Dilansir dari laman republika.co.id Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Addin Jauharudin, mengecam keras aksi-aksi intoleransi yang belakangan mencuat dan mencederai nilai-nilai kebhinekaan serta persatuan bangsa.
Sejumlah peristiwa seperti pembubaran kegiatan keagamaan dan perusakan rumah ibadah di Sukabumi dan Padang menjadi sorotan utama.
Dalam peristiwa tersebut, kekerasan tidak hanya menyasar tempat ibadah, tetapi juga berdampak langsung terhadap anak-anak yang mengalami tekanan psikologis hingga luka fisik.
“Peristiwa ini menunjukkan bahwa tindakan kekerasan berbasis perbedaan keyakinan atau keagamaan masih terjadi,” ujar Addin, dalam keterangannya ke media di Jakarta, Kamis (30/7/2025).
Addin menegaskan, semua bentuk kekerasan atas dasar perbedaan agama adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dia menuntut aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap para pelaku.
Mereka harus ditindak secara hukum, karena Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana termaktub dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 1 ayat (3).
“Aparat penegak hukum harus proporsional dan transparan dalam melakukan tindakan terhadap para pelakunya, serta memastikan proses hukumnya sampai ke peradilan,” jelasnya.
Dia menambahkan, penegakan hukum yang tuntas penting untuk memberikan keadilan kepada korban sekaligus menciptakan efek jera bagi pelaku agar kejahatan serupa tidak terulang.
Lebih jauh, GP Ansor menilai pemerintah memiliki peran sentral dalam menjamin perlindungan terhadap seluruh warga negara, tanpa diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan. Addin mengingatkan, pemerintah tak boleh lemah apalagi terjebak pada dikotomi mayoritas-minoritas.
Dia mengingatkan, pemerintah harus bersikap tegas terhadap setiap tindakan yang mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Tidak ada satu pun kelompok yang berhak menghakimi, mengintimidasi, apalagi melakukan kekerasan terhadap kelompok lain hanya karena perbedaan agama atau keyakinan,” katanya.
GP Ansor juga menyerukan agar semua elemen bangsa—mulai dari tokoh agama, tokoh adat, hingga organisasi masyarakat dan keagamaan—bersatu menjaga semangat kebangsaan dan memperkuat toleransi demi menciptakan kerukunan antarumat beragama. “Negara harus hadir untuk melindungi seluruh warganya,” ujar dia.
Dia mengajak tokoh agama, tokoh adat dan organisasi kemasyarakatan, serta organisasi keagamaan mari bersama-sama untuk menjaga dan memperkuat toleransi, mewujudkan kerukunan umat beragama sehingga peristiwa-peristiwa intoleransi sebagaimana tersebut di atas, tidak terjadi lagi di Indonesia.
Sementara itu, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama (Kemenag) menyesalkan insiden pembubaran ibadah jemaat Kristen dan perusakan rumah doa di Kelurahan Gunung Pangilun, Kota Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli 2025.
Kepala PKUB Kemenag Muhammad Adib Abdushomad mengatakan kasus semacam ini menunjukkan pentingnya menjaga dan mengedepankan komunikasi lintas kelompok serta membangun kesadaran bersama dalam menyikapi keragaman agama secara damai dan bermartabat.
“Saya berharap masyarakat tidak mudah terprovokasi dan lebih mengedepankan tabayyun, musyawarah, dan dialog lintas pihak, sebagai jalan penyelesaian,” ujar Adib di Jakarta, Senin.
Menurutnya, PKUB telah berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang langsung ditindaklanjuti oleh FKUB Kota Padang dengan melakukan kunjungan ke lokasi kejadian.
Upaya ini dilakukan untuk memastikan penanganan berlangsung secara adil dan mencegah eskalasi konflik.
Menurut Adib, FKUB memiliki peran vital sebagai wadah komunikasi dan pemecah kebuntuan saat terjadi dinamika antarumat beragama. Dalam konteks Padang, kehadiran FKUB sangat diperlukan untuk menjembatani dialog antara jemaat dan warga sekitar.
“Kami mengapresiasi respons cepat FKUB di Sumbar. Namun ke depan upaya menjaga kerukunan tidak cukup hanya dilakukan setelah konflik terjadi. Yang jauh lebih penting adalah memperkuat komunikasi sejak awal,” ujarnya.
Adib mengimbau agar setiap kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di lingkungan masyarakat, terutama di lokasi yang bercampur secara keyakinan, sebaiknya didahului dengan koordinasi yang baik dengan warga sekitar.
Menurutnya, bila komunikasi antara pengurus rumah ibadah dengan masyarakat setempat berjalan terbuka dan penuh penghargaan, maka potensi kesalahpahaman yang dapat berujung konflik dapat dicegah sejak dini.
“Koordinasi bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari etika sosial dan bentuk penghormatan terhadap keberagaman. Ketika ada saling pengertian dan rasa saling percaya antara umat beragama dan warga sekitar, maka harmoni akan tumbuh dengan sendirinya,” kata dia.
PKUB menegaskan kebebasan beragama dan beribadah merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.
Oleh karena itu, lanjutnya, setiap bentuk penanganan terhadap persoalan rumah ibadah harus dilakukan melalui prosedur hukum dan jalur mediasi, bukan melalui tekanan massa atau tindakan sepihak.
“Penegakan hukum dan penguatan budaya dialog adalah dua pilar penting dalam menjaga Indonesia tetap damai dan bersatu dalam keberagaman,” ujar Adib.