur, dan penuh iman.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah