Di tengah isu penceramah bersertifikat yang banyak menuai pro dan kontra, salah satu da’i populer sekaligus Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain menyindir kebijakan Mentri Agama Fachrul Razi yang ingin menerapkan sertifikasi buat para Ulama. Dalam akun twitternya ia menulis : “Hadits nabi:”Sampakanlah daripada ku walau satu ayat…” Di Indonesia mau ditukar:”Sampaikanlah dari nabi kalau sudah punya sertifikat dari Kemenag…”HeheBisa murtad deh…Na’udzhbillah…” Sabtu (5/9/2020).
Saya tergelitik dalam kutipan hadist sang ustad. Betulkah dasar menjamurnya dan gairah para da’i karena didasarkan pada hadist ini? Apakah hadist ini juga menjadi landasan kuat bagi siapapun untuk menyampaikan dan menjadi juru dakwah?
Saat ini memang kita mudah temukan ustad dan da’I yang populer karena disokong oleh berbagai media sosial. Tak terlalu penting kualitas asal popularitas. Tak penting pula belajar agama dari mana asal bisa memberikan manfaat. Benar, sandarannya hadist di atas yang dikutip oleh Ust Tengku Zul dengan redaksi lengkap :
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
Artinya, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Saat ini pengertian hadist di atas menegaskan satu ayat pun harus disampaikan dan itulah pentingnya berdakwah. Hadist itu tidak dilihat sebagai motivasi sekaligus kewajiban bagi seseorang yang mendalami agama untuk menyampaikan ilmunya. Jika satupun yang dimiliki orang yang cakap dalam agama maka itu harus disampaikan.
Kata kuncinya adalah kedalam ilmu agamanya. Sekalipun ia hanya mengetahui satu hal saja tetapi mendalam maka ada kewajiban untuk menyampaikannya. Itulah pesannya. Bukan pada pesan tahu dikit, harus disampaikan.
Kini pengertian hadist ini mudah ditafsirkan bahwa menjadi da’I atau juru dakwah tidak perlu lagi memiliki ilmu yang begitu rumit dan sulit untuk dipahami. Memiliki sedikit ilmu ada kewajiban untuk menyampaikan. Merebaklah da’i-da’I populer bahkan dari kalangan artis dan muallaf.
Jika kita memahami hadist itu maka perlu dilengkapi pula dengan hadist Nabi yang lain yakni :
سمعت ابن مسعود رضي الله عنه يقول: “إنكم في زمان كثير فقهاؤه، قليل خطباؤه، قليل سؤاله، كثير معطوه، العمل فيه قائد للهوى، وسيأتي من بعدكم زمان قليل فقهاؤه، كثير خطباؤه، كثير سؤاله، قليل معطوه، الهوى فيه قائد للعمل، اعلموا أن حسن الهدى في آخر الزمان خير من بعض العمل”
“Saya mendengar Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya saat ini kalian hidup di masa banyak ulama (ahli fikih dan ahli ilmu) dan sedikit ahli ceramah (da’i), sedikit yang meminta-minta, banyak yang memberi, dan amal perbuatan bisa mengendalikan hawa nafsu. Dan akan datang nanti masa setelah kalian sedikit ahli ilmu banyak da’i, banyak yang meminta-minta, sedikit yang memberi, amal perbuatan menuruti hawa nafsunya”. (HR. Al-Bukhari).
Artinya pada saat nanti akan ada kebalikan dari pada masa rasulullah. Banyak para da’i dan minim ahli fikih. Kata da’I disandingkan dengan ahli fikih yang mempunyai kedalaman ilmu sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan. Artinya da’I di sini mereka yang hanya mengandalakan retorika tanpa dasar ilmu yang kuat. posisi berhadap-hadapan antara da’I dan ahli fikih sebagaimana orang yang meminta dan yang memberi. Keduanya berbeda.
Nah, saat ini dengan hanya memegang teguh pengertian sampaikan dariku walau satu ayat dengan penegrtian yang sederhana akan menyebabkan banyak da’i tapi tanpa kualitas ahli fikih. Banyak yang terpanggil berdakwah walau dengan kemampuan yang sangat tidak cukup untuk memberikan ceramah.
Setidaknya para juru dakwah dengan gairah yang tinggi mungkin tidak usah terlalu berat dalam mencapai kategori ahli fikih. Namun, juga bukan sembarangan hanya paham terjemahan dan baca secara otodidak bisa menyampaikan ilmu.
Kemampuan seorang juru dakwah harus melengkapi dua hal. Pertama, pemahaman dalil dari Al Quran maupun dari As Sunnah. Cara penyampaian dalam ilmu ini membutuhkan hafalan di luar kepala, atau bisa dimaknai dengan penjabaran yang sudah sangat dipahami.
Kedua, mampu menyampaikan makna serta pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Menyampaikan ilmu dengan pemahaman seperti ini butuh kapabilitas dan juga legalitas yang diperoleh ketika menggali ilmu. Pemahaman tentang nash-nash membutuhkan ilmu pendamping yang harus di perhatikan diantaranya ilmu nahwu, ilmu ushul, musthalah, dan harus mengetahui ikhtilaf maupun yang terjadi di kalangan mereka.
Dengan bekal-bekal ilmu tersebut, juru dakwah tidak hanya asal ambil hadist tanpa mengetahu makna dan konteksnya secara mendalam. Persis dengan kesalahan memahami hadist: sampaikan dariku walau satu ayat.
Merebaknya para pendakwah yang minim ilmu Islam menunjukkan adanya sebuah tantangan besar. Tentu harus ada upaya penguatan juru dakwah dan penceramah. Jangan tukang bubur bisa menjadi juru dakwah. Atau seorang musisi dan artis baru tumbuh dengan gelar hijrah bisa menjadi juru dakwah. Mantan Napi pun bisa jadi penceramah.
Jika suatu urusan diserahkan pada ahlinya tentu akan menimbulkan kerusakan. Rasulullah pernah memperingatkan kepada umatnya, “Jika sebuah urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” Jika bukan ahli agama tampil berdakwah hanya bermodal satu ayat, tentu itu akan menjadi musibah tersendiri di tengah umat.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah