musaharati penabuh genderang ramadhan di suriah tradisi membangunkan sahur
musaharati penabuh genderang ramadhan di suriah tradisi membangunkan sahur

Mulai Terkikis Zaman, Semangat Penabuh Genderang Ramadhan Suriah Tetap Membara

DAMASKUS – Tabuhan genderang atau bedug untuk membangunkan orang pada waktu sahur kini telah banyak ditinggalkan, terlebih dikota-kota besar, semua mengandalkan alrm dari Handphone maupun perangkat lainya.

Di Suriah, waktu bersantap sahur juga melahirkan tradisi menabuh genderang untuk membangunkan sahur, tradisi tersebut telah berada selama ratusan tahun, meski jumlah penabuh genderang terus mengalami penurunan, namun tradisi menabuh genderang masih bisa ditemukan di Suriah.

Sekitar satu jam sebelum adzan subuh dikumandangkan, penabuh genderang Ramadhan yang dikenal sebagai musaharati berjalan melalui jalan-jalan sempit untuk membangunkan sahur. Dilansir dari Iraqi News, dan republika.co.id Selasa (11/4/2022), Hasan al-Rashi (60 tahun) merupakan salah satu dari 30 musaharati yang tersisa di Damaskus.

Suaranya memecah kesunyian malam di Kota Tua ibu kota, saat dia bernyanyi dan menabuh genderangnya. “Meskipun munculnya ponsel pintar dan teknologi lainnya, orang masih suka bangun dengan suara musaharati,” kata Rashi.

“Musharati adalah bagian dari adat dan tradisi masyarakat Damaskus selama bulan Ramadhan. Ini adalah warisan yang tidak akan kami tinggalkan,” tambahnya.

Saat melakukan tugas musaharati, Rashi membawa tongkat bambu di satu tangan dan drum yang terbuat dari kulit kambing di tangan lainnya. Dia berjalan cepat dari rumah ke rumah, menggunakan tongkatnya untuk mengetuk pintu keluarga yang meminta jasanya.

“Bangun untuk sahur, Ramadhan telah datang untuk mengunjungi Anda,” Rashi bernyanyi.

Meskipun mereka menerima hadiah, musaharati biasanya tidak mengharapkan imbalan finansial. Mereka terkadang membawa tas atau keranjang jerami untuk menyimpan makanan dan hadiah lain yang diberikan kepada mereka. Untuk Rashi, ini bukan tentang menerima barang gratisan.

“Kami merasakan kegembiraan ketika kami pergi keluar setiap hari. Beberapa anak terkadang mengikuti kami dan meminta untuk menabuh genderang,” katanya.

Menjelang adzan, Sharif Resho meminta segelas air kepada salah satu tetangganya sebelum memulai puasa. Musaharati yang berusia 51 tahun biasanya menemani Rashi setiap malam, juga menabuh genderang dan bernyanyi.

“Peralatan saya sederhana, yaitu suara, gendang, dan tongkat saya,” katanya.

Resho, yang ayahnya juga seorang penabuh genderang Ramadhan, telah menjalankan tugas Musaharati selama hampir seperempat abad. Perang Suriah selama lebih dari satu dekade dan pandemi virus corona tidak menghentikannya untuk melanjutkan.

“Saya akan terus membangunkan orang-orang untuk sahur selama saya masih memiliki suara di tenggorokan saya. Ini adalah kewajiban yang saya warisi dari ayah saya, yang akan saya wariskan kepada putra saya,” kata Resho.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

060567700 1740995185 830 556

Santri Dari Mutholaah Kitab Kuning Ke Digital

JAKARTA — Santri bukan sekedar pembelajar di pondok pesantren namun lebih jauh santri menjadi penjaga …

082479700 1601026076 830 556

Kiprah Pendiri Pesantren Lirboyo di Medan Perang Kemerdekaan

Jakarta – KH. Abdul Karim atau yang biasa disapa Mbah Manab muassis Pondok Pesantren Lirboyo …