sejarah maulid nabi
sejarah maulid nabi

Menguji Kualitas Hadits “Man Addzoma Maulidi”

Dalam salah satu kitabnya, Syaikh An Nawawi al Jawi menulis hadits:

مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Barangsiapa yang mengagungkan hari kelahiranku, maka aku akan memberikan syafaat kepadanya di hari kiamat nanti”

Hadits ini tidak jarang dikutip oleh para da’i-da’i ketika bulan Maulid sudah tiba, sebagai dalil keutamaan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Namun apakah benar hadits ini datang dari Nabi Muhammad saw ?

Ini yang menjadi perdebatan di kalangan cendekiawan muslim belakangan ini, di mana Wahhabi mengklaim da’i yang membolehkan perayaan Nabi saw dengan hadits ini menggolongkan kepada ahlunnar (ahli neraka) karena telah berdusta atas nama Nabi saw. Sebab hadits di atas termasuk hadits maudhu’.

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Artinya: “Barangsiapa yang berdusta atasnama aku secara sengaja, maka ambillah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan lainnya)

Dalam satu sisi apa yang disampaikan oleh Wahhabi benar juga, sebab hadits tersebut memang tidak tercantum dalam kitab-kitab mu’tabarah Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan ulama’-ulama’ hadits mutaqaddimin tidak banyak membahas hadits ini. Dari aspek sanadnya juga tidak ditemukan, hadits ini datang dari jalur siapa. Ini salah satu bukti bahwa hadits tersebut adalah maudhu’ (palsu).

Pernyataan Wahhabi di atas juga didukung oleh beberapa ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya seperti Syaikh Isma’il Zain dalam kitabnya Qurratul Ain bi Fatawa Isma’il Zain, ia berkata:

وَمَا ذَكَرْتُمْ مِنَ الْحَدِيْثِ اَلَّذِيْ أَوْرَدَهُ الْعَلَّامَةُ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ نَوَوِيٌّ اَلْجَاوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَأَمَدَّنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ فَلَيْسَ لَهُ أَصْلٌ بَلْ هُوَ حَدِيْثٌ مَصْنُوْعٌ وَمُخَايِلُ الْوَضْعِ عَلَيْهِ لَائِحَةٌ

Artinya: “Hadits yang disampaikan oleh al Allamah syaikh Muhammad Nawawi al Jawi semoga Allah swt memberikan rahmat untuknya dan memanjang barokahnya kepada kita, bahwa hadits tesebut tidak ada dasarnya bahkan tergolong hadits yang dibuat-buat. Dan tanda di duga palsunya hadits tersebut sangat jelas”

Jika ditarik kepada kaidah-kaidah ilmu Hadits, Hadits di atas memang tidak dapat dikategorikan kepada Hadits Shohih, bahkan Hadits Hasan saja tidak cukup. Sebab tidak untuk kepada tingkatan Shohih minimal ada dua syarat yang harus terpenuhi; Pertama, kandungan hadits tidak bertentangan dengan kandungan al Qur’an atau hadits mutawatir. Kedua, orang yang menyampaikannya dari turun temurun dapat dipercaya. Manakala salah satu dari dua syarat di atas tersebut tidak terpenuhi maka termasuk hadits doif. Namun jika sampai tidak diketahui siapa saja yang menyampaikan hadits tersebut, maka derajat hadits menjadi turun kepada maudhu’ atau hadits palsu.

Begitu juga hadits di atas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Syaikh Nawawi al Jawi tidak menyebutkan perawinya. Bahkan ketika dilacak oleh beberapa ulama’ juga tidak dijumpai sanad hadits tersebut, dari siapa saja yang menyampaikannya. Namun jika yang menyampaikan adalah para ulama’ yang tidak diragukan kealiman dan kapabilitas keilmuannya, maka kemaudhu’an tersebut masih dapat ditolerir. Karena boleh jadi hadits tersebut diperoleh melalui mimpi bertemu Nabi Muhammad saw. Kendati demikian, tetap saja menurut ilmu hadits tidak boleh mengamalkannya, karena hal tersebut tidak mundhobit.

Lalu apakah mutlak tidak boleh mengamalkan hadits maudhu’ (palsu) ?

Ternyata ulama’ tidak demikian memandang hadits maudhu’ sebagaimana Wahhabi yang langsung menjudge kafir dan semacamnya. Setidaknya ada dua pendapat yang menarik diperhatikan terkait Hadits Maudhu’.

Pertama, hadits maudhu’ dapat diamalkan dengan catatan kandungannya inklud ke dalam keumuman hadits shahih. Kebolehan mengamalkan hadits dengan model seperti ini semata-mata karena memandang keumuman hadits shohih tersebut, bukan karena dirinya hadits maudhu’ tersebut. Hal ini menurut imam As Suyuti yang dikutip oleh salah satu pakar hadits dan fiqh, Syaikh Dzafar Ahmad Utsmani dalam kitabnya Qawaid fi Ulumil Hadits.

Kedua, Sebagaimana disampaikan di dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah:

قَال الْعُلَمَاءُ : يَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ رِوَايَةَ الْحَدِيثِ أَوْ ذِكْرَهُ أَنْ يَنْظُرَ فَإِنْ كَانَ صَحِيحًا أَوْ حَسَنًا قَال : قَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا، أَوْ فَعَلَهُ، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ مِنْ صِيَغِ الْجَزْمِ، وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا فَلاَ يَقُل : قَال أَوْ فَعَل أَوْ أَمَرَ أَوْ نَهَى وَشَبَهَ ذَلِكَ مِنْ صِيَغِ الْجَزْمِ، بَل يَقُول : رُوِيَ عَنْهُ كَذَا أَوْ جَاءَ عَنْهُ كَذَا أَوْ يُرْوَى أَوْ يُذْكَرُ أَوْ يُحْكَى أَوْ يُقَال أَوْ بَلَغَنَا وَمَا أَشْبَهَهُ

Artinya: “Ulama’ berkata: Selayaknya bagi orang yang hendak meriwayatkan hadits perlu memperhatikan hadits tersebut. Jika hadits tersebut shahih atau hasan maka hendaknya mengatakan: Rasulullah saw bersabda demikian, atau Rasulullah saw melakukannya atau dengan kalimat apa saja yang menunjukkan ketegasan. Tetapi jika haditsnya itu dhoif, maka tidak boleh mengatakan: Rasulullah saw berkata, Rasulullah saw melakukan, Memerintahkan atau melarang dan kalimat-kalimat sejenisnya yang menunjukkan ketegasan. Tetapi cukup mengatakan: Diriwayatkan bahwa… atau terdapat keterangan bahwa… atau diceritakan… atau dengan kalimat apa saja yang tidak menunjukkan secara tegas bahwa hal tersebut dari Nabi saw”

Sehingga dengan demikian, maka masih ada potensi bagi hadits maudhu’ untuk difatwakan atau diamalkan dengan menggunakan dua pendekatan di atas. Adapun tentang hadits man addzoma maulidi…” sebagaimana topik pembahasan di atas tidak lain makna hadits ini inklud ke dalam hadits shohih:

أَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

Artinya: Aku adalah orang yang pertama kali memberi syafaat di hari kiamat dan orang yang pertama diberi syafaat (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Makna hadits ini tidak berbeda hadits di atas yaitu tentang dapat memberinya syafaat bagi Nabi saw terhadap umat manusia.

Dengan demikian, maka menyampaikan hadits di atas (man addzoma maulidi…) sekalipun tergolong ke dalam hadits maudhu’ tetap dapat dibenarkan karena inklud ke dalam makna hadits shohih lainnya. Namun agar lebih berhati-hati, maka perlu juga menggunakan pendekatan kedua sebagaimana ditawarkan dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwatiyah di atas dengan tidak menggunakan bahasa yang tegas bahwa hadits tersebut benar-benar dari Nabi saw.

Wallahu alam

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

membaca al-quran

Membaca Al Qur’an di Kuburan Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah

Di antara tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu melakukan ziarah kubur. Bahkan menurut Ibn Hazm sebagaimana …

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …