Kehidupan saat ini sudah menampilkan pola hidup yang cepat, instan, tak terbatas dan penuh dengan euforia materialistik. Meraih kesuksesan disambut gelak tawa, sementara yang selalu mengalami kegagalan tidak mampu berbuat apa-apa. Depresi, stress, dan penyakit mental lainnya mudah muncul akibat keinginan untuk menjadi seperti yang lain.
Rasanya, ada pola hidup yang semestinya harus segera diperbaiki. Manusia tidak harus selalu berpacu, tetapi berhenti sejenak merehatkan pikiran dan hati. Inilah pentingnya sikap zuhud. Apa itu zuhud? Bukannya zuhud berarti kumuh, lusuh dan tidak sesuai dengan zaman kekinian?
Saya ingin pertegas, justru zuhud adalah obat mujarab menghadapi kondisi kehidupan saat ini.
Banyak orang salah mengartikan bahwa orang zuhud merupakan sikap meninggalkan harta dunianya. Jika ingin menjadi zuhud seseorang yang kaya harus meninggalkan harta dunianya dengan hidup miskin, harus meninggalkan pekerjaan dan hanya beribadah kepada Allah. Lantas benarkah anggapan ini?
Meninggalkan harta benda yang mereka miliki dan hidup serba kekurangan bukanlah hal yang disenangi Allah. Karena pada dasarnya mencukupi kebutuhan keluarga lebih penting di bandingkan memuliakan orang lain.
Zuhud adalah Konsep Keseimbangan
Makna zuhud yang sebenarnya adalah membebaskan diri dan hati dari ketergantungan terhadap dunia. Dunia dan materi dicari, tetapi ia tidak mengikat dan mengungkung hati manusia. Zuhud adalah menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Di sinilah harus dipahami bahwa zuhud melepaskan hati dari rasa ketergantungan terhadap dunia. Orang selalu khawatir dunianya akan hilang, rejekinya hilang, pekerjaannya hilang dan semuanya. Itu kondisi seseorang diperbudak oleh dunia. Akibatnya dia lupa dengan urusan akhirat.
Tetapi, sikap berlebihan dalam beribadah untuk akhirat juga tidak dibenarkan dalam Islam. Orang yang mengabaikan tubuhnya, keluarganya dan kepentingan dunianya dengan berlebihan beribadah juga bukan sikap zuhud.
“Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.” Demikian pernyataan Abu Darda’ ketika menasehati Sahabatnya, Salman yang dibenarkan oleh Rasulullah.
Tingkatan Zuhud
Lalu, bagaimana seharusnya zuhud? Imam al Ghazali dalam “Ikhtisar Ihya Ulumiddin” mengatakan zuhud memiliki tiga tingkatan :
Pertama, Tidak terpengaruh oleh keberadaan dan ketiadaan harta.
Maksudnya adalah dengan tidak merasa gembira ketika memiliki sesuatu yang wujud seperti harta dan tahta. Dan dengan tidak merasa larut dalam kesedihan ketika kehilangan harta yang sebelumnya sempat dimiliki.
“Tanda pertama, tidak berbangga ketika berada dan tidak bersedih ketika tiada harta sebagaimana firman Allah, ‘Agar kalian tidak putus asa atas harta yang luput dan tidak berbangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian,’ (Surat Al-Hadid ayat 23),” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin)
Kedua, Tidak terpengaruh karena pujian atau hinaan.
Seorang yang zuhud akan mampu memalingkan dirinya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya terlena dan menjauhkannya dari sisi Allah, termasuk hinaan dan pujian. Jika seseorang tak lagi terpengaruh dengan hinaan atau pujian dari manusia lainnya, maka hidupnya semata hanya karena Allah.
Az-Zabidi dalam Kitab “Ithafus Sadatil Muttaqin Syarah Kitab Ihya Ulumiddin” mengatakan, orang yang zuhud di dunia bukan orang yang mengharamkan bagi dirinya apa saja yang halal dan menyia-nyiakan harta duniawi. Orang yang zuhud adalah orang yang mengganggap sama dengan siapa saja yang memuji dan menghinanya. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatin Muttaqin)
Ketiga, terhibur atau senang dengan Allah SWT.
Seorang zuhud akan merasa senang dan nyaman dengan berada di sisi Allah dalam beribadah. “Tanda ketiga, senang dengan Allah yang ditandai dengan kenikmatan ibadah dalam hatinya,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M: IV/252).
Yang harus diketahui bahwa, mencintai dunia dan mencintai Allah sekaligus dalam satu hati tidak mungkin terjadi, karena menurut Imam al-Ghazali ibarat udara dan air yang berada dalam satu wadah. Bila air masuk, maka udara dalam wadah akan keluar karena keduanya takkan tertampung dalam satu wadah.
Memiliki sifat dan sikap zuhud saat ini sangat dibutuhkan. Manusia agar tidak mudah terbawa arus kehidupan yang dipacu cepat. Media sosial memamerkan segalanya, seolah kesuksesan adalah tentang dipuji dan di-like orang lain. Semuanya membuat diri kita tergantung sama dunia dan orang lain.
Zuhud mengajarkan kita untuk selalu menjaga hati agar tidak tergantung pada dunia dengan isi cacian dan pujiannya. Tetapi, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, hanya menyadari bahwa dunia hanya hiasan yang tidak abadi. Kita tidak boleh silau dengan dunia, tetapi juga tidak boleh menghindarinya.
Allah berfirman : Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS : Al Qasas 77).
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah