Setelah lengsernya Tokoh Gerakan Islam Presiden Omer al-Bashir melalui aksi revolusi 2019, Sudan terjatuh dalam kubangan masa transisi hingga saat ini. Gerakan Islam yang memegang kekuasan lebih dari 30 tahun belum berhasil membangun nasionalisme generasi muda yang menjadi penentu revolusi. Ilmuwan, cendekiawan dan praktisi profesional tidak sedikit yang memilih berkarya di luar negeri hingga tiba masa pensiun. Muncul asumsi di tengah masyarakat bahwa “Sudan pemerintahnya gagal, tapi masyarakatnya berhasil”.
Dengan kata lain, Gerakan Islam sebagai entitas organisasi sekaligus kekuatan politik praktis belum serius melakukan edukasi cinta tanah air dan menghargai jasa pahlawan ketika mereka berkuasa. Di sisi lain, menjaga negara adalah amanah dan keimanan. Dalam kitab Rasail al-Jahidz disebutkan; “Menghormati negaramu hendaknya seperti menghormati kedua orang tuamu; sebab makananmu dari kedua orang tuamu, dan makanan kedua orang tuamu dari negaramu”.
Ini mengisyaratkan bahwa entitas yang disebut Gerakan Islam atau yang akrab disebut Ikhwanul Muslimin/IM telah memberikan warna meskipun pasang surut. Hal yang perlu diambi pelajaran dari Gerakan Islam adalah dampak panjang dari penggunaan politik identitas. Sejak masuknya wahabisme di Sudan muncul gerakan anti Syi’ah. Dalam hal ini, Organisasi Anshar Sunnah merupakan organisasi wahabi yang didirikan oleh alumni al-Azhar Syekh Mohamed Hamed al-Faqa tahun 1926 M dan membawa semangat baru membasmi budaya Islam lokal yang dianggap bid’ah. Organisasi ini dengan dukungan finansial berkembang cukup pesat dan mengikuti perkembangan zaman.
Gerakan Islam mengkristal di masa IM (Omer al-Bashir) dengan arah politik luar negeri yang pragmatis dengan harapan bantuan ekonomi dari Saudi Arabia. Wajar jika Sudan berkoaliasi dengan Saudi Arabi dalam perang Sunni-Syi’ah di Yaman. Lebih dari itu, Omer Al-Bashir memutus hubungan diplomatik Sudan dengan Iran pada tahun 2016. Situasi dilematik ini menambah semangat politik identitas kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab setelah menguatnya politik anti komunis meskipun orang-orang komunis di Sudan semuanya beragama Islam.
Semangat pemerintahan Omer al-Bashir tidak merawat budaya lokal yang dominan dalam hal ini sufistik-tradisional sebagai akomodasi campuran budaya luar seperti dari Hijaz (Mekkah dan Madinah), Iraq, Maroko dan Mesir. Jejak sejarah interaksi sosial Arab-Humair (Yaman) dengan masyarakat Nuba (Sudan/Habasyah Bagian Utara) sebelum Islam dan paska masuknya Islam. Sebagai contoh, pengarang maulid diba’ yang disebut berasal dari Yaman dilihat dari kata “diba’” itu sendiri ternyata maknanya putih dan merupakan kata khas Sudan seperti dalam kitab tahqiq Diba’ oleh Sayed Mohamed Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani yang terbit pada tahun 1985.
Semangat Gerakan Islam ke arah formalisasi Islam tidak dibarengi dengan cara merawat tradisi keislaman. Pengadaan Undang-undang Kepantasan Publik tanpa membayangkan bahwa kelompok sekuler merupakan “kumpulan singa yang sedang tidur” yang tetap memberikan pengaruh. Terbukti, paska lengsernya Omer al-Bashir, masa transisi tidak kunjung membuahkan kesepakatan. Dari segi ideologi, IM menyangkut gerakan dak’wah salafi, Sunni, Sufi, politik, kesehatan, intelektual, ekonomi dan sosial namun dari segi gerakannya di Sudan lebih pragmatis dan tetap memainkan politik identitas. Jen. Omer Al-Bashir berhasil menanamkan ideologinya selama 30 tahun antara 1989 M sampai 2019 M dengan kendaraan partai politik; National Congress Party (NCP).
Selain politik identitas, kondisi yang kompleks menjadikan persaingan antar etnis nampak keras dan selalu mewarnai dunia politik hingga dunia akademik maupun dunia literasi sosial-keagamaan. Pasang surut persoalan etnisitas telah menjadi the hot point yang mendiskriminasi sektor pendidikan Sudan sejak sekian lama, diperkirakan sejak era Kerajaan Sennar. Misalnya fenomena “tebang pilih” di era IM dalam penjaringan input pendidikan dimana kader kelompok sekuler dan komunis atau afiliasi Sudanese Communist Party (SCP) sulit untuk lolos seleksi masuk di Universitas Khartoum atau universitas ternama lainnya.
Sedangkan Gerakan Islam dibawah kepemimpinan Omer al-Bashir lebih banyak menggunakan energi negara untuk melawan hegemoni Amerika Serikat (AS) melalui penguatan kerjasama pertahanan dengan Libya, Afghanistan, Suriah, Iran, Qatar, Palestina dan lainnya yang menguras anggaran. Semangat Arabisme tumbuh sangat kuat dan Sudan nampak kokoh sebagai negara Arab-Muslim sebagaimana negara Afrika Utara lain; Mesir, Libya, Tunis, Aljazair, Maroko dan Muritania meskipun pada tahun 2019 Sudan berubah dengan sangat cepat.
Gerakan Islam yang memiliki kecenderungan politik identitas lebih kuat dibanding kebangsaan dan keumatan menjadikan Sudan terperosok memasuki jurang masa transisi yang belum bisa diprediksi secara meyakinkan hingga saat ini. Dua persoalan yang rumit menyangkut kelompok oligarki dan etnisitas telah mengganggu stabilitas politik dan menjatuhkan tatanan Gerakan Islam itu sendiri. Kurangnya sosialisasi “cinta tanah air” diperparah dengan fakta pengusaha dan ilmuwan yang cenderung berjalan sendiri-sendiri. Dengan pelajaran ini, setidaknya diaspora Indonesia di Sudan akan terus melihat Indonesia dengan selalu ada optimisme dan harapan sebagaimana Indonesia istimewa dengan kecintaan rakyat kepada tanah air dan penghormatan mereka atas jasa-jasa para pahlawan.