ladang jihad di tengah pandemi
ladang jihad di tengah pandemi

Ladang Jihad dan Para Mujahid Baru di tengah Pandemi

Jika jihad hanya bermakna perang maka ladang itu sangat sempit apalagi dalam konteks kekinian. Ternyata, di tengah pandemi banyak jalan jihad dan menjadi mujahid. Apa itu?


Salah satu ajaran Islam yang sangat penting, tetapi juga sering disalahartikan adalah jihad fi sabilillah. Banyak kalangan non-muslim melihat ibadah ini dari kacamata yang prejudice dan negatif akibat kesalahan ekspresi sebagian kecil umat Islam dalam mempraktekkan doktrin ini.

Jihad seringkali hanya dimaknai secara sempit dalam perjuangan fisik, perang. Jihad dalam bentuk ini tentu menjadi ekspresi yang tidak ada lagi ada celah untuk melaksanakannya dalam konteks kekinian. Hal tersebut seiring dengan telah berkembangnya konsep HAM dan negara bangsa yang menjadikan perang sebagai kejahatan dan terlarang.

Kenyataan di atas melahirkan pendapat sejumlah aktivis Islam yang melakukan gerakan jihad dengan alasan yang tidak dibenarkan agama. Mereka yang terpapar gerakan radikalisme menganggap doktrin jihad dalam arti kekerasan adalah inti ajaran dalam memperjuangkan cita-citanya.

Pengakuan di atas terungkap dari beberapa testimoni mantan pelaku yang sudah insaf atas gerakan teror yang dilakukan. Mereka tidak sadar korban jiwa, harta dan benda selalu berada di sekeliling setiap aksi teror yang dilakukan atas nama jihad.

Kenapa jihad harus merenggut korban? Tidakkah ada jihad yang justru menghidupkan, menyelematkan dan menjaga kehidupan? Bukankah sejatinya perang yang dilakukan Rasulullah berarti demi menjaga perdamaian dan kehidupan.

Maraih Jalan Lain yang Diganjar Gelar Syahid

Sepertinya ladang jihad tidak sempit dan jihad harus diarahkan untuk merawat kehidupan, bukan merayakan kematian. Dalam konteks ini, Indonesia di tengah pandemi covid-19 sejatinya adalah ladang jihad. Bagaimana menjadikan pandemi ini sebagai medan jihad?

Kegiatan berjuang melawan pandemi dan bahkan mati karena perjuangan dalam menghadapinya adalah bagian dari jihad di era kekinian. Betapa tidak, korban pandemi wabah ini secara global sudah mencapai 3,6 juta terinfeksi dan 251 ribu di antaranya meninggal dunia. Data tersebut diambil dari https://www.worldometers.info/coronavirus/ pada jam 04.00 tanggal 5 Mei 2020. Data di atas termasuk data kasus yang terjadi di Indonesia yang meninggal sekitar 800 orang.

Fenomena kejadian luar biasa ini harus menumbukan semangat jihad dalam diri umat Islam. Muhammad saw dalam suatu hadist menjelaskan jika seandainya jihad hanya di medan perang niscaya yang mendapatkan mati syahid terbatas. Kemudian Nabi saw. menjelaskan meninggalnya orang yang kena penyakit yang sedang mewabah adalah juga mati syahid. Hadis ini melengkapi hadis lain yang menjelaskan bahwa meninggalnya orang yang terkena musibah lain seperti banjir atau menjaga diri, harta dan bendanya juga menjadi mati syahid.

Atas dasar hadis di atas, jihad yang dilakukan oleh para medis yang menangani korban di garda depan seperti di rumah sakit adalah sesuatu yang penuh resiko. Setidaknya dalam penanganan wabah ini mereka juga menjadi korban yang tidak sedikit jumlahnya.

Syarat dan Tingkatan Syahid di tengah Pandemi

Pahala mati syahid  bagi umat Islam yang terkena musibah wabah tha’un dijelaskan dengan hadis sebagai berikut:

لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ “

Hadis di atas menjelaskan tentang pahala syahid bagi penderitanya. Mereka yang terkena dan memilih bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala dan mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah menakdirkannya kepadanya, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid.  Hadis tersebut diriwayatkan Imam  Bukhari  dengan hadis no. 5288.

Hadis di atas kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh ulama penyarah hadist terkenal Kitab Sahih Bukhari yakni Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bary. Beliau menjelaskan tiga syarat di mana untuk mendapatkan pahala tersebut. Ketiga syarat tersebut adalah 1) korban berada di zonanya sendiri, 2) korban juga tidak keluar zonanya karena takut dan menghindar dari wabah dan 3) menghadapi tha’un dengan kesabaran dan tawakal bahwa segala apa yang menimpa atas ketentuan Allah swt.

Tiga syarat di atas kemudian mendorong ulama hadis membagi tingakatan dalam mendapatkan pahala mati syahid karena wabah corona. Tingkatan pahala syahid pun berbeda-beda. Tingkatan paling tinggi adalah orang yang memenuhi tiga syarat di atas dan dia meninggal dunia akibat  wabah tersebut. Mereka ini antara lain dokter yang sedang bertugas dan pasien yang ditanganinya.

Tingkatan kedua adalah orang yang memenuhi syarat di atas dan dia terkena wabah tha’un, namun tidak sampai meninggal akibatnya. Mereka ini adalah para pekerja yang secara tidak langsung memberikan dana dan kelebihan lainnya untuk membantu mereka yang terkena musibah. 

Tingkatan ketiga, adalah orang yang memenuhi syarat di atas dan dia tidak terkena tha’un terlebih mati. Mereka ini yang masuk dalam kategori ini ikut mensukseskan dengan tinggal di rumah saja atau dikenal kaum rebahan. Sehingga dalam hal ini mereka yang berpartisipasi mampu menekan penyebaran wabah ini.

Mari jadikan pandemi sebagai ladang mencari pahala jihad dengan tingkatan yang bisa kita lakukan masing-masing.

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga

Dosen Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Yogyakarta, Ketua Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA)

Check Also

puasa dzulhijjah

Keutamaan dan Amalan 10 Hari Bulan Dzulhijjah

Terdapat beragam kemuliaan yang tidak saja selama 10 hari di bulan dzulhijah

haji 2020

Menyelami Ritual dan Makna Ibadah Haji dan Kurban

Setelah berjalan bulan Ramadhan dan Syawal, terdapat ibadah yang penting dalam ajaran Islam yang termasuk …