reuni 212
reuni

Membaca Reuni 212 : Panggung Menguji Soliditas dan Kuantitas

Berawal dari sejumlah aksi menuntut penistaan agama yang dilakukan oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau yang akrab disapa Ahok, 212 menjadi gerakan sosial politik-keagamaan yang selalu dirawat oleh tokoh dan pengikutnya. Momentum bertemunya beberapa lapisan organisasi keagamaan dan masyarakat bawah menjadi modal yang sejatinya ingin terus dibina oleh gerakan ini. Tentu merupakan modal sosial-politik yang sangat bagus untuk masa mendatang.

Di masa keemasannya, gerakan ini bukan hanya menghantarkan Ahok ke jeruji besi, tetapi tanpa harus malu dikatakan sebagai salah satu kekuatan politik penting yang menghantarkan Anis Baswedan sebagai Gubernur Jakarta. Era keemasan inilah yang terus ingin dilanjutkan oleh gerakan ini merambah ke berbagai sektor tidak hanya politik, tetapi pangsa pasar ekonomi. Muncullah 212 Mart.

Gerakan ini terus mengalami euforia dan seolah menjadi satu-satunya gerakan ormas keagamaan yang besar di negeri ini. Lahir di jalanan dan memanfaatkan militansi masyarakat yang minim informasi menjadi daya dorong yang terus berkembang. Mereka semakin kokoh dan menjadi entitas kekuatan politik hingga menjelang Pemilu 2019. Siapapun yang berada di kubu ini seakan menjadi pemenangnya.

Perjuangan mereka dengan takbir tidak bisa melawan takdir. Kekalahan calon yang diusungnya meskipun dengan senjata Ijtima’ Ulama 212 yang berjilid-jilid tidak mampu melawan takdir kekalahan. Dalam kontestasi besar nasional mereka seakan tersadarkan bahwa Indonesia bukan sekedar Jakarta. Ujian berat mulai berdatangan.

Beberapa tokoh dan ormas yang pernah berada di balik ini mulai berguguran. Sebagian sedang berurusan dengan hukum, sebagian lagi menyeberang ke afiliasi politik yang lain. Dan tidak lupa kekuatan besar ormas seperti FPI dan HTI resmi dibubarkan. Tokoh sentral HRS yang sempat menikmati euforia saat kepulangannya dengan sambutan lautan massa harus berdiam diri di balik jeruji.

Kini, 212 sebagai bagian gerakan sosial politik keagamaan terus ingin dilihat dan diperhitungkan. Reuni 212 menjadi panggung bagi kekuatan tersisa untuk menguji soliditas dan kuantitas pendukung sekaligus simpatisan yang masih tersisa. Sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan sejatinya gerakan ini memang tidak layak diteruskan. Namun, sebagai gerakan sosial politik 212 adalah modal penting.

Tentu saja, reuni 212 harus dilihat dalam kacamata merawat konstituen secara politik. Reuni ini adalah bagian dari melihat modal electoral yang suatu saat bisa dinegosiasikan dalam konteks kontestasi politik lokal dan nasional. Bagi para penikmat politik reuni 212 adalah bagian penting yang harus dilihat. Tidak ada misi sosial keagamaan yang bisa dilihat kecuali jika dalil persaudaraan yang dijadikan alat untuk tetap menjaga soliditas dan kuantitas.

Tetapi, pada akhirnya masyarakat yang akan menilai. Apakah Reuni 212 sebagai sebuah ibadah atau bid’ah? Atau Reuni ini lebih pada memperkuat persaudaraan atau sekedar uji coba kekuatan politik elektoral lokal dan nasional dengan dalil agama di masa mendatang?

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …