tawasul

Meluruskan Kesalahpahaman tentang Tawasul: Jangan Asal Syirik Ya

Perdebatan mengenai tawasul sebenarnya bukan masalah baru. Namun, ia kerap kali mencuat dan mengusik masyarakat, terutama di wilayah yang awalnya tenang, tetapi proses infiltrasi pemahaman Salafi-Wahabi muncul. Benar saja, tudingan itu sedikit mengguncang masyarakat dengan menganggap tawasul adalah bentuk  kesyirikan.

Klaim paling sunnah dan paling murni mengikuti ajaran salaf menjadi modal kelompok ini. Sebagian kecil masyarakat mulai goyah dan mempertanyakan. “Jangan-jangan benar kata ustadz sunnah itu?” Begitu lah gumam hati mereka.

Lalu, polarisasi kecil pun mulai muncul di tengah masyarakat yang awalnya tenang, guyub dan saling menghormati. Mereka mulai menutup pintu rumahnya ketika acara tertentu diselenggarakan yang menurut “panutan baru” mereka dianggap syirik.

Gambaran ini hanya bagian kecil dari riak masyarakat di berbagai pelosok yang mulai kedatangan panutan baru yang mereka anggap ustadz paling sunnah. Pembelahan terjadi, dari sekedar persoalan khilafiyah urusan agama, berujung pada labelisasi in dan out group. Ya sederhananya, label itu berbunyi : ahlu bid’ah dan ahlu sunnah.

Tentu pertanyaannya, apakah Islam yang pernah sukses mempersaudarakan golongan muhajirin dan anshar dan mempersatukan perbedaan kesukuan di Madinah saat ini justru dijadikan alat pemecah belah persaudaraan di pedesaan dan perkotaan?

Oke, berarti ada yang salah. Bukan Islamnya, tetapi muslimnya yang harus dievaluasi. Kita patut bertanya, apakah praktik tawasul yang dianggap syirik oleh “panutan baru” masyarakat itu tidak pernah dipraktikkan generasi awal umat Islam? Apakah tawasul yang dipraktekan turun menurun masyarakat bertentangan dengan dalil?

Perdebatan lama, tetapi menarik sebenarnya untuk diurai agar masyarakat tidak mudah terpecah belah karena urusan khilafiyah. Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki, seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jamaah dari Makkah pernah menulis kitab khusus berjudul Mafahim Yajibu an Tusahhah (“Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan”).

Tawasul Sama dengan Syirik?

Buku ini secara tegas membantah anggapan keliru terhadap berbagai aspek akidah dan amaliah umat Islam, termasuk praktik tawasul. Salah satu poin pokok yang ditekankan Sayyid al-Maliki adalah bahwa tawasul tidak identik dengan syirik.

Tawasul adalah upaya seorang hamba yang merasa tidak layak atau belum cukup dekat dengan Allah, lalu memohon kepada-Nya dengan menyebut sesuatu yang mulia di sisi-Nya: bisa berupa Nabi Muhammad ﷺ, para wali, atau amal saleh. Tawasul adalah bentuk permohonan kepada Allah, bukan penyembahan terhadap makhluk.Penyamaan antara tawasul dengan syirik adalah sebuah penyimpangan besar dalam logika dan pemahaman agama.

Tetapi, kelompok paling sunnah dan panutan baru masyarakat itu pasti punya dalil dong? Tentu saja mereka punya. Dalam surah Az-Zumar ayat 3, disebutkan ucapan kaum musyrik: “Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.

Ayat ini sering digunakan oleh kelompok yang menolak tawasul. Namun Sayyid al-Maliki menegaskan bahwa konteks ayat tersebut adalah penyembahan terhadap berhala sebagai sesembahan selain Allah. Adapun dalam tawasul, seorang Muslim tetap berdoa hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk.

“Dan sekiranya mereka ketika menzalimi diri mereka datang kepadamu (wahai Muhammad), lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 64)

Ayat ini, menurut Sayyid al-Maliki, adalah salah satu dalil kuat tentang dibolehkannya mendekat kepada Allah melalui Nabi-Nya. Maka tudingan bahwa tawasul adalah bentuk kesyirikan tidak hanya tidak berdasar, tetapi juga bertentangan dengan kasih sayang yang menjadi inti ajaran Islam.

Apa Sandaran Dalilnya?

Dalam kitab Mafahim Yajibu an Tusahhah, Sayyid al-Maliki  mengutip hadis sahih sebagai penguat. Salah satunya adalah kisah tiga orang dari Bani Israil yang terperangkap di dalam gua. Masing-masing dari mereka bertawasul kepada Allah dengan amal saleh mereka—bukan dengan doa semata. Hadis ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Selain itu, dalam riwayat yang sahih, disebutkan bahwa sahabat Umar bin Khattab bertawasul kepada Allah melalui paman Nabi, Abbas bin Abdul Muththalib, saat meminta hujan (istisqa’). Ini menunjukkan bahwa para sahabat sendiri mengamalkan tawasul, baik kepada Nabi semasa hidupnya maupun setelah wafatnya.

Jadi, tawasul bukan hanya dibenarkan secara dalil, tetapi juga dipraktekkan para sahabat? Betul, selain itu secara spiritual, tawasul mengajarkan nilai kerendahan hati dan pengakuan akan kelemahan manusia. Seorang yang bertawasul menyadari bahwa dirinya penuh kekurangan, dan karena itu ia berharap kepada Allah melalui keberkahan orang-orang saleh dan kekasih-Nya.

Dengan cara ini, tawasul bukan bentuk pengkultusan, melainkan bentuk adab dan pengakuan terhadap keutamaan para nabi dan wali di sisi Allah. Sebagaimana kita biasa meminta doa dari orang saleh saat hidup, demikian pula kita bertawasul kepada mereka yang telah wafat—dengan keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang memberi.

Bagaimana Menghadapi Vonis Syirik di Tengah Masyarakat?

Lahirnya vonis-vonis mudah yang menghukumi mayoritas umat Islam sebagai pelaku syirik hanya karena mengamalkan tawasul, tabarruk, dan ziarah kubur, tidak hanya gagal secara dalil tetapi juga menimbulkan mafsadat besar di tengah umat. Vonis semacam ini justru bertentangan dengan cara sunnah yang mempersatukan umat.

Kenapa memvonis syirik tawasul dapat memecah belah umat? Jawabannya sederhana, menyerang tawasul berarti menyerang tradisi keagamaan umat Islam yang bersifat kolektif dan telah menjadi bagian dari spiritualitas Sunni selama berabad-abad.

Tawasul bukan hal baru, tradisi keagamaan ini memiliki akar dari para sahabat dan masa tabi’in hingga para ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Subki, dan banyak lagi. Memvonis tawasul syirik sama halnya menghamiki secara serampangan terhadap warisan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang telah mengakar.

Jadi, jika di tengah masyarakat ada klaim dan vonis seperti itu dari paham yang baru datang di tengah masyarakat, tokoh masyarakat harus turun tangan sebelum masyarakat terpecah belah dan main hakim sendiri. Jika alasan kedatangan mereka adalah untuk dakwah kebaikan, tetapi berpotensi memecah belah, sejatinya menghindari kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan.

Tidak memberikan panggung pada ustadz baru di tengah masyarakat yang tenang bukan bentuk menghalangi dakwah, tetapi menghindari perpecahan masyarakat akibat dakwah yang cenderung bernuansa sekterian. Alasan cukup jelas, menghindari kerusakan dan perpecahan itu harus didahulukan, dari pada mencari kebaikan.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Bincang Jurnal

Perkuat Literasi dan Iman Untuk Bendung Penyebaran Radikalisme di Media Baru

Purwokerto — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan …

KH Maruf Amin dan Menteri Wakaf Suriah

Ma’ruf Amin Bertemua Menteri Wakaf Suriah Bahas Kolaborasi Keilmuan dan Kedamaian Dunia Islam

Jakarta — Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, menerima kunjungan kehormatan …