pengertian kafir
politik kafir

Memahami Hakikat Kafir (2) : Tak Ada Satu Dosa Pun yang Mengakibatkan Kufur

Fiqh sebagaimana, merupakan kumpulan-kumpulan hukum syar’i yang menyoroti terhadap setiap tindakan orang mukallaf dengan pendekatan ijtihadi. Makna ijtihadi di sini artinya memperoleh produk hukum ditetapkan berdasarkan jerih pemikiran individu dengan pendekatan dalil-dalil sebagai akibat ketidak jelasan makna dari nash-nash syar’i. Jelas, hasil yang diperoleh berdasarkan hasil ijtihadi akan berpotensi terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama sendiri. Sebab itu Fiqh identik dengan persoalan khilafiyah.

Beda halnya dengan hukum yang diperoleh dari nash-nash qat’i, seperti kewajiban berpuasa di bulan Ramadlan, shalat lima waktu, membayar zakat adalah ranah-ranah hukum yang tidak memungkinkan terjadinya khilafiyah. Sebab itu, sebagian ulama’ menganggap yang demikian tidak termasuk kategori Fiqh.

Imam al Mahalli, dalam kitabnya Syarh al Waraqat ketika membahas definisi Fiqh, ia mengatakan: “Fiqh adalah mengetahui hukum syar’i yang diperoleh dengan cara ijtihad, seperti berniat dalam wudhu’, mentigakalikan basuhan hukumnya sunnah, niat di waktu malam merupakan syarat sah puasa ramadlan, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang terdapat perbedaan pendaat di kalangan ulama’. Berbeda dengan yang bersifat qat’i (pasti benar), maka tidak disebut Fiqh”[1].

Apa yang dikatakan Imam al Mahalli ini menunjukkan bahwa Fiqh pasti ijtihadi, dan setiap yang bersifat ijtihadi pasti terjadi khilafiyah (perbedaan pendapat). Sebab itu, kebenaran dalam Fiqh bukanlah kebenaran mutlak tetapi kebenaran secara kemungkinan saja. Sehingga tidak baik mengatakan kafir kepada seseorang hanya karena melakukan perbuatan-perbuatan yang kebenaran hukumnya belum tentu benar.

Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini tidak ada satu hukum pun yang berakibat kufur. Apapun dosa yang dilakukan oleh seseorang selama ia meyakini Allah swt adalah Tuhan dan Nabi Muhammad saw adalah utusan_Nya masih tetap berstatus muslim. Sebab itu, dalam madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal uangkapan:

لَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ

Artinya: “Kami tidak menghukumi kafir terhadap siapapun yang shalatnya menghadap kiblat karena melakukan dosa”

Ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat selama keimanan masih melekat dalam dada seseorang orang, maka ia masih muslim, sekalipun telah melakukan perbuatan dosa besar berkali-kali. Ini karena, Fiqh yang merupakan kumpulan hukum-hukum syar’i bersifat ijtihadi, bukan qat’i. Sehingga mengingkari produk hukum yang diperoleh berdasarkan kemungkinan benar (ijtihadi) tidak berefek hukum kafir.

Ini dibuktikan bagaimana para ulama’Syafiiyah, misal, yang tidak mengkafirkan madzhab Hanafiyah karena mereka mengingkari wajibnya niat dalam wudhu’. Begitu juga imam Malik yang mengingkari Basmalah bagian dari surat al Fatihah, imam Syafi’i tidak berani menghukumi gurunya tersebut telah kafir karena pengingkarannya itu. Mengapa demikian ? Karena mereka orang-orang cerdas yang berilmu sehingga paham betul bagaimana mana menempatkan pengyataan kafir kepada persoalan khilafiyah adalah tindakan keliru. Inilah tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang tidak senang dengan menvonis kafir terhadap erilaku-perilaku yang mengandung khilafiyah.

Syeikh Muhammad bin Hasan al Syaibani ketika menta’lik kitab al Muwattha’ , memberikan catatan kaki tentang hadits: “Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya dengan ungkapan kafir, maka kekafiran tersebut akan kembali kepada salah satunya”, ia dengan komentar:

لا يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الإِسْلامِ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الإِسْلامِ بِذَنْبٍ أَذْنَبَهُ بِكُفْرٍ، وَإِنْ عَظُمَ جُرْمُهُ

Artinya: “Tidak sepantasnya orang beragama Islam memberikan persaksian untuk orang Islam lainnya dengan kafir karena perbuatan dosa yang telah dilakukannya, sekalipun dosa tersebut begitu berat”[2]

Menurut al Qurtubi, Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat tidak mengkafirkan siapapun yang shalatnya menghadap kiblat sekalipun ia telah melakukan perbuatan dosa besar. Kecuali orang tersebut melakukan perbuatan yang secara ijma’ telah dihukumi kafir[3]. Seperti mengingkari kewajiban berpuasa, mengingkari sifat-sifat Allah swt yang sudah termaktub dalam al Qur’an. Lebih dari itu, maka tidak ada satu dosa pun yang menggiring seseorang terjerumus ke dalam jurang kekafiran.

Dari paparan di atas, ada dua kesimpulan yang dapat kita petik; Pertama, Hukum yang diperoleh dari ijtihad tidak akan menyebabkan hukum kafir, karena kebenaran yang diperoleh dari ijtihad tidak bersifat qat’i melainkan dzonny (praduga). Kedua, konsekwensi dari kesimpulan pertama, memberikan kesimpulan lain bahwa tidak ada satu hukum yang dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir sekalipun dosa besar. Sebab ranah kafir tidak berkaitan dengan masalah perilaku mukallaf tetapi keyakinan mukallaf.

Wallahua’lam


[1] Al Mahalli, Syarh al Waraqat, Hal 3

[2] Malik bin Anas, al Muwattha’, Hal 325

[3] Al Qurtubi, Tamhid Lima Fi al Muwattha’, Juz 17, Hal 22

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

membaca al-quran

Membaca Al Qur’an di Kuburan Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah

Di antara tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu melakukan ziarah kubur. Bahkan menurut Ibn Hazm sebagaimana …

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …