Apa yang membuat manusia begitu rindu datang ke Tanah Suci? Mengapa jutaan orang bersedia mengantre bertahun-tahun, mengorbankan harta, tenaga, dan waktu untuk menunaikannya?
Ketika musim haji tiba, ada getar keharuan yang menggema di relung hati umat Islam. Jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia meninggalkan tanah kelahiran, keluarga, dan kenyamanan, demi memenuhi seruan agung: menjadi tamu Allah di Tanah Suci.
Firman Allah dalam Surah Al-Hajj ayat 27 mengabadikan panggilan itu:
واذن في الناس بالحج ياتوك رجالا وعلي كل ضامر ياتين من كل فج عميق
Artinya : “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Menurut Ibnu Katsir, kata “wa azzin” (serukanlah) merupakan perintah langsung dari Allah kepada Nabi Ibrahim agar memanggil umat manusia menunaikan ibadah haji ke Baitullah sebagaimana Allah memerintahkannya untuk membangun Ka’bah. Masih menurut Ibnu Katsir, dalam riwayatnya, Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin suaraku menjangkau seluruh umat manusia?” Lalu Allah menjawab, “Engkau serukanlah, dan Aku yang akan menyampaikannya.”
Maka berdirilah Nabi Ibrahim di atas maqamnya – menurut sebagian riwayat di atas Bukit Shafa – lalu ia menyeru manusia agar datang berhaji ke Baitullah. Seruan itu, meski secara fisik lemah, menjangkau seluruh makhluk. Dalam tafsir Ibnu Jarir, bahkan disebutkan bahwa gunung, batu, pohon-pohonan, air, hingga janin dalam kandungan pun menjawab, “Labbaik Allahumma labbaik”—Wahai Tuhanku aku memenuhi panggilanmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrima, dan Said bin Zubair dan Umar.
Hari-hari ini, kita menyaksikan kembali Mekkah mulai padat. Jamaah haji dari Turki, Mesir, Afrika, Asia Selatan, hingga Indonesia mulai memadati sudut-sudut kota suci. Hotel-hotel di sekitar Masjidil Haram pun nyaris tak lagi menyisakan kamar kosong. Masjidil Haram mulai disesaki hingga ke pelataran. Toko-toko mulai ramai didatangi jamaah yang sibuk berbelanja usai menunaikan ibadah shalat lima waktu. Suasana spiritual berpadu dengan hiruk-pikuk manusia dalam sebuah simfoni kebesaran Allah yang menyatukan berbagai bangsa, warna kulit, bahasa, dan budaya.
Jamaah haji Indonesia yang awalnya di Madinah juga mulai didorong masuk Mekkah. Sementara jamaah lain dari Indonesia yang dari Jeddah juga mulai berdatangan. Para petugas haji yang sejak awal bekerja tanpa kenal waktu—siang dan malam, membantu setiap langkah para tamu Allah: dari penempatan hotel hingga pengaturan jadwal ibadah, dari menyisir jamaah yang tersesat hingga menjadi tempat bertanya bagi yang kebingungan. Telepon genggam para petugas nyaris tak pernah diam; mereka adalah pelayan tak terlihat dari panggilan suci itu.
Cuaca di Mekkah yang begitu panas dan jarak hotel dengan Masjidil Haram yang relative jauh tidak menyurutkan semangat mereka untuk berduyun-duyun mengejar shalat berjamaah di Masjidil Haram. Secara fisik lebih kecil dari jamaah haji negara lain yang terbiasa cuaca yang terik, jamaah haji Indonesia dan Malaysia disarankan menghindari aktivitas luar ruangan di siang hari demi menjaga stamina hingga pelaksanaan puncak haji pada tanggal 8–13 Dzulhijjah. Namun, semangat untuk hadir dalam setiap sesi manasik dan ibadah di ruang-ruang hotel dengan penuh keseriusan dan kesungguhan.
Sebagai seorang mustasyar diniy (penasihat keagamaan) yang rutin memberikan bimbingan manasik di hotel-hotel tempat jamaah menginap, saya menyaksikan sendiri bagaimana manasik bukan hanya tentang teknis ibadah. Ia telah menjadi momen reflektif. Para jamaah meresapi makna haji yang sesungguhnya dan sering kali menyampaikan kegelisahan spiritual mereka, memohon penjelasan atas hal-hal yang belum mereka pahami, dan yang paling menyentuh: mereka menangis ketika menyadari betapa agung rahmat Allah yang telah memilih mereka untuk menjadi tamu-Nya.
Haji adalah momentum untuk berserah diri dan memohon ampun atas dosa-dosa yang dilakukan oleh hambanya sebelum menghadap ke tuhannya sekaligus sebagai wujud kepasrahan seorang hamba dihadapan tuhannya. Ia adalah manisfestasi dari kesempurnaan kewajiban dalam agama dan momen paling ideal berkomunikasi langsung dengan Tuhan.
Di musim hajilah manusia menyaksikan berbagai keajaiban-keajaiban yang tidak pernah dirasakan selama hidup seseorang. Di sinilah manusia dapat menyentuh kiblat umat Islam dan bermunajat langsung dengan Tuhannya di tempat-tempat yang diberkahi Allah SWT. Seakan-akan sudah tidak ada jarak antara manusia dengan tuhannya.
Respon umat Islam di manapun berada terhadap seruan nabi Ibrahim yang diucapkan ribuan tahun silam tidak akan berhenti sampai hari kiamat. Apa yang membuat manusia begitu rindu datang ke Tanah Suci? Mengapa jutaan orang bersedia mengantre bertahun-tahun, mengorbankan harta, tenaga, dan waktu untuk menunaikannya?
Jawabannya terletak dalam misteri ayat lain, Surah Ibrahim ayat 37:
فاجعل أفئدة من الناس تهوي إليهم
Artinya L “Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka (penghuni Baitullah).”
Ibnu Abbas, Mujahid dan Said bin Zubair bahwa seandainya tuhan mengatakan :
فاجعل أفئدة الناس تهوي إليهم
Artinya : Dan jadikan hati manusia itu rindu kepadanya tanpa kata min yang mengartikan hanya sebagian manusia yaitu khusus bagi umat Islam, maka semua manusia di muka bumi ini tanpa mengenal latar belakang agama akan berlomba-lomba datang ke tanah suci untuk beribadah haji. Tapi haji adalah panggilan khusus, hanya bagi mereka yang dijemput hidayah oleh Allah.
Wallahu a’lam bis shawab.
Arab Saudi, 26 Mei 2025
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah