Bagi umat Islam yang hidup di tengah masyarakat yang heterogen; multi agama dan suku, memiliki tradisi saling mengunjungi dalam setiap momentum perayaan hari besar keagamaan. Pada saat muslim merayakan Idul Fitri maupun Idul Adha kolega, teman, atau tetangga yang beragama lain berkunjung untuk sekadar mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha.
Demikian pula, pada saat kolega, teman, rekan bisnis, atau tetangga yang berbeda agama merayakan momen hari besar keagamaan mereka, seperti Natal, muslim juga diundang bertandang ke rumah mereka. Bahkan, di Kalimantan Barat sampai ada istilah “lebaran Natal”.
Dari sisi sosial kemasyarakatan dan di dalam sebuah negara yang memegang teguh persatuan di bawah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, tradisi saling mengunjungi penganut agama yang berbeda tentunya lebih merekatkan semangat persaudaraan dan persatuan. Kedamaian pun terajut dengan sangat indah.
Namun demikian, tradisi saling mengunjungi antar umat beragama disaat perayaan Natal dan perayaan-perayaan yang lain ini mendapat cap buruk dari sebagian umat Islam. Hukumnya haram karena dengan demikian secara otomatis mengakui keabsahan agama mereka, berserupa (tasyabbuh) terhadap mereka, dan hukumnya haram, murtad, kufur.
Begitulah sebagian umat Islam menilainya. Padahal, sejatinya tidak buru-buru mengatakan demikian sebab boleh jadi ada pendapat lain yang justru memperbolehkan. Lagi pula, sekadar mengucapkan selamat Natal, selamat tahun baru Imlek dan sebagainya tidak serta-merta menggadaikan keiman atau menggerus keyakinan. Apalagi, hanya memenuhi undangan perayaan Natal dari saudara-saudara kita yang beragama kristen.
Disini, saya khusus membahas hukum menghadiri undangan perayaan Natal. Sebelum memutuskan boleh atau tidak, harus dikaji secara seksama dan mendalam.
Pendapat Ulama Tentang Hukum Menghadiri Undangan Perayaan Natal
Para ulama sepakat jika seorang muslim ikut dan terlibat dalam prosesi perayaan Natal yang di dalamnya terdapat ritual ibadah umat Kristen, maka hukumnya adalah haram.
Yang disepakati haram kalau terlibat dalam prosesi ritual peribadatan umat Kristen. Sementara, jika muslim datang sekadar memenuhi undangan perayaan Natal atau hanya berlebaran, dan tidak ikut prosesi ibadahnya, hanya demi menjaga hubungan baik saja, maka diperbolehkan. Hitung-hitung untuk membalas kebaikan mereka yang mengunjungi kita saat lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha.
Hanya datang, kemudian disuguhi kue-kue, minuman dan makanan yang pada biasanya tetap memperhatikan kehalalan sajian tersebut perspektif agama Islam. Tentu, hal semacam ini layaknya bertamu biasa sekalipun di momen hari besar seperti Natal. Tidak ada keterlibatan atau ikut dalam ritual peribadatan agama lain, serta tidak menjustifikasi kebenaran akidah mereka.
Bukankah Allah berfirman: “Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu) yang sepadan dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu”. (QS. An Nisa: 86).
Sebagaimana dimaklumi, Imam Ahmad bin Hanbal tergolong ulama yang ketat dan selektif dalam memutuskan hukum yang terkait dengan akidah. Namun, ketika beliau ditanya soal menyaksikan perayaan atau festival Natal di pasar, beliau menjawab boleh-boleh saja asal tidak aktifitas peribadatan atau hal-hal yang terkait dengan ritual keagamaan umat kristiani.
Keputusan Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren se Jawa Madura di Pondok Pesantren Al Hamid Cilangkap Jakarta Timur, 11 September 2022 menghasilkan kemufakatan, menghadiri dan mengikuti hari raya agama lain yang bernuansa kebaktian agama tidak diperbolehkan, sebab termasuk menghadiri dan menyaksikan kemungkaran. Namun, jika sekiranya ada kemaslahatan yang besar, maka diperbolehkan.
Disini ditegaskan, tidak boleh apabila ada prosesi ritual peribadatan. Akan tetapi jika ada kemaslahatan yang yang lebih besar seperti potensi retaknya persaudaraan dan persatuan sebab mereka yang mengundang akan kecewa dan sebaginya, maka hukumnya menjadi boleh.
Apalagi, kalau hanya sekadar berkunjung kayaknya berlebaran di hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Tidak ada prosesi ritual peribadatan sebab undangan tersebut selepas peribadatan Natal sama halnya lebaran setelah sholat Idul Fitri atau shalat Idul Adha. Maka, boleh-boleh saja dalam upaya merajut persaudaraan antar sesama masyarakat Indonesia.
Tradisi ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari, tidak hanya di tanggal 25 Desember dalam perayaan Natal, atau tanggal 1 bulan Syawal dalam perayaan hari raya Idul Fitri. Bahkan ada yang berlangsung selama tujuh hari kayaknya lebaran Idul Fitri.
Karenanya, kalau menghadiri perayaan Natal yang disitu berlangsung prosesi ritual peribadatan saja boleh jika ada maslahah yang besar, apalagi hanya sekadar berkunjung atau menghadiri perayaan Natal tanpa melihat dan menyaksikan prosesi peribadatan tersebut.
Ala kulli hal, marilah bijak menilai dan membedakan antara perkara-perkara yang ijtihadi dan bukan. Hal-hal yang sifatnya ijtihadi akan selalu menampilkan perbedaan sebagai rahmah bagi umat Islam sebab diberikan kesempatan untuk memilih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah