al quran hadits
hadist

Menyoal Kualitas Hadist dan Perbedaan Mengamalkannya dalam Aspek Akidah, Hukum dan Adab

Hadist adalah sumber hukum pokok setelah al Qur’an. Ia berfungsi memperjelas keumuman dan kesamaran al-Qur’an. Jika suatu kasus tidak dijelaskan secara tegas dan terang oleh al Qur’an, maka harus dicari hadistnya. Setelah itu baru beralih kepada dalil berikutnya, yakni ijma’ dan qiyas yang telah disepakati oleh ulama. Dengan demikian, hadist memiliki posisi penting dalam hukum Islam.

Tetapi hadis sendiri banyak ragam kualitasnya. Ada yang shahih, Hasan, dhaif, dan lain-lain. Oleh karenanya, menjadi perdebatan tentang menggunakan hadist dengan kualitas rendah seperti hadis maudhu’ dan hadis dhaif. Bahkan sebagian orang enggan menggunakan selain hadist shahih untuk pijakan hukum, minimal hadis hasan.

Melihat hal seperti ini, Khatib al Baghdadi menulis kitab Al Kifayah fi Ilmi al Riwayah. Dalam kitab tersebut beliau menulis bab khusus tentang bagaimana memposisikan beragam kualitas hadist. Menurutnya, pada ranah hukum harus selektif dan ketat memilih hadist, tetapi dalam hal keutamaan amal harus longgar.

Ketika bicara halal dan haram, maka hadist yang digunakan adalah hadis yang periwayatannya tidak cacat. Ia harus benar-benar bisa dipercaya. Tidak boleh ada satu perawi yang diragukan kejujurannya. Namun hadis yang berupa nasehat, motivasi dan semisalnya tidak harus seketat itu.

Bahasa Ibnu Mulaqqin dalam kitabnya al-Taudhih li Syarhi al-Jami’ al-Shahih dalam wilayah akidah dan hukum hadist yang dipakai harus berstatus shahih, minimal hasan. Tetapi yang terkait dengan keutamaan amal, nasehat dan sebagainya boleh memakai hadist yang kualitasnya di bawah shahih dan hasan, seperti hadist dhaif.

Hal ini dipertegas oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Thabaqatu al Hanabilah dan Abdurrahman bin al Mahdi dalam al Mustadrak ala al Shahihain li al Hakim. Dan beberapa ulama ahli hadis yang lain berkata seperti ini pula. Di antaranya, Ibnu Abi Hatim dalam karyanya al Jarhu wa al Ta’dil.

Maka tidak heran jika dalam hukum fikih yang berhubungan dengan adab, hukum sunnah dan mubah seringkali dijumpai hadist yang menjadi dasarnya tidak sampai pada level hadist shahih maupun hadist Hasan. Contohnya bisa dilihat dalam karya Imam Nawawi al Majmu’ Syarh al Muhaddzab yang mengatakan sunnah mengusap wajah setelah berdoa. Padahal hadist yang dipakai adalah riwayat Imam Turmudzi dari Umar bin Khattab yang kualitasnya dhaif.

Dengan demikian, ada tempat tersendiri kapan kita selektif dan ketat menggunakan hadis dan kapan longgar. Sebab bagaimanapun, semua hadis kualitasnya dinilai dari sisi perawinya, terpercaya atau tidak? Sangat mungkin perawinya diragukan tetapi hadis yang disampaikan benar-benar dari Nabi.

Dengan memahami ini, kita akan mengerti dan tidak akan buru-buru menilai amaliah orang lain sebagai bid’ah, sesat dan semisalnya hanya gara-gara hadis yang dipakai adalah hadis dhaif. Sebagaimana kita tahu, al Dhahabi, ulama pakar hadis super ketat tetap memasukkan hadis dhaif dan riwayat-riwayat israiliyat dalam kitabnya al Kabair untuk hal-hal yang sifatnya motivasi dan anjuran.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …