kamboja

Catatan Perjalanan: Mengenang Masa Lalu Cambodia: Dari Neraka Perang Menuju Negara Damai yang Ramah

Tahun 1980 hingga 1990-an, ketika radio masih menjadi rujukan utama berita luar negeri, nama Raja Norodom Sihanouk dan Pol Pot dari Kamboja (Cambodia) kerap terdengar dalam siaran Dunia Dalam Berita RRI. Berita-berita yang disiarkan kala itu mayoritas menyedihkan, menggambarkan nestapa rakyat Kamboja akibat konflik berkepanjangan dan perang saudara yang brutal.

Perebutan kekuasaan antara pendukung Raja Norodom Sihanouk dan kelompok militer menjadikan rakyat sebagai korban terbesar. Jutaan jiwa melayang, jutaan lainnya mengungsi ke berbagai negara, dari Eropa hingga kawasan Asia Tenggara. Kehidupan ekonomi, perdagangan, dan sosial lumpuh total. Phnom Penh, ibu kota negara itu, pernah menjadi kota hantu: sunyi, tanpa aktivitas warga sipil. Hanya tentara dan penguasa yang berani keluar rumah. Hidup bagaikan neraka—kelaparan, ketakutan, dan ketiadaan harapan.

Kisah kelam ini disampaikan kepada rombongan kami oleh seorang warga Kamboja saat kami baru saja tiba di Phnom Penh. Ia merasa penting untuk membagikan kenangan itu sebagai pembanding dengan wajah Kamboja masa kini yang sudah jauh berubah. Kini, rakyatnya mulai menatap masa depan lebih baik, berdiri sejajar dengan negara-negara ASEAN lainnya. Negara ini kaya akan hasil pertanian, terutama padi. Bahkan, satu kali panen dapat mencukupi kebutuhan pangan dalam waktu lama.

Kamboja adalah negara anggota ASEAN yang merdeka dari kolonialisme Prancis pada tahun 1954 setelah dijajah selama 86 tahun. Negara ini berbentuk kerajaan, dan Raja Norodom Sihanouk adalah raja pertama pasca-kemerdekaan. Menariknya, nenek beliau juga pernah menjadi penguasa saat masa penjajahan.

Pada tahun 1970-an, situasi politik mengalami perubahan besar. Pol Pot, pemimpin komunis garis keras yang terinspirasi dari ideologi Marx-Lenin dan Mao Zedong, terlibat dalam pemerintahan Sihanouk. Pertikaian ideologis pun tak terelakkan. Sejak itu, konflik saudara terus berkecamuk hingga awal 1980-an.

Situasi makin buruk saat Vietnam masuk ke dalam konflik dan membentuk pemerintahan boneka di Kamboja. China dan Uni Soviet pun memainkan peran berbeda dalam konflik ini, memperkeruh keadaan. Periode ini ditandai dengan genosida massal dan pelanggaran HAM yang parah.

Akhirnya, pada akhir 1980-an, PBB turun tangan. Pemilu yang bebas dan diawasi masyarakat internasional pun digelar. Indonesia turut berperan penting dalam proses perdamaian tersebut, bahkan mengirim pasukan penjaga perdamaian dalam misi PBB.

Pada tahun 1993, Kamboja memulai babak baru dengan sistem demokrasi, meskipun awalnya masih diwarnai perebutan kekuasaan. Baru sekitar tahun 1997, proses demokratisasi berjalan lebih stabil. Saat ini, ada sekitar 30 partai politik yang aktif dalam kerangka pemerintahan terpimpin.

Meski telah mengalami pertikaian panjang, Kamboja tetap mempertahankan sistem kerajaan. Namun, sistem ini unik: raja diangkat oleh pemerintahan yang berkuasa, menjadikannya simbol negara, bukan pemegang kekuasaan.

Dengan jumlah penduduk sekitar 30 juta jiwa, 90 persen di antaranya memeluk agama Buddha, sementara sisanya terdiri dari umat Kristen, Konghucu, dan sekitar 5 persen Muslim. Menariknya, di Kamboja, setiap warga bebas menjalankan agama mereka tanpa pembatasan.

Menurut warga lokal, jamaah Tabligh dari negara tetangga kerap berdakwah secara terbuka di sini. Hanya saja, mereka tidak diperkenankan bermalam dan memasak di masjid; mereka harus menggunakan hotel untuk keperluan tersebut. Meski minoritas, umat Islam Kamboja cukup aktif dan bahkan banyak yang menduduki posisi penting di pemerintahan.

Ketika kami berkunjung ke Norton University—salah satu kampus terbesar di Phnom Penh—suasana kampus terasa hangat dan toleran. Banyak mahasiswi Muslim berjilbab yang berbaur dengan mahasiswa beragama Buddha tanpa sekat. Bahkan, beberapa staf administrasi kampus juga beragama Islam.

Orang Kamboja, secara umum, sangat ramah dan rendah hati. Mereka menyambut hangat setiap tamu asing. Kehidupan mereka masih tradisional, mengingatkan pada Indonesia masa lalu, namun dengan semangat besar untuk maju dan membangun infrastruktur modern.

Dari sebuah negeri yang pernah nyaris hancur total, Kamboja kini bangkit perlahan sebagai bangsa yang ramah dan terbuka. Masa lalu yang kelam tidak dilupakan, tapi dijadikan pelajaran. Sebuah kisah tentang harapan, toleransi, dan ketahanan manusia menghadapi gelapnya sejarah.

 

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Suaib Tahir, Lc, MA

Anggota Mustasyar Diniy Musim Haji Tahun 2025 Staf Ahli Bidang Pencegahan BNPT Republik Indonesia

Check Also

korupsi

Islam sangat Membenci Prilaku Korupsi

Berita nasional dan lokal kita dalam sehari tidak pernah lepas dari liputan korupsi. Rasanya korupsi …

dalil maulid nabi

Rasulullah SAW Teladan dalam Segala Aspek Kehidupan

Umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia baru saja merayakan peringatan hari mauled Nabi …