dendam mantan
perceraian

Kiat Khusus Menghidari Perceraian

Dalam kajian kitab fikih klasik, thalaq (cerai), mendapatkan porsi tersediri. Diskursusnya pun cukup panjang dan detail. Menjalin hubungan keluarga yang tidak nyaman, memang ujian yang membutuhkan kesabaran ekstra.

Dalam adat walimatul ‘ursy tradisional, “ucapan selamat menempuh hidup baru” akan selalu terpajang wajib di setiap pojok dinding resepsi. Hal itu menandakan bahwa pernikahan adalah gerbang menuju kehidupan yang baru. Kehidupan yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Kehidupan penuh tantangan. Karena setiap pasangan harus mampu mengkombinasikan dari dua karakter yang berbeda, agar perbedaan itu menjadi jalan yang nikmat dijalani, menjadi arah yang semangat untuk dituju.

Hampir dipastikan setiap rumah tangga mengalami dilema pelik, yang bisa saja menjadi prahara atau racikan menu harmonisasi rumah tangga. Oleh karena itu, apapun alasannya thalaq (perceraian) bagi istri adalah duka lara yang cukup dalam. Mungkin ruju’pun takkan mampu menjadi pelipur lara.

Tindakan preventif mungkin lebih bijak bagi suami dari pada tindakan destruktif. Perumpamaannya begini, bila diruang tamu kita terdapat kotoran ayam, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, mengambil sapu lalu kotoran itu kita sapu bersih ke luar ruangan. Kedua, merobohkan rumah kita gara gara ada kotoran ayamnya.

Tentu, tindakan pertama yang lebih bijak dilakukan. Hanya karena istri tidak shalihah bukan berarti rumah tangga kita hancurkan, tapi bagaimana menemukan kiat agar istri menjadi shalihah. Bukankah Rasul mengatakan, dulu hingga kini, teramat sulit mencari wanita shalihah.. Lalu apa langkah langkah preventif yang bisa dilakukan oleh suami untuk menghindari thalaq?

Jadilah Pemimpin Keluarga Bijak

Allah berfirman

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاَللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (QS: al-Nisa’ 34).

Ayat ini menegaskan bahwa seorang suami adalah pemimpin bagi istrinya. Seseorang yang mestinya memberikan rasa aman bagi istrinya, bukan lantas mengembalikan istrinya pada perasaan kodratinya yang selalu merasa tidak aman hingga ia mendapatkan suami.

Sebagai seorang pemimpin, tentu seorang suami harus memiliki bekal dasar kepemimpinan (baca: sertifikasi nikah), salah satu bekal dasarnya adalah sabar. Sikap sabar dibutuhkan oleh suami untuk menghadapi karakter tak wajar seorang istri.

Seorang pemimpin harus juga memiliki kelebihan dari pada orang yang dipimpinnya (istri), dan itu sudah diberikan Allah ” Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)”. Apa kelebihanyang telah dianugerahkan oleh Allah kepada suami? Yaitu kesempatan yang luas untuk mencari nafkah istri. Kelebihan ini diberikan Allah dengan tujuan agar suami mampu menunjukkan jalan keshalihan kepada istrinya.

Bagaimana tipe istri shalihah? Setidaknya ayat ini menjelas dua tipe istri shalihah. Pertama, wanita yang taat akan perintah Allah (wanita agamis yang teguh terhadap ajaran ajaran agama (baca: kiat memilih pasangan ideal). Kedua, mampu menjaga kehormatan keluarga utamanya marwah suami saat suami tak ada di dekatnya.

Langkah Preventif

Lalu bagaimana jika mendapatkan istri nusyuz (tidak shalihah),ada gejala tak wajar pada istri, hingga terlintas dalam pikiran suami untuk thalaq. Ada empat langkah yang bisa dilakukan suami bila sudah tidak mampu bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan. Pertama, memberikan nasehat kepada istri dengan mau’idhah yang hasanah (baik). Ibn ‘Arabi mengatakan, mau’idhah ini sebenarnya dimaksudkan oleh al-Qur’an, dengan membangun komunikasi yang apik dengan istri untuk mengarahkan istri pada karakter sesuai yang diinginkan oleh Allah, yaitu taat pada perintah Allah dan perintah suami. Apapun bentuk nasehatnya bila tidak dikomunikasikan dengan baik, maka, hasilnyapun tidak akan baik, alias percuma. Ahkam al-qur’an, Ibn ‘arabi, 2/337

Kedua, bila nasehat tidak juga diindahkan, maka pisah ranjang (hajar), dan jangan tegur sapa maksimal jangan melebihi tiga hari. Karena menurut Ibn al-Mundzir al-Nisaburi, membiarkan istri tidur sendiri dan menelantarkannya dalam komunikasi, merupakan ujian dan siksaan terberat dan paling menyakitkan, hingga istri dalam kondisi seperti ini akan mampu introspeksi diri, merenung sehingga ia mampu menemukan pribadinya yang keliru. Tafsir al-Qur’an, Ibn al-Mundzir, 2/690.

Ketiga, bila kedua langkah ini masih saja menemukan jalan buntu, maka suami bisa melakukan sentuhan pukulan ringan. Al-Baqillani memberikan standarisasi memukul istri ini dengan pukulan yang tidak terkesan mengumbar kemarahan dan kebencian, tetapi pukulan yang memang bersumber dari kasih saying, hingga pukulan itu tidak membuatnya cidera dan tidak dinilai KDRT. I’jaz al-Qur’an, 1/382.

Keempat. Mengirimkan konsultan (hakam) yang mampu memilih jalur tengah. Tidak memihak salah satu keluarga. Karena terkadang bila hidayah tidak mampu didapatkan dari suami, terkadang hidayah itu hadir dari orang lain (konsultan).

Tidak ada salahnya suami melakukan langkah preventif ketimbang langkah destruktif, demi keutuhan sebuah hubungan, dan masa depan keluarga, karena perceraian hanya akan menyisakan lara dan trauma bagi anak anak dan wanita.

Oleh karena itu agama sangat membenci perceraian.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ الطَّلاَقُ.

Dari Ibn Umar ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda: “perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah perceraian. Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, 7/322

Kenapa kok sangat dibenci Allah? Syaikh al-Dimyathi memberikan penjelasan, Karena dengan perceraian, menunjukkan betapa kerdilnya dan sempitnya hati dan pikiran suami. Dan hal yang tidak bidsa dibantah adalah bahwa perceraian hanya akan membuat luka dihati istri dan anak anak. Anak anak akan kehilangan kasih saying seorang ayah. Inilah alasan kenapa thalaq (cerai) sangat dibenci agama. Semestinya, ini pulalah yang harus menjadi bahan pertimbangan bagi pasangan yang berencana cerai, termasuk juga Ustadz Abdus Somad. I’anah al-Thalibin, 4/7

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …