Kekuasaan kehakiman memegang peran penting dalam menciptakan keadilan dan menjaga ketertiban di tengah masyarakat. Dalam Islam, prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman tidak hanya diatur dalam Al-Quran, tetapi juga dipraktikkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW, yang berperan sebagai hakim pertama dalam sejarah Islam.
Salah satu kisah penting yang mengilustrasikan nilai-nilai ini adalah Hadits Muadz bin Jabal, di mana Nabi mengajarkan Muadz tentang cara membuat keputusan hukum saat ditugaskan ke Yaman. “Ketika Rasulullah SAW hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya: ‘Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadamu?’ Muadz menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan Kitab Allah (Al-Quran).’ Rasulullah bertanya lagi: ‘Jika engkau tidak menemukannya dalam Kitab Allah?’ Muadz menjawab: ‘Dengan Sunnah Rasulullah SAW.’ Rasulullah bertanya lagi: ‘Jika engkau tidak menemukannya dalam Sunnah Rasulullah dan juga tidak dalam Kitab Allah?’ Muadz menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan berbuat gegabah.’ Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk sesuatu yang membuat Rasulullah ridha.” (Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits ini memberikan panduan tentang penegakan hukum dan keadilan, mulai dari sumber hukum yang digunakan hingga tanggung jawab hakim untuk memberikan keputusan yang adil. Nilai-nilai yang terkandung dalam hadits diatas memiliki keterkaitan kuat dengan konsep kekuasaan kehakiman modern, termasuk yang diterapkan dalam sistem peradilan di Indonesia, yang juga berfokus pada keadilan dan kemandirian hakim. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam hadist diatas dapat digunakan untuk memahami nilai-nilai kekuasaan kehakiman, yang juga diaplikasikan dalam konteks hukum modern, seperti sistem peradilan di Indonesia.
Dalam struktur pemerintahan, kekuasaan kehakiman berfungsi menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan ini berdiri sendiri dan bebas dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan, Indonesia menetapkan sistem kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik. Dari hadist diatas dapat ditekankan tiga prinsi[ utama dalam hadist diatas.
Pertama, Putusan Berdasarkan Hukum yang Jelas.
Muadz menyatakan bahwa ketika menghadapi suatu perkara, ia akan merujuk kepada Al-Quran terlebih dahulu, kemudian Sunnah Rasulullah SAW, dan jika keduanya tidak menyediakan solusi langsung, ia akan menggunakan ijtihad, yaitu kemampuan berpikir kritis untuk menemukan jalan keluar. Prinsip ini menekankan pentingnya dasar hukum yang jelas sebelum hakim memutuskan perkara. Di Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 50 UU Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa setiap putusan harus memiliki dasar hukum dan alasan yang jelas.
Kedua, Hakim yang Paling Menguasai Hukum.
Dalam percakapannya dengan Rasulullah, Muadz menegaskan bahwa ia akan mengupayakan putusan terbaik berdasarkan pemahaman hukum yang ia miliki. Asas Ius Curia Novit menuntut agar seorang hakim harus paling memahami hukum dibandingkan para pihak yang terlibat. Di Indonesia, Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan hakim untuk memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga keputusan yang diambil dapat mencerminkan keadilan yang sejati.
Ketiga, Kewajiban Memutuskan Perkara, Bukan Menolaknya.
Muadz juga menunjukkan bahwa ia tidak akan meninggalkan perkara tanpa putusan. Hal ini sejalan dengan Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, yang menyatakan bahwa seorang hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara meski aturan tertulis kurang lengkap atau tidak ada. Dengan demikian, hakim didorong untuk melakukan penalaran hukum sendiri untuk mencapai keadilan.
Nilai-nilai kekuasaan kehakiman yang terkandung dalam Hadits Muadz bin Jabal memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya dasar hukum, pemahaman mendalam dari seorang hakim, dan komitmen untuk menyelesaikan perkara dengan adil. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan sistem hukum di Indonesia, di mana hakim diamanatkan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum dan keadilan, serta diharapkan memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang hukum yang berlaku. Hadits Muadz bin Jabal memberikan landasan filosofis dan etis yang mendalam bagi kekuasaan kehakiman, menjadikannya relevan tidak hanya dalam konteks Islam tetapi juga sebagai panduan dalam mewujudkan sistem hukum yang adil dan berintegritas di Indonesia.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah